DISKURSUS NEGARA ISLAM: “ANTARA DAS SEIN DAN DAS SOLLEN”

Oleh: DENNY KODRAT

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim
Assalamu'alaikum Wr. Wb

      Segala puji hanya selayaknya kita panjatkan kepada Illahi Rabbi, atas segala karunia dan nikmatNya, khususnya nikmat Iman dan Islam, yang diberikan kepada kita. Shalawat dan salam semoga Allah tetap curahkan kepada utusanNya, Rasulullah Muhammad Saw, beserta segenap para keluarga, shahabat, tabi'in, tabi'it tabi'in dan umatnya.

      Wacana negara Islam, sebagaimana penulis amati di awal tahun 2000 hingga penghujung tahun tersebut, tetap hangat untuk dibicarakan. Bahkan tokoh-tokoh politik nasional yang memiliki basis massa keagamaan, secara tidak bosan-bosannya menyinggung terus wacana
tersebut dengan segala pro dan kontra yang ada. Apalagi, sekitar bulan Juni 2000, dibeberapa kampus di kota-kota besar Indonesia, menggelar secara serentak diskusi wacana ini. Dan diakhiri dengan konferesai internasional khilafah Islamiyah di Jakarta. Dan tulisan ini adalah sebuah "refleksi" dan "risalah kecil" dalam hal penyikapan terhadap berbagai pemikiran tentang wacana Negara Islam tersebut.

      Penulis juga mengucapkan rasa terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada semua pihak yang telah membantu penulis, baik secara moril maupun materiil, karena atas jasa mereka pulalah akhirnya tulisan ini dapat terselesaikan dengan relatif baik. Penulis insyafi bahwa dalam tulisan ini masih begitu banyak hal yang harus diperbaiki, sehingga penulis mengharapkan adanya kritik dan saran membangun yang Insaya Allah akan sangat berguna bagi perbaikan penulisan-penulisan selanjutnya.
      Akhirnya, penulis sampaikan selamat membaca "risalah kecil" ini, semoga dapat memberikan manfaat kepada para pembaca maupun masyarakat.

Alhamdulillahirabbil'alamin
Wassalamu'alaikum Wr. Wb

Bandung, Januari 2001

Penulis

PENDAHULUAN

"…Perubahan sosial yang bergerak melalui rekayasa sosial harus dimulai dengan perubahan cara berpikir…. Mustahil ada perubahan ke arah yang benar, kalau kesalahan berpikir masih menjebak kita….  Problem adalah adanya perbedaan antara das sein (yang nyata) dan das sollen (yang seharusnya)."  Jalaluddin Rakhmat,1999

Diskursus mengenai negara Islam (ad Daulah al Islamiyyah) boleh dibilang merupakan sebuah fenomena menarik tersendiri yang secara terus menerus bergulir secara hangat di tengah masyarakat baik dalam maupun luar negeri. Seperti layaknya sebuah perdiskusian, aktivitas ini menghasilkan berbagai macam pro dan kontra. Ketidaksepakatan atas hasil yang diperoleh tentunya banyak diakibatkan oleh perbedaan cara memandang (point of view) masalah, dengan kata lain, standar dasar (basic of truth) yang digunakan. Hal yang logis, apabila baik pihak- pihak yang mendukung maupun tidak mendukung ide negara Islam segera melakukan tindak lanjut dengan upaya yang riil. Munculnya fenomena gerakan-gerakan Islam (Harakah Islam) mulai dari yang berskala internasional seperti Ikhwanul Muslimin, Jamaah Murabitun, Tanzhimul  Jihad, Hizbut Tahrir, sampai pada yang berskala lokal seperti DI/TII, NII, Jama'ah Muslimun (Jamus), merupakan follow-up dari upaya untuk merealisasikan konsep negara Islam. Walaupun tentunya, gerakan-gerakan tersebut harus menghadapi faksi yang menyatakan kontra terhadap tujuan tersebut, biasanya institusi negara dan konstitusi yang di-back up oleh militer. Terlepas dari upaya pihak-pihak yang ingin merealisasikan atau yang tidak, tulisan ini  hanya ingin sekadar memberikan beberapa pandangan objektif-berdasarkan legitimasi syar'i-mengenai  diskursus ini, yang tentunya tanpa berpretensi untuk  mencari jalan tengah bagi pihak-pihak yang pro dan kontra.

Melihat realitas mutakhir kaum muslim, diakui secara sadar maupun tidak, kaum muslim tengah berada pada titik paling nadir. Kondisi yang belum pernah dialami oleh generasi-generasi sebelumnya. Hal tersebut terjadi, apabila kita melihat menurut rentang waktu, tatkala Daulah Khilafah Turki Ustmani di Turki dihancurkan oleh Inggris melalui tangan Mustapha Kemal "Attaturk" Pasya di tahun 1924, dimana sebelumnya Daulah ini mengalami kekalahan pada Perang Dunia I. Berikutnya, pasca mengalami fragmentasi menjadi lebih dari 50 negara kecil-kecil, Barat kemudian melakukan upaya, meminjam istilah Amien Rais, apa yang disebut sebagai Westoxiation (peracunan Barat), dengan kurun waktu yang sangat panjang (Amien Rais, Cakrawala Islam, 1991).

Walhasil, kaum muslim menjadikan Islam hanya sebagai agama ritual, yang ini berimplikasi kepada impotennya umat pada aspek sosial, politik, ekonomi. Barat kemudian melakukan "penjajahan jilid dua" setelah dirubahnya wajah imperialisme dari pendekatan militer ke pendekatan non militer, yaitu dengan dominasi dan eksploitasi dibidang politik, ekonomi, budaya, keamanan. (An-Nabhani, Mafahim Siyasiyah, hal.13).

Adalah hal yang wajar apabila kaum muslim, sebagaimana yang diungkapkan Nurchalis Madjid dalam kata pengantar buku yang berjudul "Islam dan Peradaban Dunia" karya W. Montgomery Watt, mengalami kondisi inferiority complex (rasa rendah diri). Ketidakberdayaan yang awalnya terjadi setelah hancurnya Daulah Islam di Turki tersebut akhirnya berakumulasi menjadi suatu, meminjam istilah Dr. Thaha Husein, "Malapetaka terbesar dalam sejarah Islam".

BAB I

PENYIKAPAN TERHADAP IDE NEGARA ISLAM

Penolakan Ide

 Seperti yang telah diungkapkan bahwa ketidaksetujuan para penolak ide Daulah Islam terletak pada perbedaan tolok ukur (miqyasul `amal). Seandainya kita menyepakati dahulu bahwa cara memandang dan berpijak muslim adalah hukum syara', sebagai konsekuensi keimanan, tentulah letak perbedaan akan dapat direduksi.

      Ali Abdul Raziq, seorang profesor imu kesusasteraan Al Azhar Kairo, mengeluarkan buku yang sangat kontroversial berjudul "Al Islam wa `Ushul Al Hukm" (terjemahan Indonesia berjudul “Khilafah dan Pemerintahan Islam"), mengatakan bahwa Islam tidak mewajibkan kepada umat untuk mengangkat imam atau pemimpin tertinggi yeng menjadi pengatur kepentingan mereka. Tidak ada sesuatu dalil apapun dari Al-Qur'an atau Sunnah, begitu juga tidak ada ijma' yang mengatakan seperti itu. Melaksanakan syi'ar keagamaan, hukum-hukum syari'at dan kemaslahatan masyarakat, tambahnya, tidak tergantung pada ada atau tidaknya imamah atau khilafah, tetapi tergantung kepaa wujudnya suatu pemerintahan apapun model konstitusinya maupun sistemnya. Karena Islam tidak menentukan bentuk ini ataupun itu didalam urusan
pemerintahan.
      Pendapat yang sama dilontarkan oleh sekjen Partai Keadilan, Anis Matta, Lc yang menyatakan, dalam Republika, Jum'at 2 Juni 2000, bahwa masalah muamalah dalam Islam bersifat fleksibel dan disesuaikan dengan kebutuhan umat. Jadi, tidak masalah apakah suatu negara itu menerapkan sistem monarki, misalnya, asalkan negara tersebut memiliki visi yang memberi fasilitas pada umat Islam.

      Pendapat-pendapat seperti ini akhirnya menjadi trend bagi beberapa intelektual muslim, sebut saja seperti Amien Rais, yang pernah mengatakan bahwa tidak ada perintah secara "letterleks" untuk mendirikan negara Islam dalam Al-Qur'an. Senada dengan Amien Rais, Dr. Thaha Husein, seorang tokoh sekuler Mesir, mengatakan bahwa Nabi Muhammad saw. hanyalah seorang rasul biasa seperti halnya rasul-rasul terdahulu. Tugasnya hanyalah mengajak manusia kembali kepada kehidupan yang mulia dengan menjunjung budi pekerti yang luhur. Nabi, masih ungkapnya, tidak pernah dimaksudkan untuk mendirikan dan mengepalai satu negara. Masih menurutnya, bahwa Islam yang dibawa Rasulullah Saw adalah agama dalam pengertian Barat, tidak ada hubungannya dengan urusan kenegaraan. Islam adalah agama bukan negara; sikap hidup bukan sistem pemerintahan; pandangan spiritual bukan institusi politik. Bahkan, Dr. Faraj Foda mengatakan sejarah Islam membuktikan bahwa percampuran antara agama dan politik telah bertanggung jawab atas kekerasan dan intoleransi dalam gerakan Islam. Negara agama tak dapat diterima oleh dunia modern. (lihat buletin Al Ummah edisi 84 diterbitkan oleh Lembaga Pengembangan Dakwah Islam Bandung).

      Munawir Sadzali bahkan mengungkapkan: "Dalam Al-Qur'an maupun Al-hadist nabi tidak terdapat petunjuk tentang bagaimana cara menentukan pemimpin umat atau kepala negara sepeninggalan beliau nanti, selain petunjuk tentang bagaimana cara menentukan pemimpin umat atau kepala negara sepeninggal beliau nanti, selan petunjuk umum agar umat Islam mencari penyelesaian dalam masalah-masalah yang menyangkut kepentingan bersama dengan cara musyawarah, tanpa ada pola yang baku tentang bagaimana musyawarah itu dilakukan." (Islam dan Tata Negara, halaman 21)

      Alasan lain yang menonjol diutarakan oleh seorang intelektual muslim, Abdel Wahab el-Effendi dalam bukunya "Who Needs an Islamic State?". Beliau membuat tesis bahwa sejarah politik Islam seringkali mengecewakan karena selalu terjadi kesenjangan antara fakta dan  idealitas. Karenanya, umat Islam harus meninggalkan ilusi akan datangnya negara utopis yang akan mengembalikan kejayaan Islam. Hal yang sama diungkapkan oleh Alwi Shihab yang menyatakan bahwa dalam sejarah umat Islam, pemerintahan yang diberi legitimasi agama bertanggung jawab atas lahirnya tirani. Tirani yang dekadensi itu disebabkan oleh legitimasi agama yang diberikan kepada khilafah yang seharusnya tidak ada (Kompas, 29 Mei 1999). 

      Sejatinya, baik tesis el-Effendi maupun ungkapan Alwi shihab ini dipengaruhi oleh statement Ali abdul Raziq, yaitu: "…tetapi bila kita amati secara cermat, maka kenyataan yang ada membuktikan bahwa kekhilafahan Islam hanyalah ditegakkan atas tekanan-tekanan dan paksaan." (Khilafah dan Pemerintahan dalam Islam, terj. Hal. 37)

      Ungkapan Gus Dur dalam sambutannya pada upacara hari raya Natal, sebagaimana yang dikutip oleh Pikiran Rakyat (31/12/2000), bahwa negara akan memperlakukan sama semua agama. Tidak ada agama yang akan diperlakukan istimewa. Pernyataan Gus Dur ini, dapat ditangkap sebagai upaya sekulerisasi yang pada akhirnya memisahkan campur tangan agama dalam bidang politik. Tentulah hal ini pun dapat dipahami sebagai sebuah pernyataan sikap bahwa agama, khususnya Islam, tidak perlu mengurusi atau mengintervensi masalah-masalah negara, sehingga kewajiban negara adalah memperlakukan agama Islam layaknya agama Kristen, Budha, Protestan. Sebelumnya, Denny JA, seorang mahasiswa program Ph.D Comparative Politics and Business pada Ohio State University AS, pernah menulis di harian Kompas (15/5/1997) bahwa perlu dihindari terjadinya politisasi agama, yang memanipulasi
sentimen agama dalam rangka kekuasaan dan mengagamakan politik, sebab politisasi agama memindahkan agama yang seharusnya ada pada wilayah komunitas ke wilayah negara. Ia menambahkan, politisasi agama harus menjadi musuh agama sekaligus musuh politik. Negara harus dibuat sekuler agar dapat netral atas keberagaman agama dan keyakinan, serta tidak menjadi instrumen agama tertentu.

      Semua ungkapan tersebut  dipicu oleh sebuah paradigma "Islam subtantif-kultural". Yang menganggap "Islam simbolik" (sebagai sebuah kata untuk membiaskan pengertian "formalisasi Islam") sebagai sesuatu yang tidak perlu. Padahal sebetulnya kekuatan simbol dapat berguna
untuk menjadi katalisator bagi munculnya sebuah perubahan. (Dale F. Eickelman dan J. Piscatori, Muslim Politics, hal.13).

      Pemeo-pemeo yang dilontarkan oleh para intelektual tersebut, yang menyatakan dirinya berjuang dalam track kultural, tidak struktural (baca: politik), adalah seperti "pribumisasi Islam" ala Gus Dur, disusul adigium "Islam yes, Partai Islam No" oleh Cak Nur, yang didukung oleh beberapa cendikiawan Islam seperti Fachry Ali, Syafi'i Maarif, Bachtiar Efendi, M. Dawam Rahardjo. Walaupun, beberapa dari mereka berlaku tidak konsisten pula dengan bergabungnya mereka ke track politik.

      Pendekatan Islam substansi ini digunakan dengan argumen bahwa Islam lebih mementingkan substansi daripada formalitasnya. Sehingga, konsep negara Islam pun ditolak. Alasannya, negara Islam adalah sebuah bentuk formalitas (simbol), padahal yang lebih penting adalah substansi negara tersebut, seperti bagaimana sebuah negara menciptakan keadilan, kesejahteraan dan keamanan. Lebih lanjut, Denny Kodrat dalam tulisannya "Ideologisasi Mahasiswa Muslim: Gagalnya Islam Kultural", yang dimuat dalam tabloid Suara Ummat edisi Juni 2000, menjelaskan secara panjang lebar mengenai paradigma "Islam kultural-substantif", yaitu : "Jika kita cermati konsepsi "Islam Kultural" yang dilontarkan oleh beberapa cendekiawan akan kita dapatkan  pemahaman  bahwa setidaknya ada tiga tawaran yang digulirkan sehubungan dengan gagasan pemikiran Islam kultural yakni :

Pertama, bahwa tawaran Islam kultural tidak semata-mata menunju hal-hal yang sempit dan partisan, misalnya dalam format politik atau ideologi semata, tapi dalam suatu format yang meliputi semua aspek.

Kedua, Islam yang tampil dengan tawaran kultural harus responsif terhadap tantangan jaman yang terus berubah. Ketiga, Islam yang tampil dengan tawaran kultural harus merupakan hasil dialog dengan tuntutan ruang dan waktu. Dalam kasus di Indonesia, Islam tentunya harus berdialog dengan tuntutan yang muncul di Indonesia. (M. Syafi'I Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia, hal.213). Hal senada pun diungkapkan Gus Dur, dengan term "pribumisasi Islam", dengan mengatakan bahwa tugas Islam yang utama adalah mengembangkan etika sosial (social ethics) yang memungkinkan tercapainya kesejahteraan kehidupan umat manusia. Bahkan menurut M. Dawam Rahardjo, Al-Qur'an pada dasarnya mengandung cita-cita kemasyarakatan dan bukan negara. Negara Islam, masih menurutnya, adalah salah satu jenis konstruk ideal yang bersifat totaliter dan elitis. (idem, hal 189). Hal senada pun diungkapkan oleh Ir. Soekarno, walaupun kita tidak dapat langsung mengklaim bahwa beliau pengusung Islam kultural, dengan menyatakan bahwa hukum Islam itu seperti karet yang dapat disesuaikan dengan kondisi jaman, dimana jika jaman berubah, manusia berubah, maka hukum pun ikut berubah. (Ir. Soekarno, Di Bawah Bendera Revolusi: Memudakan Pengertian Islam, hal:375)

     Jelaslah, bahwa sebetulnya gerakan Islam kultural menitikberatkan pada isi (substantif) nilai-nilai etik Islam yang disesuaikan dengan kondisi objektif masyarakat. Maka, sudah tegas pula, dengan menekankan pada unsur-unsur nilai saja, maka gerakan Islam kultural menafikan unsur ideologis-politis dalam memperjuangkan Islam. "Sebagai tambahan informasi, bahwa diterima dan ditempatkannya Pancasila sebagai satu-satunya asas organisasi, yang pada akhirnya menyebabkan deideologisasi dan depolitisasi kaum muslim disebabkan konsepsi dari pendekatan gerakan dakwah secara kultural dalam merekayasa dan merekonstruksi umat." (Abdul Munir Mulkan, Runtuhnya Mitos Santri, hal. 10-17)

Pengakuan Ide

Bahwa Islam mengatur masalah kenegaraan sebenarnya sudah banyak dibahas oleh para fuqaha (ahli ilmu fiqih), jadi bukanlah hal yang asing. Demikian pula dikalangan para pengamat Islam dari Barat (orientalis) banyak diantara mereka mengakui bahwa Islam dan negara adalah satu hal yang tidak bisa dipisahkan.

      Abdul Muta'al Muhammad al Jabari mengumpulkan pendapat para orientalis Nasrani dalam bukunya Nizhamul Hukm fi Al-Islam bi aqlaami Falaasifatin Nashara mengungkapkan antara lain:
Lorafa Gialery:

Islam itu adalah agama dan negara. Dan sekalipun Barat yang kini maju dengan memisahkan agama dari negara, tetapi Islam tetap tidak memisahkan agama dari negara.

Gustav  Grembown:

Penobatan Khalifah kaum muslimin disepakati dengan ijma'. Hal ini telah diperinci oleh para fuqaha.

Bernad Lewis:

Sebelum Khilafah runtuh, para Sultan (Khalifah) adalah penguasa tanpa saingan yang hampir seluruh kaum muslimin bergabung dengannya.

M. Dhyauddin Rayyis juga mengumpulkan beberapa pendapat para orientalis dalam bukunya An Nadlariyat As-Siyasah al Islamiyah antara lain:

Thomas Arnold:

Nabi seorang kepala agama dan kepala negara.

R. Gibb:

Sejak saat itu sudahlah menjadi jelas, bahwa Islam bukanlah semata-mata keyakinan agama individual, tetapi sudah mewajibkan pembentukan suatu masyarakat yang mandiri, yang memiliki bentuk pemerintahan yang mandiri serta memiliki konstitusi dan sistem pemerintahan yang khusus.

Sementara itu dari kalangan fuqaha Islam terdahulu, masalah ini bisa dilihat dari berbagai buku yang mereka buat. Buku tersebut antara lain :

Imam Al-Ghazali:

"Oleh karena itu, dikatakan bahwa agama dan kekuasaan adalah bagai saudara kembar. Dikatakan pula bahwa agama adalah fondasi (asas) dan kekuasaan adalah penjaganya. Segala sesuatu yang tidak berpondasi akan runtuh, sedang segala sesuatu yang tidak berpenjaga akan hilang lenyap".

(Lihat Imam Al-Ghazali, al-Iqtishad fi al-I'tiqad, halaman 199).

Muhammad bin Al-Mubarrak :

"Al-Qur'an mengandung hukum-hukum yang mustahil dapat diterapkan tanpa adanya pemerintahan dan negara (Islam) yang mengambil dan menerapkan hukum-hukum itu. Maka sesungguhnya mendirikan negara dan menjalankan tugas pemerintahan dan kekuasaan adalah bagian substansial dari ajaran Islam. Islam tidak akan tegak sempurna tanpa negara dan bahkan keislaman kaum  muslimin pun tidak akan sempurna tanpa negara".

(Lihat Muhammad bin Al-Mubarrak, al-Hukmu wa ad-Daulah, halaman 11).

Syaikh Abdurrahman al-Jaziri :

"Para Imam (yaitu Abu Hanifah, Malik, Syafi'i, dan Ahmad)-Rahimahullah - telah sepakat bahwa Imamah (Khilafah) adalah fardlu, dan bahwa kaum muslimin wajib mempunyai seorang imam (khalifah) yang akan menegakkan syi'ar-syi'ar agama, dan menolong orang-orang yang dizhalimi".

(Lihat Syaikh Abdurrahman al-Jaziri, al-Fiqh `Ala al-Madzahib al- Arba'ah, Juz V halaman 614).

Imam Ibnu Hazm:

"Seluruh golongan Ahlus Sunnah, Murji'ah, Syi'ah dan Khawarij, telah sepakat mengenai kewajiban Imamah dan bahwa ummat wajib menta'ati Imam yang adil yang menegakkan hukum-hukum Allah, dan memimpin mereka dengan hukum-hukum syari'at yang dibawa Rasulullah SAW".  (Lihat Ibnu Hazm, al-Fashlu fil Milal wa al-ahwa an-Nihal, juz 4, hal 87).

 

Imam al-Qurthubi:

"Tidak ada perbedaan pendapat mengenai wajibnya perkara itu (yakni kewajiban Khilafah) baik diantara ummat maupun diantara para imam, kecuali pendapat al-Asham -yang tuli (Arab: `asham"-tuli) terhadap syari'at- dan siapa saja yang mengambil dan mengikuti pendapatnya".
(Lihat Imam al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi, juz 1, hal. 264).

Ibnu Khaldun:

"Sesungguhnya pengangkatan Imam adalah wajib, hal ini telah diketahui secara syar'i berdasarkan ijma' shahabat dan tabi'in  dan para shahabat Rasulullah Saw ketika beliau wafat mereka bergegas membai'at Abu Bakar r.a. dan menerima pandangannya dalam setiap urusan mereka dan yang demikian ini terjadi setiap masa. Tidak pernah dibiarkan kekacauan di tengah-tengah manusia pada setiap masa dan penetapan hal tersebut berdasarkan ijma' menunjukkan wajibnya pengangkatan Imam".  (Lihat Ibnu Khaldun, Muqoddimah,halaman 127).

Imam al Mawardi:

"Pengangkatan Imam yang ditegakkan di tengah-tengah umat adalah wajib berdasarkan ijma' (Lihat Imam Al-Mawardi, Ahkamus-Sulthoniyah, halaman 5).

 

Ibnu Taimiyah :

"Wajib mengangkat Penguasa (Imarah) secara agama hal ini akan mendekatkan diri kepada Allah SWT. Sesungguhnya mendekatkan diri kepada Allah SWT dalam pemerintahan adalah dengan taat kepada Allah SWT dan taat kepada Rasulullah Saw."

(Lihat Ibnu Taimiyah, as-Siyasah as-Syar'iyah, halaman 161).

"Wajib diketahui manusia bahwa adanya wilayatul amr (perintah) bagi manusia adalah kewajiban yang paling agung dalam agama. Bahkan tidak tegak agama dan juga persoalan dunia tanpanya (pemerintahan)."

(Lihat Ibnu Taimiyah, Majmu'ul Fatawa, halaman 390).

BAB II

REVISI LOGIKA BERPIKIR

Sebagaimana yang pernah penulis ungkap dalam pendahuluan tulisan ini, bahwa letak diskursus (pro-kontra) berada pada perbedaan sudut pandang. Artinya, bilamana dari kedua belah pihak yang "bersengketa" memposisikan logika berpikirnya secara tepat, sama, dan sinergis, bisa jadi fenomena wacana ini dapat diselesaikan dan diambil sebuah konklusinya. Melihat berbagai pendapat yang menolak adanya sistem Daulah Khilafah dalam Islam pada dasarnya berpangkal pada beberapa kesalahan mendasar dalam kerangka berfikir (frame of thinking).

Pertama: Terjebak pada kerangka berfikir sekulerisme yang memisahkan agama dari kehidupan. Menurut Muhammad Quthb (Ancaman Sekulerisme, 1986) sekulerisme adalah membangun struktur kehidupan di atas landasan selain agama Islam. sehingga agama dianggap sebatas nilai-nilai etika (moral), bersifat individual, sebatas memuat nilai-nilai yang dianggap universal. Agama tidak boleh mengatur secara praktis (berupa hukum dan undang-undang) dalam masalah politik, ekonomi dan kenegaraan. Asumsi sekulerisme ini dipicu oleh seruan Bible yang mengatakan, "Gives unto God what is God's, and gives unto caesar what is caesar's" (Berikanlah apa yang dimiliki tuhan kepada tuhan, dan kaisar kepada kaisar).

Kedua: Menilai Islam secara sosiologis. Dalam pandangan sosiologis, nilai-nilai (value) dan hukum (laws) bisa berubah karena perubahan fakta. Dalam hal ini faktalah yang menjadi sumber hukum. Sedangkan Islam memandang bahwa dalam setiap pembahasan seorang muslim wajib menjadikan aqidah Islam dan hukum-hukum Islam sebagai miqyasul `amal (ukuran perbuatan), yakni Al-Qur'an dan As-Sunnah.  Demikian juga dalam pembahasan masalah ini haruslah dikembalikan kepada Al-Qur'an dan Sunnah. Firman Allah SWT :

"Barang siapa yang tidak berhukum pada apa-apa yang diturunkan oleh Allah SWT maka dia adalah kafir" (QS Al-Maidah : 44)

"Hai orang-orang yang beriman taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul dan ulil amri (pemimpin) diantara kalian, dan jika kalian berlainan pendapat tentang sesuatu maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul-Nya (As-Sunnah), jika kamu benar-
benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar Maha Melihat" (QS An-Nissa: 59)

     
Bagaimana pandangan Islam terhadap metode berfikir sosiologis?

Istilah sosiologi berasal dari kata socius (teman) dan logos (ilmu). Secara luas sosiologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari interaksi manusia di dalam masyarakat.

      Dalam masalah metode berfikir sosiologi, sebagaimana lazimnya ilmu sosial lainnya, menggunakan alur berfikir induktif. Dalam kerangka induktif teori-teori kebenaran dibangun berdasarkan fakta-fakta (berupa generalisasi). Dengan demikian fakta-fakta yang digeneralisasi dan diuji, itulah yang menjadi standar kebenaran.  Dengan demikian kebenaran menjadi relatif, bisa berubah-ubah karena perbedaan waktu dan tempat. Karena fakta-fakta itu sendiri kadang-
kadang mengalami perubahan. Seringkali seorang sosiolog mengalami kesalahan dalam pengeneralisasi, hal ini diungkapkan oleh Jalaluddin Rakhmat dalam buku Rekayasa Sosial, hal.4. Kang Jalal mengistilahkannya dengan Fallacy of Dramatic Instance atau dikenal pula dengan Over-generalization, yaitu penggunaan satu dua kasus untuk mendukung argumen yang bersifat general atau umum. Sebagai contoh, orang Nasrani lebih bersih daripada orang Islam dengan menjadikan Inggris, Amerika dan Perancis dan beberapa negara Eropa lain sebagai contoh untuk negara Kristen. Indonesia dijadikan sebagai contoh untuk negara Islam, itu pun tidak mengambil daerah elit, namun daerah-daerah kumuh. Tentunya kesimpulannya seperti yang di atas.

Tentulah kesimpulannya akan berubah-sesuai dengan berubahnya fakta- apabila kita balik, Muslim di Inggris itu bersih-bersih, sedangkan Nasrani di Brazil itu jorok-jorok. Maka kesimpulannya pun akan berbunyi bahwa orang muslim lebih bersih daripada orang nasrani.
      Adapun dalam Islam sumber kebenaran bukanlah fakta-fakta. Sumber kebenaran adalah Al-Qur'an dan Hadits termasuk yang ditunjukkan oleh keduanya yaitu ijma' sahabat dan qiyas. Fakta-fakta hanyalah sebatas obyek pembahasan yang dicari hukumnya dan harus diubah berdasarkan hukum itu. Dengan demikian dalam metode berfikir Islam, hukum Islam itu tidak berubah karena waktu dan tempat. Tetapi hukum Islamlah yang mengubah fakta yang tidak sesuai dengan hukum Islam (sumber: Muhammad Ismail dalam Bunga Rampai Pemikiran Islam (Al Fikru al Islamy) halaman 90). Sebagai contoh, pada saat kita menemukan pada kondisi masyarakat Banyuwangi dimana para isteri mencari nafkah, sedangkan suami mengurus anak di rumah, terus kemudian akan diadakan pembagian hak waris. Apakah dikarenakan suami tinggal di rumah (tidak bekerja), dan isteri bekerja lantas hukum Islam mengenai waris diubah, yaitu:
dengan perbandingan dua bagi wanita, dan satu bagi pria?. Tentulah tidak, bahkan sebaliknya, faktalah yang harus diubah agar mengikuti hukum Islam, artinya pria haruslah mencari nafkah, disebabkan syara'  telah mewajibkan pihak suami untuk mencari ma'isah, bukan wanita.
Seandainya hukum Islam itu mengikuti fakta , maka seharusnya ada revisi-revisi ayat Al-Qur'an, yang disesuaikan dengan jaman.  Na'udzubillah tsuma na'udzubillah.

      Dengan menjadikan hukum syara' sebagai tolok ukur pendapat, maka dalil pertama mengenai kewajiban seorang muslim adalah. Firman Allah SWT:

"Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang kafir" (QS. Al Maidah:44)

"Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang Zhalim" (QS. Al Maidah:45)

"Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang fasik" (QS. Al Maidah: 47)

"Maka putuskanlah perkara diantara manusia dengan apa yang diturunkan oleh Allah, dan janganlah engkau menuruti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu" (Al Maidah: 48)

Perintah yang senada bisa kita lihat di dalam banyak ayat Al-Qur'an seperti perintah untuk taat kepada apa-apa yang diturunkan Allah (An-Nuur: 48-52), tidak beriman bagi yang tidak mengikuti hukum Islam (An-Nisaa': 65, Al Maidah: 44). Inilah dalil yang pertama, yakni kewajiban menjalankan seluruh hukum syara' secara total. Dan kalau seluruh aturan-aturan syara' itu diterapkan sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah pastilah disebut dengan negara dan
membutuhkan negara. Kenapa disebut negara? Sekarang kita lihat dulu apa yang disebut negara dan apakah masyarakat Islam di Madinah pada masa Rasulullah Saw memenuhi kriteria tersebut.

BAB III

KRITERIA NEGARA

Sudah banyak diketahui untuk bisa disebut negara paling tidak memiliki beberapa syarat antara lain:

Memiliki wilayah tertentu.

Dalam hal ini jelas kaum muslimin di masa Rasulullah Saw memiliki wilayah tertentu, yaitu Madinah dan sekitarnya. Dan kemudian meluas ke wilayah-wilayah sekitarnya. Wilayah dimana kaum muslimin berkuasa berbatasan dengan wilayah lain seperti wilayah kaum musyrik Makkah,
kekuasaan Romawi maupun Persia. 

 

Memiliki pemerintahan yang berkuasa penuh dan mandiri berikut rakyat tertentu.

Berkaitan dengan ini pemerintahan yang didirikan oleh Rasulullah Saw di Madinah dan kemudian diperluas disekitarnya, merupakan pemerintahan yang otonom. Dimana Rasulullah Saw memimpin sebagai kepala negara dengan rakyat yang tunduk dan taat kepada kepala negaranya. 

Memiliki aturan-aturan tertentu yang mengatur interaksi di tengan masyarakat tersebut.
Hal ini juga dipenuhi oleh pemerintahan Islam. Dimana masyarakat diatur berdasarkan hukum-hukum Islam untuk mengatur interaksi masyarakat dan mengadili setiap pelanggaran (kriminal).

Di samping syarat-syarat tersebut untuk dikatakan sebuah negara, haruslah memenuhi beberapa fungsi-fungsi umum negara. Apakah syariat Islam sebagaimana yang diterapkan oleh Rasulullah Saw di Madinah dan dilanjutkan oleh para Khalifah memiliki fungsi tersebut?, menurut Ismail Yusanto (Islam Ideologi, 1998) dan Farid Wadjdi (Legitimasi Syar'i Wajibnya Negara Islam, op.cit, 2000):

Fungsi menjalankan aturan (pemerintahan).

      Dalam hal ini apa yang dilakukan oleh Rasulullah Saw di Madinah telah memenuhi fungsi ini. Rasulullah Saw diangkat menjadi kepala negara (amir ad-daulah). Negara yang didirikan oleh Rasulullah Saw tegak atas dasar aqidah Islam, dimana atas asas tersebut, tegaklah dasar, pilar, struktur, pasukan serta hubungan ke dalam dan ke luar negeri. Sejak Rasulullah Saw tiba di Madinah, Rasulullah Saw langsung memimpin kaum muslimin, melayani kepentingan mereka,
mengatur urusan mereka, membentuk masyarakat Islam dan membuat perjanjian dengan komunitas non muslim (Yahudi). (piagam madinah, lihat lampirannya)

      Untuk memperlancar roda pemerintahannya Rasulullah Saw mengangkat beberapa orang untuk menjadi Wali (pemimpin daerah setingkat Gubernur) dan Amil (pemimpin daerah setingkat Bupati). Utab bin Usaid pernah ditunjuk menjadi wali Makkah, Badzan bin Sasan sebagai wali di Yaman, Mu'ad bin Jabal al Khazraji menjadi wali di Janid. Sebagai amil di Shun'a, Khalid bin Walid pernah ditunjuk di wilayah tersebut dan banyak lagi.

Fungsi mensejahterakan masyarakatnya (sandang, pangan, perumahan, transportasi, kesehatan ).

Dalam pandangan Islam pada mulanya pemenuhan kesejahteraan hidup manusia adalah tugas individu, yakni dengan bekerja. Jika ia mampu bekerja, namun belum mendapatkan pekerjaan maka negara wajib menyediakannya. Rasulullah Saw pernah memberi dua dirham pada seseorang. Rasulullah Saw bersabda:

"Makanlah dengan satu dirham dan sisanya belikanlah kapak, lalu gunakanlah untuk bekerja".
Masih dalam rangka memenuhi kebutuhan pokok rakyatnya, Islam memerintahkan kepada para `amilun (pengelola zakat) untuk menarik zakat dan membagikannya kepada orang-orang yang membutuhkannya (delapan golongan yang dijelaskan dalam Al-Qur'an diantaranya orang
fakir dan miskin).  Tindakan Rasulullah Saw ini diikuti oleh kepala negara sesudah Rasulullah Saw yakni para Khalifah. Umar bin Khattab pernah membangun `daar ad daqiiq', sebuah rumah yang menyediakan berbagai jenis kebutuhan pokok. Tujuannya untuk menolong orang-orang yang singgah dan memenuhi kebutuhan orang-orang yang menginginkannya.
Demikian juga perihal jaminan kesehatan. Rasulullah Saw pernah mendapat hadiah seorang dokter (ahli pengobatan) dari Raja Mesir Muqauqis. Rasulullah Saw kemudian menjadikan dokter itu sebagai dokter kaum muslimin. Ketika serombongan orang datang ke Madinah untuk menyatakan keislamannya diserang penyakit, Rasulullah Saw memerintahkan mereka beristirahat di pos penggembalaan ternak milik Baitul Mal yang bernama Zhi Jadhr. Mereka tinggal di sana hingga sembuh.

Fungsi menjaga keamanan dan pertahanan negara.

Dalam hal ini Rasulullah Saw membangun angkatan bersenjata yang kuat untuk mempertahankan negara dari serangan pihak luar dan juga untuk mengemban da'wah Islam ke  luar negeri. Rasulullah Saw sendiri pernah menjadi panglima perang dalam beberapa peperangan. Rasulullah Saw pernah mengirim Abdullah bin Jahsy untuk pergi bersama sekelompok kaum muslimin lain mencari informasi untuk orang-orang Quraisy. Rasulullah Saw juga pernah mengutus Aba Salamah bin Al-Asad sebagai komandan detasemen yang berjumlah 150 orang.  Adapun untuk menjaga keamanan dalam negeri dari tindakan kejahatan dan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh rakyat, Rasulullah Saw membentuk semacam polisi (syurtoh). Pasukan ini diambil dari unsur angkatan bersenjata (jaisy) yang kemudian dibekali dengan tsaqofah (pengetahuan) tertentu. Rasulullah Saw pernah mengangkat Qaisy bin Sa'ad untuk senantiasa mengawal beliau untuk menjalankan kebijakan negara. Pada masa Abu Bakar, Abdullah bin Mas'ud diangkat menjadi komandan patroli yang mengawasi keamanan kaum muslimin.

Fungsi Peradilan.

Adalah tanggung jawab negara untuk menyelesaikan setiap perkara pelanggaran terhadap hukum maupun pengambilan secara tidak sah terhadap hak-hak masyarakat. Karena itu, setiap negara pastilah membutuhkan lembaga peradilan. Dalam hal ini Rasulullah Saw pernah
mengangkat Qadhi (hakim) untuk memberikan keputusan terhadap sengketa yang terjadi di tengah masyarakat. Rasulullah Saw pernah mengangkat Ali bin Abi Thalib untuk menjadi Qadhi di Yaman, Muadz bin Jabal dan Abu Musa sebagai Qadhi dan sekaligus wali di Yaman. Imam at Tabarani telah mengeluarkan hadits yang shohih dari Masruq yang mengatakan: "orang-orang yang memegang jabatan Qadhi pada zaman Rasulullah Saw ada enam….".  Qadhi (hakim) ini kemudian memutuskan berbagai persoalan kriminal berdasarkan Al-Qur'an dan hadits. Seperti hukum potong tangan bagi pencuri (Al Maidah: 38 ), rajam bagi pezina (An-Nuur: 2), Qishash (hukuman mati) atau diyat (tebusan) bagi pembunuh, memerangi para perampok / pembegal yang teroganisir (Al-Maidah: 33), dan berbagai hukum yang secara tegas disebutkan dalam Al-Qur'an.

Fungsi Pendidikan.

Dalam masalah pendidikan, negara bertanggungjawab penuh, gaji guru misalnya, diambil dari kas negara. Rasulullah Saw pernah menetapkan kebijakan kepada para tawanan perang Badar untuk mengajari kaum muslimin baca tulis. Tugas ini sebagai tebusan bagi mereka. Dan tebusan itu adalah milik negara. Tindakan ini diikuti oleh Umar bin Khattab ketika menjadi Khalifah dengan memberikan gaji 15 dinar setiap bulan kepada guru mengaji di kota Madinah.

Fungsi Politik Luar Negeri (Diplomatik).

Islam menetapkan asas dalam hubungan luar negeri adalah da'wah untuk menyebarluaskan Islam ke seluruh penjuru dunia. Berkaitan dengan ini Rasulullah Saw pernah mengirim sekitar 30 surat terhadap kepala negara lain seperti Muqauqis (Mesir), Kaisar Persia Kisra, Heraclius (Romawi). Isi dari surat tersebut tidak lain adalah untuk mengajak mereka masuk Islam. Disamping surat, Rasulullah Saw mengirim langsung beberapa sahabat untuk menjadi duta negara, seperti Hubail bin Amr ke Heraclius (An-Nabhani, Ad-daulah Al Islamiyah).
Dengan demikian, kalaulah seluruh fungsi-fungsi tersebut diterapkan pastilah akan dikatakan sebuah negara. Setiap orang yang berakal sehat pasti mengatakan bahwa itu adalah sebuah negara. Jadi kewajiban untuk menerapkan seluruh aturan Islam (yang meliputi fungsi-fungsi di
atas) berarti sekaligus merupakan kewajiban penegakkan negara yang didasarkan pada Islam. Karena kalau seluruh syari'at Islam diterapkan pastilah akan dikatakan negara.
Hal ini dipertegas dengan kaidah ushul yang sangat masyhur yang berbunyi: "ma laa yatimmu waajibu illa bihi wa fahuwa waajib" artinya "yang artinya bahwa tidak sempurna suatu kewajiban tanpa sesuatu, maka sesuatu itu menjadi wajib". Penerapan hukum Islam secara menyeluruh tidak akan sempurna dilakukan tanpa adanya negara, maka keberadaan negara otomatis menjadi wajib. Artinya untuk bisa menerapkan seluruh aturan Islam (yang diperintahkan secara tegas di Al-Qur'an) bagaimanapun juga membutuhkan negara. Bagaimana mungkin bisa menerapkan hukum-hukum Islam yang menyeluruh tanpa ada negara? Dengan dalil Al-Qur'an ini (yaitu kewajiban menerapkan seluruh aturan-aturan Allah) merupakan dalil yang tegas dan jelas bagi kaum muslimin untuk menegakkan negara yang menerapkan hukum-hukum Islam.
Menilik uraian di atas, adalah pandangan naif apabila ada yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw hanyalah "seorang ketua RT?". Padahal Rasulullah hidup bersama 10 juta orang di Madinah sampai akhir hayatnya, dengan menguasai seluruh daerah jazirah Arab, yang luasnya empat kali lebih besar dari wilayah gabungan Perancis dan Jerman sekarang. Apakah ada "RT" yang memiliki daerah seluas itu?. Meminjam istilah Muhammad Husain Abdullah, bahwa masyarakat yang dibentuk Rasulullah saat itu adalah masyarakat Islam yang merupakan al-Mujtama' al-Islamiy al-Mutammayyiz (Masyarakat Islam yang unik). (M. H. Abdullah, Mafahim Islam, jilid I)

BAB IV TANGGAPAN TERHADAP PARA PENOLAK IDE

Tidak ada Dalil?

Hukum syara' adalah seruan Syari' (Allah dan Rasul-Nya) yang berkaitan dengan amal perbuatan hamba manusia. Hukum syara'  ditetapkan berdasarkan adanya seruan yang dapat diketahui bentuknya dengan mengetahui arti dari seruan itu. Seruan Syari' adalah hal-hal yang terdapat di dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah berupa perintah dan larangan. Oleh karena itu pemahaman terhadap hukum syara' sangat bergantung pada pemahaman Kitabullah dan As-Sunnah, sebab keduanya adalah asal tasyri dan sumber hukum. Seruan Syari' dapat dipahami melalui nash atau dengan adanya qarinah (indikasi) yang menentukan arti dari nash. Dengan demikian seseorang harus memahami ayat atau hadits dengan pemahaman yang didasarkan pada hukum syara' bukan sekedar pemahaman bahasa (lughawi) saja.

      Para penolak adanya konsep kenegaraan dalam Islam, karena mereka mendasarkan pada pemahaman bahasa saja. Padahal suatu kewajiban harus dilihat dari jenis seruan yang dituntut dari berbagai ayat dan hadits berikut qarinah yang berkaitan dengan hal itu. Tidak adanya sebuah istilah di dalam Al-Qur'an bukan lantas secara otomatis dikatakan bahwa perkara tersebut tidak diatur oleh Islam. Istilah-istilah yang masyhur dalam keilmuan (tsaqafah) Islam seperti aqidah (dalam pengertian keimanan), tasawwuf, mutakallimin, secara bahasa tidak akan ditemukan di Al-Qur'an. Apakah dengan demikian masalah tersebut tidak diatur oleh Islam? Hal yang sama juga berlaku bagi istilah daulah. Meskipun kata-kata ini secara lughawi tidak tercantum di Al-Qur'an namun bukan berarti Islam tidak mengatur masalah ini.

Tidak Ada Konsep yang Jelas (Baku)?

Pandangan seperti ini sering kali muncul akibat para penolak tidak memiliki pemahaman yang cukup tentang sistem kenegaraan dalam Islam. Salah satu alasan yang dijadikan argumentasi ketidakbakuan sistem kenegaraan dalam Islam yaitu perbedaan dalam pemilihan empat Khulafa'ur Rasyidin. Dalam hal ini perlu dijelaskan bahwa dalam sistem kenegaraan Islam ada perkara-perkara yang merupakan thariqah (metode baku) dan ada perkara-perkara yang merupakan uslub (teknis).  Hukum yang berkaitan dengan thariqah ada dua yaitu wajib dan haram. Sedangkan hukum yang berkaitan dengan uslub adalah mubah. Dalam masalah pengangkatan empat Khulafa'ur Rasyidin hal yang merupakan thariqah adalah adanya bai'at kepada Khalifah yang terpilih. Bai'at inilah yang merupakan thariqah yang telah ditetapkan oleh syar'i dalam masalah pengangkatan Khalifah (nasbu al Khalifah). Adapun bagaimana cara memilihnya adalah perkara yang uslub (teknis). Dalam hal ini bisa dipilih dari salah satu uslub yang digunakan para Khulafa'ur Rasyidin, bahkan bisa menggunakan alat-alat canggih seperti sekarang ini. Namun yang jelas harus terpenuhinya adalah adanya bai'at secara ikhtiar (pilihan) dan ridha (tanpa ada paksaan) kepada Khalifah yang diangkat.

 

Adalah jelas-jelas keliru menggugurkan ada kewajiban menegakkan Khilafah dengan alasan adanya perbedaan dalam beberapa hal (terutama masalah uslub yang memang boleh beda). Bisakah kita katakan shalat subuh tidak wajib karena adanya perbedaan tentang qunut? Atau bisakah kita menyatakan tidak ada sistem Republik karena dalam sistem itu ada perbedaan seperti federasi atau kesatuan, presidensial atau parlementer, sistem pemilunya proporsional atau distrik. Tidak bukan?

Bagaimana bentuk Daulah Khilafah tersebut sebenarnya adalah sangat jelas. Syekh Taqiyuddin an-Nabhani secara rinci menggambarkan hal tersebut dalam bukunya Nizhamul Hukmi fi al-Islam (Sistem Pemerintahan Islam). Dalam buku tersebut dijelaskan beberapa poin penting tentang sistem daulah al Khilafah:

 

Daulah Islam adalah seorang Khalifah yang menerapkan hukum-hukum syara'. Daulah Islam merupakan kekuatan politik praktis yang berfungsi untuk menerapkan dan memberlakukan hukum-hukum Islam, serta mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia sebagai sebuah
risalah dengan dakwah dan jihad.

Daulah Islam hanya berdiri di atas landasan aqidah Islam dan aqidah Islam inilah yang menjadi asasnya.  Sistem pemerintahan Islam adalah sebuah sistem yang lain sama sekali dengan sistem pemerintahan yang ada di dunia. Pemerintahan Islam berbeda dengan Monarki (kerajaan), Republik, Kekaisaran, Federasi dan bukan pula pemerintahan militer.

Sistem pemerintahan Islam dibangun atas empat pilar :

Pertama, kedaulatan di tangan syara' bukan di tangan rakyat.

Kedua, kekuasaan adalah milik umat.

Ketiga, mengangkat satu Khalifah hukumnya wajib bagi seluruh kaum muslimin.

Keempat, hanya Khalifah yang berhak melakukan tabbani (adopsi) terhadap hukum-hukum syara'.

Khilafah adalah kepemimpinan umum bagi seluruh kaum muslimin di dunia untuk menegakkan hukum-hukum Islam dan mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia.

Daulah Islam berdiri diatas delapan struktur (perangkat) yaitu:

Khalifah (kepala negara), Mu'awwin Tawfidh (pembantu khalifah di bidang pemerintahan), Mu'awwin Tanfidz (pembantu khalifah di bidang kesekretariatan), Amirul Jihad (koordinator perang), al-Wuulat (para wali/kepala pemerintahan tingkat provinsi), al-Qudhaat (para
hakim/pengadilan), Mashalihud Daulah (aparatur bidang administrasi), dan Majelis Ummat (lembagi wakil rakyat). Dalil struktur di atas adalah af'al Rasulullah saw.

Khilafah adalah akad yang dibangun atas dasar kerelaan (ridha) dan ikhtiar (pilihan). Metode untuk mengangkat Khalifah adalah dengan bai'at.

Khalifah harus memenuhi tujuh syarat in'iqad yaitu: muslim, laki-laki, baligh, berakal, adil, merdeka, mampu melaksanakan amanat Khilafah.

Jabatan Khalifah tidak mempunyai batasan masa kerja berdasarkan periode tertentu. Karena itu selama Khalifah tetap menjaga syara', menerapkan hukum-hukum Islam serta mampu untuk melaksanakan urusan-urusan negara dan tanggung jawab Khalifah, ia tetap sah menjadi
Khalifah.
Kaum muslimin di seluruh dunia wajib memiliki hanya satu negara Khilafah. Mereka juga harus memiliki hanya seorang Khalifah tidak lebih.

Tabbani (adopsi) Khalifah wajib terikat pada hukum-hukum syara'. Sekalipun umat yang mengangkat Khalifah dan membai'atnya, namun umat tetap tidak memiliki wewenang untuk memberhentikan Khalifah selama akad bai'at kepadanya dilaksanakan secara sempurna berdasarkan hukum syara'.

Mahkamah Madzalim adalah yang berhak menentukan keputusan (memvonis berhenti atau tidak) kalau memang keadaan Khalifah tidak mengalami perubahan yang bisa mengeluarkan dia dari jabatan Khalifah.

Meletakkan Posisi Sejarah

Dalam Islam, Sejarah bukanlah sumber hukum dalam pengambilan peraturan. Sebagai sumber hukum adalah Al-Qur'an, As-Sunnah, Ijma' Sahabat dan Qiyas. Hanya inilah yang menjadi sumber hukum dalam Islam. Dengan demikian kalaupun ada dalam sejarah Khalifah atau pejabat negara yang zhalim dan tidak adil bukan berarti menggugurkan kewajiban adanya Khilafah. Sejarah bukanlah sebagai sumber hukum.

 

Harus dipahami pula, bahwa Kekhilafahan adalah sistem yang dijalankan oleh manusia, karena itu sangat mungkin terjadi penyimpangan dari konsep-konsep yang sudah digariskan oleh Allah SWT. Sejarah kekhilafahan bukanlah fragmen kehidupan yang selalu lurus. Bisa saja terjadi adanya hukum yang tidak diterapkan seperti penguasa yang zhalim atau pecahnya pemberontakan. Namun tidaklah tepat kalau kemudian digeneralisasi bahwa sepanjang sejarah kekhilafahan penuh dengan pertumpahan darah. Apalagi kalau disimpulkan bahwa sistem itu
tidak layak digunakan.

Dalam hal ini manusia bisa mengambil pelajaran dari sejarah bahwa kerusakan yang terjadi justru karena hukum-hukum Allah tidak dijalankan, Jadi penyebabnya bukan karena sistem Khilafah itu sendiri. Apalagi banyak sejarah yang sulit dipertanggungjawabkan kebenarannya. Bagaimana mungkin sesuatu yang meragukan bisa menggugurkan sesuatu yang pasti, yaitu kewajiban berhukum pada hukum-hukum Allah SWT.

Masalah Substansialis

"Yang penting substansinya bukan simbolnya", pernyataan ini sering dijadikan alasan untuk menolak sistem pemerintahan Islam. Bisakah alasan ini diterima? Kalau kita merujuk pada Al-Qur'an dan As-Sunnah, tidak ada satu dalil pun yang membenarkan pernyataan tersebut.
Padahal dalam Islam setiap pernyataan haruslah dibuktikan dengan dalil di dalam Al-Qur'an maupun As-Sunnah. Sehingga pertanyaan mendasar yang harus kita ajukan adalah di Al-Qur'an, mana dalil yang mengatakan yang penting substansinya bukan simbolnya?

      Dalam metode berfikir Islam, substansi atau simbol tidaklah pernah diperdebatkan. Karena dua kata itu bukanlah menjadi sumber hukum atau dijadikan landasan berfikir. Dalam memahami Islam, Al-Qur'an ini merupakan perkataan yang ditulis dalam bahasa Arab, yang diturunkan dalam lidah/bahasa orang Arab. Firman Allah SWT :

 

"Al-Qur'an (itulah yang diturunkan) dalam bahasa Arab," (QS Yusuf: 2)

"… dengan lidah/bahasa Arab yang jelas" (QS Asy-Syuaraa': 195)

Dengan demikian Al-Qur'an bisa dipahami sebagaimana memahami perkataan orang-orang Arab. Makna-makna Al-Qur'an yang dikehendaki Allah SWT adalah apa-apa yang diungkap oleh Al-Qur'an. Tidak ada makna substansi atau simbol. Karena itu disebutkan bahwa Al-Qur'an
itu adalah petunjuk buat manusia (hudallinnaas), tidak ada keraguan di dalamnya (QS Al-Baqarah: 2), menjelaskan segala sesuatu (QS An-Nahl: 89).

      Karena itu dalam Al-Qur'an tidak dikenal istilah relatif atau tidak, istilah dzahir atau batin, substansinya atau formal. Yang ada adalah istilah ayat-ayat muhkamat dan ayat-ayat mutsyabihat, berdasarkan firman Allah SWT:

"Diantara (isi)nya ada ayat-ayat yang muhkamat, itulah pokok-pokok isi Al-Qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mustasyabihat" (QS Ali Imran: 7)

Lafadz mukham adalah apa yang sudah jelas maknanya dan tersingkap secara tegas tanpa ada kemungkinan lain dan tidak bisa ditakwilkan.

Misalnya firman Allah SWT :

"Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri potonglah kedua tangannya" (QS Al-Maidah: 38)

Sedangkan lafadz mutasyabih adalah kebalikan dari lafadz muhkam, yaitu lafadz yang mengandung lebih dari satu makna, yang memungkinkan perbedaan dalam mengambil maknanya, seperti firman Alah SWT :

"Wanita-wanita yang ditalaq hendaknya menahan diri (menunggu `iddah) tiga kali quru" (QS Al-Baqarah: 228)

Lafadz quru' ini bisa bermakna sesudah haid atau setelah suci dari haid.

"…atau kamu telah menyentuh perempuan" (TQS An-Nisaa : 43)

Lafadz lamastum bisa berarti dengan tangan atau jima' (bersetubuh).

 

Kesimpulannya, Al-Qur'an adalah petunjuk bagi manusia dari Allah SWT.

Karena itu Al-Qur'an bisa dipahami oleh manusia. (pendalaman lebih lanjut lihat "Piagam Ummat Islam" terbitan Pustaka Thariqul Izzah, halaman 78).

Tentang Sekulerisme

Berbagai krisis yang terjadi di Indonesia selama ini memperkuat tudingan bahwa agama merupakan salah satu faktor pemicu konflik sosial. Bahkan AN Wilson seperti yang dikutip oleh Nurcholis Madjid mengatakan: "Agama adalah tragedi manusia. Ia mengajak pada yang paling luhur, namun hampir tidak ada sebuah agama yang bertanggungjawab atas berbagai peperangan, tirani dan penindasan kebenaran". (Muhammad Qodari: Agama dan Konflik Sosial, Kompas 15 Maret 1999).

Posisi agama sebagai faktor penyebab konflik ini memperkuat pandangan bahwa agama haruslah dipisahkan dari aspek kemasyarakatan (politik, ekonomi, sosial). Alasannya, kalau agama dipakai dalam masalah kemasyarakatan akan menyebabkan kekacauan, karena biasanya masing-masing agama mengklaim dirinya yang paling benar. Jadi aturan agama yang mana yang harus dipakai? Premis yang kemudian ditawarkan adalah sekulerisme dalam pengertian agama hanyalah mengurusi masalah individu manusia, agama tidak perlu berperan untuk mengatur masalah ekonomi, politik, atau pemerintahan. Kalaupun mau berperan dalam masalah tersebut fungsi agama hanya sebagai faktor moral (akhlak) seperti sikap jujur, adil, amanah dalam menjalankan masalah-masalah kemasyarakatan.

Untuk lebih memantapkan pemisahan ini agama seharusnya tidak menjadi landasan bagi negara. Ikatan antar unsur masyarakat pun jangan dilihat dari aspek agama tapi nasionalisme. Dalam ikatan nasionalisme, masyarakat harus mengedepankan unsur nation (kebangsaannya) daripada unsur-unsur masyarakat yang lain seperti kesukuan (etnis) keluarga, terutama agama.
Dan biasanya pihak Islam, paling banyak disorot dalam konflik agama ini. Terutama melihat bahwa ajaran Islam tidak hanya mengajarkan masalah moral, tetapi lebih jauh mengatur secara tegas hubungan antar manusia (ekonomi, politik, dan pemerintahan). Dan pihak Islamlah yang
paling menginginkan adanya negara yang diatur oleh syari'at Islam.

 

Tuntutan untuk mendirikan negara Khilafah Islam ini kemudian menimbulkan ketakutan yang luar biasa, tidak hanya di kalangan non-Islam, tetapi juga di kalangan Islam yang menolak habis-habisan negara yang didasarkan pada syar'iat Islam ini.

Klaim Keliru Sekulerisme

Dalam menentukan aturan, pikiran dan perasaan apa yang digunakan oleh masyarakat penggagas sekulerisme kemudian menawarkan konsep Pluralisme. Dalam pandangan ini masyarakat terdiri atas berbagai unsur (baik individu, etnik, agama, ras) aturan bersama tersebut
tidak boleh bersumber dari unsur-unsur yang ada di dalam masyarakat tersebut. Inilah yang kemudian disebut Primordialisme. Dengan demikian masyarakat tidak boleh diatur dengan aturan, pemikiran, atau perasaan dari salah satu unsur masyarakat tersebut. Sebagai contoh
tidak boleh digunakan pandangan suku tertentu atau agama tertentu untuk mengatur masyarakat tersebut. Karena itu menurut penggagas pluralisme ini aturan tersebut harus merupakan kesepakatan bersama dan mewakili secara bersama-sama unsur-unsur masyarakat tersebut.
Jelas bahwa pandangan ini tidak bisa dilepaskan dari ide sekulerisme yang ingin memisahkan agama dan aturan kehidupan masyarakat. Berdasarkan pandangan ini tentunya aturan satu agama tidak boleh digunakan untuk mengatur masyarakat yang majemuk. Karena tidak
mewakili seluruh masyarakat.

Namun benarkah aturan, pemikiran, dan perasaan yang diklaim mewakili seluruh aspek masyarakat tersebut benar-benar mewakili masyarakat? Jawabannya adalah tidak! Karena adalah sulit membuat aturan bersama yang bisa mewakili masyarakat tersebut, karena masing-masing unsur masyarakat  tersebut telah berbeda. Seperti contoh di Indonesia selama ini diterapkan pemikiran nasionalisme dengan seperangkat aturan-aturan sekulernya (yang tidak bertolak dari Islam), apakah itu mewakili seluruh masyarakat? Tentunya tidak. Kelompok Islam misalnya jelas-jelas tidak menginginkan aturan-aturan yang bukan bersumber dari Islam.
Dan yang terjadi sebenarnya adalah ide-ide nasionalis dan sekuler yang selama ini diterapkan jelas bersumber dari salah satu kelompok masyarakat juga, yakni orang-orang nasionalis-sekuler. Jadi klaim pluralisme yang membuat aturan yang dianggap mewakili seluruh
masyarakat adalah sebuah kebohongan. Karena tetap saja nilai dan aturan tersebut bersumber dari salah satu kelompok masyarakat (nasionalis-sekuler) dan tidak mewakili aspirasi Islam secara keseluruhan.

Rekayasa Barat

      Paham sekulerisme dilihat dari asal pertumbuhan muncul di Barat. Saat itu di Eropa sedang mengalami masa kegelapan (The Dark Age). Melihat situasi ini, beberapa pemikir kemudian menggugat keberadaan agama yang mereka tuduh menjadi pangkal penyebab
kemunduran ini. Lebih jauh mereka melihat bahwa agama (Kristen) telah digunakan untuk melegalisasi penindasan negara (kerajaan) terhadap rakyat. Terjadi pertarungan pemikiran antara dua kubu ini. Akhirnya, diambil jalan tengah yang moderat. Agama diposisikan kembali.
Meskipun agama diakui, hanya peran agama kemudian dipersempit pada persoalan-persoalan individu (ritual) dan moral. Agama tidak boleh ikut campur dalam hal ikhwal politik, ekonomi, pendidikan, dan persoalan-persoalan publik lainnya. Kalaupun ingin berperan agama
hanya sebatas memberikan nilai-nilai (value) yang universal seperti keadilan, persamaan, kerja keras. Atau sebatas moral (ethics) seperti kejujuran, keterbukaan dsb. Namun agama tidak boleh diformulasikan dalam bentuk aturan (laws).

Dalam kerangka itulah kemudian sekulerisme kemudian berusaha dipaksakan penerapannya di negeri-negeri Islam. Berawal dari masa kolonialisme, negara-negara Barat ingin menjadikan sekulerisme menjadi acuan di seluruh dunia terutama di negeri-negeri Islam. Walaupun era kolonialisme berakhir, Barat kemudian berusaha tetap menanamkan pengaruhnya dengan mendukung penguasa-penguasa yang pro-Barat dan mau menerapkan sekulerisme dalam pemerintahan mereka. Masih dalam kerangka penjajahan, mereka kemudian menawarkan berbagai bantuan luar negeri untuk mengatasi masalah ekonomi (hutang), politik dan pendidikan. Pada gilirannya nanti akan menyebabkan negara-negara yang baru merdeka tersebut tetap bergantung kepada Barat, yang sebenarnya merupakan penjajahan model baru dari Barat.
Kenapa Barat demikian semangat melakukan sekulerisasi dunia Islam? Hal ini setelah mereka mempelajari bahwa sumber kekuatan Islam ada pada pandangan ideologisnya (aqidah) yang tidak hanya sebagai dasar hubungan manusia dengan Tuhannya (ruhiyah) tetapi juga menjadi
landasan hubungan manusia dengan sesama manusia (siyasiyah/politik).

 

Untuk melemahkan kekuatan Islam ini, mereka kemudian menanamkan ide-ide kapitalisme di dunia Islam. Disamping lewat aturan-aturan yang diterapkan ditengah-tengah masyarakat, juga lewat para intelektual-intelektual yang dididik dengan pemikiran sekuler di Barat.
Hasilnya sekarang cukup signifikan, dengan dipisahkannya Islam dari politik dan persoalan publik lainnya, mereka bisa mengokohkan penjajahan mereka atas dunia Islam. Saat sekarang ini hampir seluruh negeri-negeri Islam para penguasanya tunduk ke Barat dan tidak bisa melepaskan diri dari ketergantungan kepada Barat.

Bagi Barat disatukannya Islam dan urusan masyarakat (terutama politik) adalah ancaman utama bagi mereka. Mereka khawatir kebangkitan Islam politik akan mengembalikan persatuan dunia Islam di bawah naungan Khilafah Islam. Merka punya pengalaman yang demikian pahit ketika Khilafah Islam masih ada, terutama saat-saat Perang Salib. Mereka juga mengalami pengalaman pahit yang demikian mendalam bagaimana sulitnya menjajah negeri-negeri Islam, meskipun sudah berantakan, karena di dalam masyarakatnya masih ada semangat jihad melawan kekufuran dan penindasan.

Ketakutan terhadap bangkitnya Islam kaffah (yang mengatur segenap aspek kehidupan) ini tampak dari pernyataan tokoh-tokoh Barat. Perdana Menteri Inggris Goldstone pernah mengacungkan Al-Qur'an dalam sidang parlemen Inggris dan menyatakan: "Selama kitab ini masih ditangan kaum muslimin kita tidak akan bisa mengalahkan mereka dan kita tidak akan pernaha aman dari mereka". Huntington pernah membuat geger ketika dalam bukunya "The Clash of Civilization" menyatakan musuh peradaban Kapitalisme masa depan adalah Islam. Francis Fukuyama dalam bukunya "The End of History" juga mengisyaratkan hal yang senada dia menyebutkan :"Kapitalisme adalah ideologi yang terakhir bagi peradaban manusia dan sesungguhnya Islam meskipun lemah dan terpecah adalah sebagai ancaman agama baru ini (Kapitalisme)". (lihat Mafahim Khatirah li Dhorbi al Islam halaman 25).

      Dominasi peradaban Kapitalisme ini semakin kokoh setelah para intelektual yang dididik di Barat bahkan beberapa ulama juga menyuarakan hal yang sama. Muncullah slogan-slogan “Islam Yes Partai Islam No", "yang penting substansinya bukan kulitnya", "yang penting akhlaknya bukan asas Islamnya". Muncul pula istilah-istilah yang semakin membuat opini yang menyudutkan politik Islam, seperti Islam kultural vs Islam struktural, Islam kanan vs Islam kiri, Islam fundamentalis vs Islam moderat. Semua slogan-slogan ini pada intinya ingin menjauhkan umat Islam dari ajaran-ajaran Islam dibidang politik, ekonomi dan aspek kemasyarakatan lainnya.

      Sebagian besar tokoh politik dan intelektual kemudian ikut-ikutan menuduh kalau Islam dikaitkan dengan politik adalah sebuah kemunduran, primordialisme, sekterian, politisasi agama dan tuduhan-tuduhan negatif lainnya. Berhasilnya sekulerisme di dunia Islam ini, salah satunya tampak dari lemahnya dukungan masyarakat (umat Islam) kepada partai politik Islam di belahan dunia Islam.

Pandangan Islam Tentang Sekulerisme

Sesungguhnya Islam adalah sistem hidup yang menyeluruh yang mengatur segenap aspek kehidupan termasuk masalah politik, ekonomi, peradilan dan aspek kemasyarakatan lainnya. Al-Qur'an telah menegaskan:"Kami turunkan Al-Qur'an kepada kalian untuk menjelaskan segala
sesuatu," (QS An-Nahl : 89)

Dalam pandangan Islam penolakan terhadap salah satu aspek hukum Islam termasuk dalam masalah politik adalah tindakan yang di dalam Al-Qur'an akan menjatuhkan seorang muslim kepada kekafiran (QS Al-Maidah:44), kedzaliman (QS Al-Maidah:45), dan kefasikan (QS Al-
Maidah:47). Penolakan tersebut juga akan menjerumuskan kaum muslimin kepada kehinaan dan Allah SWT akan mengazabnya kelak dengan azab yang sangat keras. Firman Allah SWT :
"Apakah kamu beriman kepada sebagian isi al kitab (Al-Qur'an) dan menolak sebagian isi al kitab (Al-Qur'an) yang lain, tidaklah balasan bagi orang yang melakukan demikian melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat" (QS Al-Baqarah: 85)

Islam memandang bahwa berbagai persoalan kaum muslimin saat ini seperti kemiskinan, kebodohan, penindasan, dan penderitaan lainnya disebabkan karena kaum muslimin jauh dari Islam. Kaum muslimin telah menjadikan aturan-aturan selain Islam menjadi pedoman mereka dalam kehidupan termasuk dalam masalah politik (lihat QS Al-Baqarah: 85).

Sesungguhnya kesejahteraan, kemuliaan, dan kejayaan kaum muslimin serta manusia diseluruh dunia akan muncul kalau kaum muslimin kembali ke jalan Islam, rela untuk diatur oleh hukum-hukum Islam dalam segenap aspek kehidupannya, termasuk dalam masalah politik seperti
partai politik, kepemimpinan, bentuk negara dan aspek lainnya. Tunduk kepada seluruh hukum Islam inilah yang disebut sebagai bertakwa dan beramal shaleh. Firman Allah SWT :

 

"Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya" (QS AL-A'raaf : 96)

Dengan demikian mengkaitkan agama dengan masalah politik adalah sebuah kewajiban dan bagian yang tidak terpisahkan dari aqidah Islam. Kalaupun ada pihak yang memanfaatkan untuk kepentingan politiknya dengan menggunakan simbol-simbol Islam bukan berarti Islam kemudian
harus dipisahkan dari politik. Karena Islam dan politik tidak bisa dipisahkan. Mereka yang melakukan penyimpangan itu harus diluruskan. Sebagai contoh kalau ada wanita yang berjilbab melakukan kemaksiatan, bukan berarti orang berjilbab kemudian dilarang. Namun kepada orang
yang berjilbab diluruskan perbuatan maksiatnya. Demikianlah berbagai alasan kenapa Islam menentang keras sekulerisme.

 

BAB V


CATATAN AKHIR : KENAPA HANYA AGAMA?

Selama ini agama sering dituduh sebagai sumber konflik bagi manusia. Banyak pihak yang kemudian melupakan pemikiran sekulerisme dan komunisme yang anti agama yang juga dalam sejarahnya pemikiran tersebut menyebabkan konflik di dunia ini. Sekulerisme sejak awal permunculannya dalam Revolusi Perancis telah banyak menimbulkan korban ribuan jiwa baik dari kalangan rakyat maupun penguasa (raja dan pendeta).

Dalam sejarah penyebarannya oleh negara-negara Barat selalu penuh dengan darah. Seperti penyebaran ide demokrasi yang merupakan pemikiran penting dalam sekulerisme. Atas dasar sekulerisme dan demokrasi, dan kepentingan ekonomi negara-negara Barat menjajah Dunia
Ketiga pada masa kolonialisme. Atas dasar demokrasi dan HAM juga Barat melakukan penyerangan kepada negara-negara yang tidak sejalan dengan kepentingan mereka seperti Sudan, Afghanistan, Irak, Panama dan Vietnam.

Sama halnya dengan nasionalisme. Ide ini juga membawa pertentangan pada seluruh kawasan dunia. Banyak negara yang saling berperang atas dasar nasionalisme. Negara Afrika saling berperang saling berperang karena alasan nasionalisme. Perang Dunia I dan II pecah karena alasan nasionalisme. Inggris saling bertempur dengan Argentina karena masalah kepulauan Malvinas yang mengklaim dari kepentingan nasionalisme masing-masing.  Apalagi bagi kaum muslimin. Nasionalisme menjadi racun yang sangat menyakitkan. Persatuan dunia Islam yang tadinya merupakan kekuatan tangguh yang menyatukan negeri-negeri Islam, kemudian tercabik-cabik karena penyebaran ide nasionalisme ini. Wilayah kesatuan kekhilafahan Islam kemudian terpecah dan menjadi negara-negara kecil yang tidak memiliki kekuatan dan sangat lemah. Barat kemudian melakukan pembagian terhadap negeri-negeri Islam dengan hanya menggunakan
penggaris dan pensil.  Lebih ironis lagi, gara-gara nasionalisme ini antara negeri Islam
saling bertikai. India pecah menjadi Pakistan, India (yang dikuasai oleh mayoritas Hindu), dan Bangladesh. Irak menyerbu Kuwait. Mesir bertikai dengan Sudan. Iran perang berkepanjangan melawan Irak, dan banyak lagi. Alasan berperang biasanya pastilah seputar masalah perbatasan dan kepentingan nasional. Padahal dulunya negeri-negeri Islam tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Antar penduduk kawasan negeri-negeri Islam saling bebas berkunjung dan atau tidak pernah dipersoalkan darimana asal wilayahnya. Karena memang
merupakan satu kawasan Khilafah Islam. Mereka juga saling berbagi kemakmuran, karena Khalifah melihat negeri-negeri Islam sabagai satu kawasan yang seluruhnya harus terpenuhi kepentingan kesejahteraannya.  Begitu pula dengan munculnya konflik wacana seputar sistem kenegaraan Islam (Negara Islam), lagi-lagi bersumber dari (pemahaman) agama.
Tentunya, apabila kaum Muslim tidak secara cerdas menyikapi permasalahan ini, dan tentunya permasalahan-permasalahan keIslaman lainnya, tentulah ekses buruk akan menimpa kaum Muslim lagi, alih-alih mengalami kebangkitan, keterpurukanlah yang terjadi.  Walhasil, memahami Islam dengan metode yang benar, yang disandarkan dengan standar hukum syara', tentulah kaum muslim akan terhindar dari berbagai pemahaman yang keliru, menyimpang, dan tidak sesuai dengan apa yang sebenarnya ditunjuk syara'. Apalagi ghazwul fikri semakin dahsyat dikampanyekan oleh Barat. Tidak ada jalan lain selain memahami ajaran Islam yang bersumber dari Al-Qur'an, Al-Hadist, Ijma Shahabat dan Qiyas, akan menghantarkan kaum muslim kepada pemahaman yang benar. 

Dengan berbagai argumen yang telah diutarakan, satu dari sekian banyak diskursus mengenai wacana negara Islam, tuntas dibahas, yakni dengan sebuah pemahaman bahwa negara Islam memiliki legitimasi syar'i untuk kemudian diwujudkan. [ ]

Wallahu'alam bi shawab

Tinggalkan komentar