DARI KEGELAPAN MENUJU CAHAYA

 Judul Asli                     :From Darkness Into Light

Pengarang                   : Salim Fredericks dan Ahmer Feroze

Buku ini dipersembahkan kepada seluruh pengemban dakwah. Yaitu orang-orang yang ingin menegakkan agama Allah sesuai dengan sunnah Rasulullah saw. Jumlah mereka, dari masa lalu hingga sekarang, sangatlah banyak.

 Insya Allah upaya dan pengorbanan mereka tidak akan pernah dianggap sia-sia oleh Allah Swt Yang Maha Mengetahui dan Maha Melihat.  Semoga Allah Swt menganugerahkan pahala dan memperteguh kedudukan anda. Memang hidup di dunia ini sangatlah pendek.

 Kami berdoa semoga apa pun yang telah anda berikan kepada Allah Swt akan mendapatkan balasan yang setimpal, insya Allah. Dan Allah adalah pemilik kekuatan, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.

 SEKAPUR SIRIH

 Kita sekarang hidup pada zaman yang penuh dengan kegelapan. Sumber daya alam yang tersedia di bumi ini semuanya berada dalam genggaman pihak-pihak yang tidak berhak, yaitu mereka yang paling sedikit memiliki dan paling sedikit memproduksi. Sistem perpolitikan yang ada di dunia tampaknya tidak akan mampu menghancurkan status quo hegemoni Barat. Siklus yang selalu berulang –yaitu perang kemudian damai, dan damai kemudian perang– selama abad kedua puluh ini membuktikan bahwa lembaga-lembaga internasional yang ada di dunia ini hanya berjalan untuk mempertahankan dominasi kekuatan Barat. Mereka menggunakan perangkap-perangkap ekonomi untuk menelikung kekuatan dunia Islam. Namun, ketika Barat tengah berusaha mengeksploitasi habis-habisan sumberdaya alam dunia, perlahan tetapi pasti mereka terperosok dalam lubang kehancuran akibat tingginya kriminalitas, pelanggaran hukum, kekerasan, dan kerusakan-kerusakan lainnya. Dalam keadaan yang sangat genting ini, umat manusia membutuhkan petunjuk untuk keluar dari kegelapan menuju cahaya, sebagaimana dinyatakan Allah Swt dalam al-Qur’an: min azh-zhulumâti ila an-nûr.

]يَاأَيُّهَا النَّبِيُّ إِنَّا أَرْسَلْنَاكَ شَاهِدًا وَمُبَشِّرًا وَنَذِيرًا%وَدَاعِيًا إِلَى اللهِ بِإِذْنِهِ وَسِرَاجًا مُنِيرًا[

Wahai Nabi, sesungguhnya Kami mengutusmu untuk jadi saksi, dan pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan, dan untuk jadi penyeru kepada Agama Allah dengan izin-Nya dan untuk jadi cahaya yang menerangi. (TQS. al-Ahzab [33]: 45-46)

 Allah Swt telah mengibaratkan Rasulullah saw sebagai sebuah cahaya yang menerangi (as-sirâjan munîr). Rasulullah saw datang ke tengah-tengah masyarakat yang memiliki kebiasaan mengubur hidup-hidup bayi perempuan, berlaku curang di pasar, menyimpangkan agama Nabi Ibrahim as, melakukan thawaf dengan telanjang bulat, dan membiarkan segala perbuatan jahat dan menjijikkan berlangsung di sekitar Ka’bah. Segala kemaksiatan ini terjadi di daerah yang disucikan dan dijamin keamanannya oleh Allah Swt.

]وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّ اجْعَلْ هَذَا الْبَلَدَ ءَامِنًا وَاجْنُبْنِي وَبَنِيَّ أَنْ نَعْبُدَ اْلأَصْنَامَ[

Dan, ketika Ibrahim berkata: ‘Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini, negeri yang aman, dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku daripada menyembah berhala-berhala’. (TQS. Ibrahim [14]: 35)

 Masyarakat pada waktu itu berada dalam keadaan gelap gulita. Lalu Allah Swt melalui Rasul-Nya mengubah masyarakat yang hidup dalam kegelapan itu menjadi pengemban cahaya Islam kepada umat manusia.

Allah Swt menjelaskan lebih jauh lagi perumpamaan mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju cahaya yang terang benderang dalam ayat-Nya:

]رَسُولاً يَتْلُو عَلَيْكُمْ ءَايَاتِ اللهِ مُبَيِّنَاتٍ لِيُخْرِجَ الَّذِينَ ءَامَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ[

Seorang Rasul yang membacakan kepadamu ayat-ayat Allah yang menerangkan supaya Dia mengeluarkan orang-orang yang beriman dan beramal saleh dari kegelapan kepada cahaya. (TQS. ath-Thalaq [65]: 11)

]هُوَ الَّذِي يُنَزِّلُ عَلَى عَبْدِهِ ءَايَاتٍ بَيِّنَاتٍ لِيُخْرِجَكُمْ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ[

Dialah yang menurunkan kepada hamba-Nya ayat-ayat yang terang supaya Dia mengeluarkan kamu dari kegelapan kepada cahaya. (TQS. al-Hadid [57]: 9)

]الر كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ لِتُخْرِجَ النَّاسَ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ بِإِذْنِ رَبِّهِمْ[

Alif, lâm râ. Kitab yang Kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang dengan izin Tuhan mereka. (TQS. Ibrahim [14]: 1)

Perumpamaan tentang gelap gulita dan cahaya yang terang benderang ini memiliki arti penting bagi umat manusia pada hari dan zaman ini. Kita hidup pada suatu zaman ketika kegelapan telah mengungkung seluruh dunia. Cahaya yang dahulu pernah memancar dari risalah yang diwahyukan kepada Rasulullah saw adalah satu-satunya perkara yang dapat mengubah keadaan gelap gulita ini. Perbedaannya adalah bahwa saat ini yang mendapat tugas untuk mengemban cahaya Islam adalah umat Islam, bukan Rasulullah saw dan para sahabat. Allah Swt telah mewafatkan Rasulullah saw sebagai sosok pribadi, tetapi cahaya yang beliau bawa tetap ada di tengah-tengah kita hingga saat ini, yaitu berupa al-Qur’an dan as-Sunnah. Kita masih memiliki cahaya ayat-ayat Islam. Adalah kewajiban kaum Muslim untuk memancarkan kembali cahaya Islam dengan cara mengimplementasikan ayat-ayat tersebut di dunia.

Umat Manusia Membutuhkan Nabi

Umat manusia sekarang sangat membutuhkan kehadiran cahaya risalah yang pernah disampaikan kepada Rasulullah saw. Kebutuhan manusia akan adanya petunjuk muncul karena dua alasan. Pertama, karena pemujaan atau penyembahan merupakan fitrah manusia, sebuah naluri yang pasti ada dalam diri setiap manusia. Oleh karena itu, menyembah dan mensucikan Sang Khaliq merupakan sesuatu yang fitri (alamiah). Bila penyembahan atau pensucian ini tidak ditentukan langsung oleh Sang Khaliq, maka yang terjadi adalah berbagai penyimpangan. Bisa jadi manusia menyembah kepada selain Allah Swt, atau menyembah Allah Swt dengan cara yang tidak semestinya. Karena manusia tidak memahami hakikat Allah Swt, apa yang disukai-Nya dan apa yang tidak disukai-Nya, dan tidak mampu mengindera Allah Swt, maka Allah Swt menentukan secara rinci bagaimana cara manusia menyembah dan mensucikan-Nya. Kedua, manusia memiliki kebutuhan fisik, seperti membutuhkan makan, minum, tidur, dan sebagainya. Manusia juga mempunyai naluri untuk mempertahankan dirinya, yang terwujud dalam bentuk rasa cinta terhadap kedudukan, rasa takut, rasa egois, dan seterusnya. Rasulullah saw bersabda:

Andaikata anak Adam diberi sebuah lembah penuh emas, dia senantiasa akan menghendakinya lagi.

 Aturan dalam menjalani kehidupan telah diwahyukan Allah Swt kepada Rasulullah saw. Sebagai Pencipta manusia, Ia mengetahui secara pasti kebutuhan manusia, jumlah setiap kebutuhan, cara yang tepat untuk memuaskan kebutuhan, serta bagaimana cara memuaskan kebutuhan seluruh manusia secara adil. Oleh sebab itulah, kita sekarang sangat membutuhkan kehadiran (kembali) cahaya Islam sebagaimana yang diturunkan kepada Rasulullah saw.

Rangkaian sejarah dunia penuh dengan kisah penindasan manusia kepada manusia lain. Keserakahan, egoisme, pembantaian, monopoli, dan berbagai kejahatan merupakan manifestasi pemenuhan naluri manusia untuk mempertahankan diri. Bila manusia diberi potensi untuk membunuh manusia lain dalam rangka memuaskan kebutuhannya, maka pasti manusia memerlukan kendali atas perbuatannya. Oleh karenanya, andaikata tidak ada suatu kriteria bagi perbuatan manusia dalam memenuhi kebutuhannya, maka yang terjadi adalah konflik yang terus menerus antara sesama manusia. Kebebasan bagi satu individu bisa berarti perbudakan bagi individu yang lain.

Sejarah juga menunjukkan kepada kita betapa banyak contoh bagaimana manusia menyembah sesama makhluk, bukan menyembah Sang Khaliq sebagaimana mestinya. Naluri mensucikan timbul dari fakta bahwa kita semua tergantung kepada berbagai hal. Kita sangat mudah merasa lemah di hadapan berbagai fenomena. Orang-orang terdahulu pernah menyembah atau memaksa orang lain untuk menyembah sesama manusia. Al-Qur’an menyampaikan kepada kita kisah Fir’aun dan Namrud. Masyarakat yang tinggal di tepi laut akan menyadari bahwa seluruh kehidupan mereka tergantung kepada laut, maka boleh jadi mereka akan menyembah laut. Hal yang serupa seringkali terjadi pula pada masyarakat yang tinggal di tepi Sungai Nil atau di lereng-lereng pegunungan. Contoh-contoh yang lain dapat ditemui pada berbagai masyarakat yang menyadari arti pentingnya matahari, api, bulan, bintang-bintang, dan sebagainya, dan seterusnya. Cara-cara penyembahan manusia kepada makhluk-makhluk itu pun berbeda-beda. Oleh sebab itu, risalah yang turun kepada Rasulullah saw mengajarkan kepada kita supaya tidak takut kepada sesama makhluk, tetapi takut kepada Sang Pencipta. Rasa takut harus dihubungkan kepada Allah Swt semata, sebagaimana firman Allah Swt:

]فَلاَ تَخْشَوُا النَّاسَ وَاخْشَوْنِ وَلاَ تَشْتَرُوا بِآيَاتِي ثَمَنًا قَلِيلاً[

Karena itu janganlah kamu takut kepada manusia, takutlah kepada-Ku. Dan janganlah kamu menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit. (TQS. al-Maidah [5]: 44)

Arti Penting Sirah Nabi

Umat manusia sangat membutuhkan pandangan hidup yang dibawa Rasulullah saw. Mungkin mereka tidak menyadarinya, namun tugas kita sebagai Muslim untuk memahami risalah Rasulullah saw dan kemudian mengembannya. Segala sisi kehidupan Rasulullah saw direkam dalam sirah Rasulullah, atau sering disingkat dengan sirah. Sirah bukan semata-mata kisah hidup seorang figur yang terkenal dan bersejarah, yang hidup empat belas abad silam. Namun, itulah kisah kehidupan seorang Nabi yang diutus Allah Swt sebagai rahmat bagi seluruh alam, sekaligus sebagai pemberi peringatan dan petunjuk pamungkas sebelum Hari Pembalasan. Sirah berisi serangkaian peristiwa yang terjadi selama kurun waktu 23 tahun, yang memiliki keterkaitan dengan kehidupan umat manusia sepanjang masa. Apa pun yang dimuat di dalam sirah merupakan bagian dari tsaqafah Islam. Namun demikian, sirah merupakan salah satu tsaqafah Islam yang bisa dipelajari lebih jauh dalam cabang-cabang ilmu Islam lainnya. Contoh lainnya adalah ‘ulùm al-Qur’an yang mempunyai cabang-cabang ilmu seperti tajwid, tafsir, dan balaghah. Semua cabang ilmu tersebut secara tidak langsung dipengaruhi oleh masa kehidupan Rasulullah saw.

Secara ringkas, gambaran sirah yang akan diulas dalam buku ini adalah sebagai berikut: Bahwa pada usia 40 tahun, masa ke-Nabian Rasulullah Muhammad saw dimulai, bertepatan dengan tahun 610 M. Pada saat itu beliau tinggal di kota Makkah, sebuah wilayah yang berada di tengah-tengah Jazirah Arab. Kemudian Rasulullah saw melakukan kontak dengan keluarga terdekat dan sahabat-sahabatnya untuk menyampaikan misi dan seruan beliau. Sebagian besar masyarakat Makkah menyambut seruan ini dengan rasa permusuhan. Namun demikian, di tengah-tengah rasa permusuhan itu muncul sekelompok Muslim. Kelompok yang tumbuh ini mempelajari dasar-dasar akidah Islam selama 13 tahun, dan berupaya memperkenalkan seruan ini kepada masyarakat Quraisy Makkah. Setelah itu, Allah Swt mengaruniakan kemenangan kepada kaum Muslim, dan mereka pun hijrah ke Madinah al-Munawwarah. Negara Madinah ini menjadi sebuah model negara, dimana Islam tidak sekedar diimplementasikan, tetapi seluruh warga negara Madinah menjadi ‘tolok ukur utama’ sebuah kehidupan masyarakat. Gaya hidup masyarakat tersebut menjadi standar bagi generasi-generasi sesudahnya untuk diikuti. Setelah wafatnya Rasulullah saw, masyarakat Madinah itu menjadi pilar-pilar pengemban Islam dalam bentuk aslinya –yaitu suatu pandangan hidup atau ideologi– ke seluruh jazirah Arab. Mereka menerobos dan mengikat erat pusat-pusat peradaban dari kaum Nasrani, Yunani, Babilonia, dan Persia.

Rangkaian peristiwa di dalam sirah bukan sekadar ringkasan biografi seorang figur penentang penyembahan berhala. Rasulullah saw adalah Nabi terakhir yang diturunkan sebagai petunjuk bagi umat manusia. Beliau dihadirkan ke dunia tidak hanya untuk meluruskan sekelompok umat seperti Bani Israil (sebagaimana tugas Nabi-nabi sebelumnya, misalnya Musa as); juga bukan hanya untuk mengoreksi bangsa Arab jahiliyah; bukan juga untuk meluruskan orang-orang Nasrani semata; tetapi untuk memberi petunjuk kepada seluruh umat manusia hingga Hari Akhir.

Sirah juga bukan sekadar urutan (kronologi) kejadian yang terjadi secara kebetulan. Sirah bukan pula semata-mata rangkaian peristiwa bersejarah yang terjadi pada seorang pahlawan atau seorang jenius. Rangkaian peristiwa yang dimuat dalam sirah adalah wahyu Allah Swt. Dalam hal-hal yang berkaitan dengan penyampaian dakwah, Rasulullah saw tidak bertindak menurut kehendak beliau sendiri. Oleh karena itu, kita harus memahami bahwa seluruh rangkaian peristiwa yang terjadi dalam kehidupan Rasulullah saw merupakan hal yang penting bagi kaum Muslim.

Arti penting sirah sebagai bagian dari tsaqafah Islam bukan sesuatu yang berlebihan. Sirah adalah disiplin ilmu tradisional yang telah dipelajari dan diajarkan selama berabad-abad. Bisa dikatakan bahwa sirah adalah tulang punggung dimana seluruh tsaqafah Islam terikat. Pemahaman tentang sirah akan memperluas pemahaman seseorang terhadap masalah-masalah lain, baik itu berupa sepenggal ayat, hadits, atau suatu kejadian.

Kita semua perlu memahami sirah sebagai salah satu tsaqafah Islam, tetapi juga sebagai sebuah ilmu yang akan mempermudah pemahaman kita tentang Islam secara umum. Kami berharap dan berdoa agar segala upaya mendalami kehidupan Rasulullah saw ini akan mendekatkan diri kita kepada Allah Swt.

Rasulullah saw telah mengubah wajah Jazirah Arab dengan cahaya Islam. Tanggung jawab dalam mengembalikan cahaya itu ke dunia saat ini jatuh ke pundak kita semua, kaum Muslim. Umat manusia nyaris kehilangan harapan untuk mendapatkan petunjuk keluar dari kegelapan. Adalah tugas dan tanggung jawab kita saat ini untuk menawarkan seruan ini kepada umat manusia. Langkah pertama bagi kita adalah memahami kehidupan Rasulullah saw, dan melihat bagaimana beliau mengubah sebuah masyarakat yang zhalim menjadi masyarakat yang mampu mengubah jalannya sejarah,

]وَعَدَ اللهُ الَّذِينَ ءَامَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي اْلأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَى لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِنْ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا يَعْبُدُونَنِي لاَ يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا وَمَنْ كَفَرَ بَعْدَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ[

Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentosa. (TQS. an-Nur [24]: 55)

 

PENGARUH WAHYU DALAM MASYARAKAT JAHILIYAH

Lembah Yang Suci

]رَبَّنَا إِنِّي أَسْكَنْتُ مِنْ ذُرِّيَّتِي بِوَادٍ غَيْرِ ذِي زَرْعٍ عِنْدَ بَيْتِكَ الْمُحَرَّمِ رَبَّنَا لِيُقِيمُوا الصَّلاَةَ فَاجْعَلْ أَفْئِدَةً مِنَ النَّاسِ تَهْوِي إِلَيْهِمْ وَارْزُقْهُمْ مِنَ الثَّمَرَاتِ لَعَلَّهُمْ يَشْكُرُونَ[

Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau yang dihormati, ya Tuhan kami agar mereka mendirikan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan berilah mereka rizki dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur. (TQS. Ibrahim [14]: 37)

]وَإِذْ بَوَّأْنَا ِلإِبْرَاهِيمَ مَكَانَ الْبَيْتِ أَنْ لاَ تُشْرِكْ بِي شَيْئًا وَطَهِّرْ بَيْتِيَ لِلطَّائِفِينَ وَالْقَائِمِينَ وَالرُّكَّعِ السُّجُودِ%وَأَذِّنْ فِي النَّاسِ بِالْحَجِّ يَأْتُوكَ رِجَالاً وَعَلَى كُلِّ ضَامِرٍ يَأْتِينَ مِنْ كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ[

Dan ketika Kami memberikan tempat kepada Ibrahim di tempat Baitullah (sambil mengatakan), ‘Janganlah kamu memperserikatkan sesuatu pun dengan Aku dan sucikanlah rumah-Ku ini bagi orang-orang yang thawaf, dan orang-orang yang beribadat dan orang-orang yang ruku’ dan sujud. Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh. (TQS. al-Hajj [22]: 26-27)

Ka’bah telah dibangun, dan kota Makkah didirikan di atas alas tempat berpijak yang suci. Kota yang terletak di lembah yang tandus itu menjadi berkembang karena perintah Allah swt kepada Ibrahim as dan Ismail as untuk membangun Ka’bah dan menyembah Allah Swt semata. Namun demikian, situasi tempat yang semula suci itu kemudian berubah menjadi bertolak belakang sama sekali. Kota itu menjadi pusat kemaksiatan dan kerusakan. Sampai dengan saat bi’tsa (diutusnya Muhammad sebagai Nabi) pada abad ke-7 M, terdapat 360 berhala yang diletakkan di sekitar Ka’bah. Di samping itu, hampir di setiap rumah terdapat berhala yang diletakkan di tempat terhormat di dalam rumah. Meskipun kota Makkah didirikan atas landasan keimanan, namun suasana tauhid itu telah berubah hingga tak mampu dikenali lagi. Rasulullah saw menggambarkan Islam dengan ungkapan:

Sesungguhnya Islam datang dalam keadaan asing, dan akan kembali menjadi asing; namun berbahagialah orang-orang yang asing. (HR. Muslim)

Ketika Rasulullah saw mulai menyerukan Islam di kota Makkah, masyarakat jahiliyah menganggap Islam sebagai sesuatu yang aneh, sehingga mereka tidak dapat menerimanya. Adalah aneh bagi mereka untuk menyembah hanya kepada satu Tuhan, yakni Allah Swt, karena mereka telah terbiasa menyembah banyak tuhan.

Diriwayatkan bahwa para keturunan Ismail as mulai melakukan penyimpangan ketika Makkah mulai berkembang. Mereka yang meninggalkan kota gemar mengambil batu dari sekitar Ka’bah dengan maksud untuk dimuliakan. Di mana pun mereka menetap, batu tersebut dipuja-puja dengan cara berjalan mengelilinginya sebagaimana mereka melakukan thawaf mengelilingi Ka’bah. Hal ini membuat mereka terbiasa menyembah batu-batuan. Dari generasi ke generasi, mereka semakin lupa dengan ajaran asli Ibrahim as dan Ismail as. Mereka menganggap bahwa batu-batuan tersebut dapat digunakan sebagai tempat bersemayamnya ‘anak-anak’ Allah. Maka mereka berubah dari kaum yang beriman menjadi orang-orang musyrik.

Rasulullah saw pernah bersabda tentang Amr ibn Luhayya, seorang penduduk Makkah zaman dulu:

Aku melihat Amr ibn Luhayya menyeret ususnya di neraka . . . Dialah orang pertama yang menyimpangkan agama Ismail as, menyembah berhala dan membuat (kebiasaan jahiliyah) bahirah, sa’ibah, wasilah, dan hami.

Allah Swt menghinakan berbagai kebiasaan jahiliyah itu dalam Surat al-Maidah ayat 103 sebagai berikut:

]مَا جَعَلَ اللهُ مِنْ بَحِيرَةٍ وَلاَ سَائِبَةٍ وَلاَ وَصِيلَةٍ وَلاَ حَامٍ وَلَكِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا يَفْتَرُونَ عَلَى اللهِ الْكَذِبَ وَأَكْثَرُهُمْ لاَ يَعْقِلُونَ[

Allah sekali-kali tidak pernah mensyari’atkan adanya bahiirah, saaibah, washiilah dan haam. Akan tetapi orang-orang kafir membuat-buat kedustaan terhadap Allah, dan kebanyakan mereka tidak mengerti. (TQS. al-Maidah [5]: 103)

Situasi Politik

Untuk dapat memahami pengorbanan yang dilakukan Rasulullah saw, kesulitan yang dihadapi para sahabat, serta hujjah-hujjah cerdas yang dilontarkan untuk melawan prinsip-prinsip dan tingkah laku orang-orang musyrik Quraisy, maka kita perlu memahami karakteristik jahiliyah kaum Quraisy. Mereka sungguh masyarakat yang jahil atau bodoh.

Kita juga perlu memahami konstelasi politik regional yang lebih luas. Jazirah Arab pada abad ke-7 itu tersusun dari berbagai suku atau kabilah yang sama sekali tidak terorganisir. Tidak ada struktur kerajaan atau peradaban yang berkembang. Titik sentral masyarakat Arab adalah kota Makkah, dimana terdapat sejumlah tempat pemujaan berupa berhala-berhala yang didirikan di sekitar Ka’bah. Kepemimpinan kota Makkah berada di tangan suku Quraisy, penjaga tempat-tempat pemujaan, dengan Bani Hasyim sebagai pemegang kekuasaan de facto di Makkah. Berbatasan dengan Jazirah Arab, terdapat wilayah kekuasaan Romawi yang membentang sampai ke kawasan Tabuk di sebelah Utara. Kekaisaran Bizantium yang memiliki struktur pemerintahan modern, organisasi negara, dan kebudayaan Kristen yang berakar ternyata tidak mampu memberikan pengaruh yang berarti terhadap masyarakat Arab. Pada bagian Timur Jazirah Arab, terdapat wilayah kekuasaan Persia, yang memiliki peradaban tinggi, struktur pemerintahan yang tertata rapi, pasukan bersenjata, dan tujuan-tujuan politik yang terencana. Masyarakat di Teluk Arab memberikan kesetiaan mereka kepada penguasa Persia.

Kepercayaan Penduduk Makkah

Sejumlah suku di Jazirah Arab mempunyai kepercayaan yang berbeda, sekalipun semuanya masih tergolong sebagai penyembahan kepada berhala. Misalnya, Bani Malih –salah satu cabang suku Khuza’ah– masih menyembah jin; Bani Himyar menyembah matahari; Bani Kinanah menyembah bintang ad-Dabaran; sedangkan Bani Lakham, Bani Juzam, Bani Thayyi, Bani Qais, dan Bani Asad menyembah planet Jupiter, bintang Kanopus (bintang Anjing), serta planet Merkurius.

Para peziarah dari luar kota Makkah diperintahkan mengelilingi Ka’bah dengan pakaian seragam khas Quraisy; tetapi bila mereka tidak mampu mengadakannya, mereka harus mengerjakan ritual tersebut dalam keadaan telanjang bulat, sedangkan para wanita cukup mengenakan kain untuk menutupi kemaluannya.

Nilai-nilai Sosial Suku Quraisy

Sebelum kedatangan Islam, terdapat empat macam ‘ikatan perkawinan’ dalam masyarakat Arab. Pertama, ikatan perkawinan yang mirip dengan bentuk perkawinan yang ada pada saat ini, yaitu seorang ayah mengawinkan anak gadisnya kepada seorang laki-laki setelah menerima mas kawin yang telah disepakati bersama. Yang kedua, seorang suami memberikan kepada istrinya yang baru selesai haid kepada laki-laki lain, agar mereka tinggal serumah hingga istrinya tersebut hamil. Setelah terjadi kehamilan, apabila sang suami menghendaki, istrinya boleh kembali berkumpul dengannya. Bentuk ‘ikatan perkawinan’ ketiga adalah sekelompok laki-laki –sebanyak-banyaknya sepuluh orang– mencampuri seorang perempuan. Jika perempuan tersebut mengandung dan melahirkan seorang anak, ia akan menyerahkan anak tersebut kepada mereka. Tidak seorang pun dari laki-laki itu boleh mengingkari. Mereka semua datang ke rumah si perempuan; kemudian perempuan itu berkata, ‘Kalian semua tahu apa yang kalian kerjakan. Aku telah melahirkan seorang anak, dan ini adalah anakmu’, sambil menunjuk salah seorang laki-laki. Laki-laki yang ditunjuk diharuskan menerimanya. Bentuk ‘perkawinan’ yang keempat, serombongan laki-laki (dalam jumlah banyak) mengadakan hubungan intim dengan seorang perempuan (pelacur). Perempuan itu tidak akan menolak kedatangan siapa pun. Sebelumnya, perempuan itu telah memasang tanda –berupa sebuah bendera– di depan rumahnya, dengan maksud untuk mengundang siapa saja yang berkeinginan untuk mencampurinya. Jika pelacur itu hamil dan melahirkan seorang bayi, dia akan mengumpulkan semua laki-laki yang pernah mendatanginya, kemudian seorang dukun akan mengatakan siapa ayah bayi tersebut. Laki-laki yang ditunjuk sang dukun diwajibkan mengambil anak tersebut dan menyatakannya sebagai anaknya.

Salah satu perilaku yang paling mengerikan dari kebiasaan kaum jahiliyah Quraisy adalah membunuh bayi-bayi yang baru lahir. Orang-orang Quraisy tidak segan-segan mengubur bayi perempuan hidup-hidup karena merasa malu atau takut menjadi miskin. Perilaku ini, berikut alasan-alasan yang melatarbelakanginya, dinistakan oleh al-Qur’an. Rasa malu dan rasa takut menjadi miskin itu disebabkan karena mereka lebih membutuhkan anak laki-laki yang diharapkan sanggup memanggul senjata untuk menghadapi peperangan, yaitu peperangan antar suku yang tidak ada manfaatnya.

Allah Swt berfirman:

]وَإِذَا بُشِّرَ أَحَدُهُمْ بِاْلأُنْثَى ظَلَّ وَجْهُهُ مُسْوَدًّا وَهُوَ كَظِيمٌ%يَتَوَارَى مِنَ الْقَوْمِ مِنْ سُوءِ مَا بُشِّرَ بِهِ أَيُمْسِكُهُ عَلَى هُونٍ أَمْ يَدُسُّهُ فِي التُّرَابِ أَلاَ سَاءَ مَا يَحْكُمُونَ[

Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan anak perempuan, hitamlah mukanya, dan dia sangat marah. Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah? Ketahuilah, alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu. (TQS. an-Nahl [16]: 58-59)

]وَإِذَا الْمَوْءُودَةُ سُئِلَتْ%بِأَيِّ ذَنْبٍ قُتِلَتْ[

Dan apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya, karena dosa apakah dia dibunuh. (TQS. at-Takwir [81]: 8 – 9)

Perekonomian

Perdagangan merupakan penopang utama perekonomian kota Makkah. Untuk menjamin keberhasilan usaha perdagangan, maka dilakukan upaya-upaya untuk mengamankan rute-rute kafilah dagang yang ada. Pengamanan rute-rute perdagangan hanya dapat dilakukan dengan membuat perjanjian damai antar-suku, sebuah konvensi yang hanya berlaku pada saat bulan-bulan tertentu yang diharamkan. Oleh karena itu, saat-saat pertemuan di antara mereka, yaitu Ukaz, Zhil-Majaz, Mijannah, dan sebagainya hanya diadakan pada bulan-bulan haram tersebut. Secara umum, keempat bulan haram itu terdiri dari tiga bulan untuk keperluan relijius dan bulan keempat untuk kepentingan perdagangan. Pada saat bulan perdagangan, orang-orang Makkah menyelenggarakan pasar besar, yakni Pasar Ukaz. Suku-suku dari Jazirah bagian Utara maupun Selatan mendatangi pasar raya itu. Tetapi, usaha orang-orang Makkah itu jauh dari perilaku adil, karena tanpa mengenal rasa malu, mereka memperdaya para tamu yang mengunjungi kota mereka. Allah Swt dalam al-Qur’an mencela tindakan mereka:

]وَيْلٌ لِلْمُطَفِّفِينَ%الَّذِينَ إِذَا اكْتَالُوا عَلَى النَّاسِ يَسْتَوْفُونَ%وَإِذَا كَالُوهُمْ أَوْ وَزَنُوهُمْ يُخْسِرُونَ[

Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang, (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi. (TQS. al-Muthaffifin [83]: 1-3)

Sistem Kesukuan

Kesukuan adalah landasan hidup masyarakat Arab jahiliyah. Slogan yang menjadi pegangan mereka adalah: ‘Bantulah saudaramu, baik mereka itu penindas maupun yang tertindas’. Masing-masing menganggap diri mereka adalah kaum yang paling mulia. Beberapa kabilah bahkan merasa turun martabatnya bila mengadakan acara bersama-sama kabilah lain, sekalipun dalam acara yang bersifat relijius. Perselisihan antar suku selalu terjadi, yang sangat potensial menimbulkan peperangan antar suku. Seorang penyair Arab pernah menulis syair sebagai berikut, ‘Apabila tidak ditemukan satu pun kabilah musuh, kami akan berperang dengan kabilah sahabat, sehingga rasa haus akan peperangan pun terpuaskan sudah’.

Sebuah insiden yang paling remeh sekalipun dapat memicu permusuhan yang sangat pahit. Sebagai misal adalah peperangan para keturunan Wa’il, Bakr, dan Taghlib, yang terseret dalam peperangan selama empat puluh tahun penuh.

Bi’tsa (Awal Masa Ke-Nabian)

Dalam suasana kerusakan moral, distribusi ekonomi yang tidak merata, serta pelanggaran hukum yang merajalela, Rasulullah saw lahir. Beliau saw lahir dari kalangan terhormat, yaitu keluarga Bani Hasyim. Oleh karena itu, wajar bila secara alamiah Muhammad saw mempunyai potensi kepemimpinan.

Pada saat perjumpaannya yang pertama dengan malaikat Jibril, Rasulullah saw menggambarkan Jibril sebagai fenomena luar biasa yang meliputi seluruh cakrawala di segala arah. Jibril –dalam deskripsi Rasulullah saw– begitu besar, sehingga kemana pun pandangan diarahkan, beliau saw masih dapat melihatnya. Istri beliau saw, Khadijah ra menggambarkan kejadian tersebut sebagai ‘sesuatu yang sangat besar untuk mempersiapkan Muhammad’.

Wahyu pertama yang dibacakan Jibril kepada Muhammad saw, bagaikan petir yang mengguncang hati beliau saw:

]اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ%خَلَقَ اْلإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ%اقْرَأْ وَرَبُّكَ اْلأَكْرَمُ%الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ%عَلَّمَ اْلإِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ[

Bacalah dengan nama Tuhanmu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, Yang mengajar dengan perantaran kalam, Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. (TQS. al-‘Alaq [96]: 1-5)

Setelah itu, Rasulullah saw kembali kepada istri beliau, Khadijah ra untuk menenangkan hati sembari berkata, ‘zamaluni, zamaluni’ (selimuti aku, selimuti aku). Kata-kata inilah yang kemudian menjadi nama surat berikutnya yang turun tidak lama kemudian:

]يَاأَيُّهَا الْمُزَّمِّلُ[

Hai orang yang berselimut. (TQS. al-Muzzammil [73]: 1)

]يَاأَيُّهَا الْمُدَّثِّرُ%قُمْ فَأَنْذِرْ[

Hai orang yang berkemul, bangunlah, lalu berilah peringatan! (TQS. al-Mudatstsir [74]: 1-2)

Khadijah ra memang menyelimuti Rasulullah saw sampai rasa takut beliau lenyap. Setelah itu beliau saw menceritakan apa yang terjadi atas dirinya, dan berkata, ‘Sungguh aku khawatir atas diriku sendiri’. Namun Khadijah mengatakan, ‘Oh, tidak begitu. Demi Allah, Allah tidak akan menghinakan engkau selama-lamanya, karena engkau adalah seorang yang selalu menyambung tali kekeluargaan, dan membantu orang yang lemah, menolong orang yang sengsara, menghormati tamu, dan membela orang-orang yang berdiri di atas kebenaran’.

Kemudian Khadijah ra menemani beliau saw pergi ke rumah saudara sepupu Khadijah, Waraqah bin Naufal bin Asad bin ‘Abdul Uzza, yang pada masa sebelum kedatangan Islam merupakan seorang penganut Nasrani dan biasa menulis dengan huruf Ibrani. Ia mempunyai obsesi untuk menulis Injil dalam bahasa Ibrani. Dia adalah seorang laki-laki tua yang kehilangan penglihatannya.

Khadijah ra berkata kepada Waraqah, ‘Hai anak lelaki pamanku, dengarkanlah apa yang akan dikatakan oleh anak lelaki saudaramu! Waraqah bertanya, ‘Hai anak lelaki saudaraku, apa yang engkau lihat? Kemudian Rasulullah saw menceritakan kejadian yang baru dialaminya. Setelah Nabi selesai berbicara, Waraqah berkata, ‘Ini adalah rahasia yang paling besar yang pernah diturunkan Allah kepada Nabi Musa. Mudah-mudahan aku dapat kembali menjadi muda dan kuat! Mudah-mudahan aku masih hidup kelak bilamana kaummu mengeluarkan (mengusir) engkau! Mendengar perkatan Waraqah, Rasulullah saw bertanya, ‘Apakah mereka akan mengusir aku? Waraqah membenarkan dan berkata, ‘Ya, tidak ada seseorang yang datang dengan membawa seperti apa yang engkau bawa itu melainkan ia akan dimusuhi. Dan jikalau aku masih dapat mengalami masamu ketika engkau dimusuhi, maka aku akan menolong engkau dengan sekuat-kuatnya’. Namun, beberapa hari kemudian Waraqah meninggal dunia, dan selama beberapa waktu wahyu berhenti turun kepada beliau saw.

Kejadian itu menunjukkan bahwa sejak awal mula turunnya wahyu, Rasulullah saw telah menyadari bahwa seruan yang beliau sampaikan akan dihadapi dengan sikap permusuhan. Pada tahap tersebut, Rasulullah saw hanya menjelaskan keberadaan agama baru itu kepada dua orang terdekatnya, dan mengingatkan bahwa kaumnya akan menentang seruan itu. Setelah wahyu pertama diturunkan, Jibril terus mendatangi Rasulullah saw dan menyampaikan ayat-ayat al-Qur’an. Hal ini berlangsung secara teratur dan semakin sering. Rasulullah saw mulai membicarakan seruan tersebut dengan sahabat dan karib kerabatnya. Di antara mereka banyak yang kemudian memeluk agama Islam. Ali bin Abi Thalib ra adalah laki-laki pertama yang masuk Islam, kemudian Zaid bin Haritsah ra, dan kemudian Abu Bakar ra.

Diriwayatkan bahwa Abu Bakar ra sama sekali tidak menunjukkan penolakan atas seruan itu. Tidak lama berselang, Abu Bakar ra pun mengajak para sahabat dan mitra bisnisnya untuk masuk Islam. Abu Bakar ra mengungkapkan keimanannya kepada orang-orang yang dipercayainya dan menyeru mereka untuk beriman kepada Allah Swt dan Rasulullah saw. Beliau ra menggunakan pengaruhnya untuk mengajak Utsman bin Affan ra, bersama dengan Zubair bin Awwam ra, Abdurrahman bin Auf ra, Sa’ad bin Abi Waqqash ra, dan Thalhah bin Ubaidillah untuk masuk Islam. Beliau ra membawa mereka ke hadapan Rasulullah saw untuk menyatakan keimanannya dan melaksanakan shalat.

Kemudian Amir ibn Jarrah ra, atau Abu Ubaidah masuk Islam; demikian pula Abdullah ibn Abdul Asad ra atau Abu Salamah, al-Arqam bin Abi al-Arqam ra, Utsman ibn Mazh’un ra, dan sebagainya. Jumlah orang-orang yang masuk Islam semakin bertambah banyak, sehingga mulai menjadi bahan pembicaraan masyarakat Quraisy. Pada tahap awal dakwahnya, Rasulullah saw biasa mendatangi kaumnya dari rumah ke rumah, untuk mengingatkan bahwa mereka telah diperintah oleh Allah Swt untuk menyembah-Nya dan untuk tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun.

Ali bin Abi Thalib ra, sekalipun waktu itu masih berusia delapan tahun, juga didakwahi dengan penuh kesungguhan, hingga ia meyakini benar apa yang akan ia terima. Maka ketika menerima Islam, beliau ra melakukannya dengan penuh keteguhan dan keyakinan untuk menghadapi segala tekanan yang menghadang di depan. Rasulullah saw mendekati Ali bin Abi Thalib dan mengajaknya untuk menjadi seorang Muslim. Pada awalnya, Ali ra ingin mendiskusikan masalah tersebut kepada ayahnya. Namun Rasulullah saw pada waktu itu menganjurkan supaya ia tidak perlu berbuat demikian; cukup Ali saja yang diajak masuk Islam. Setelah berpikir selama satu malam, Ali ra mendatangi Rasulullah saw dan menyatakan keimanannya tanpa perlu bemusyawarah dengan ayahnya, Abu Thalib. Ali ra mengatakan, ‘Allah telah menciptakan aku tanpa harus bermusyawarah dengan Abu Thalib; maka mengapa aku harus bermusyawarah dengannya untuk menyembah Allah?

Dakwah yang bersifat tertutup ini merupakan sifat dari tahap awal dakwah Islam di Makkah. Dakwah ini tidak terbuka kepada setiap orang. Rasulullah saw memilih orang-orang tertentu, sekalipun eksistensi Islam pada saat ini diperuntukkan bagi seluruh anggota masyarakat.

Kemudian, turunlah ayat al-Qur’an sebagai berikut:

]وَأَنْذِرْ عَشِيرَتَكَ اْلأَقْرَبِينَ%وَاخْفِضْ جَنَاحَكَ لِمَنِ اتَّبَعَكَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ[

Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat, dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, yaitu orang-orang yang beriman. (TQS. asy-Syu’ara [26]: 214-215)

Diriwayatkan dalam Sirah oleh Ali bin Abi Thalib, ‘Tatkala turun perintah ‘Berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat’ Rasulullah saw memanggilnya dan berkata:

Allah telah memerintahkan aku untuk memberi peringatan kepada karib kerabatku yang terdekat, dan (perintah) ini di luar kemampuanku. Aku tahu jika aku sampaikan risalah ini kepada mereka, mereka pasti merasa tidak senang. Maka aku mendiamkan hal ini, sampai Jibril datang kepadaku dan mengatakan jika aku tidak mematuhi apa yang diperintahkan, maka Tuhanku akan menghukumku. Maka sediakanlah seekor kambing dan semangkuk susu, dan kemudian kumpulkan seluruh keturunan Abdul Muthalib agar aku dapat menyampaikan kepada mereka apa yang telah diperintahkan kepadaku.

‘Maka aku mengerjakan apa yang diperintahkan kepadaku dan memanggil mereka. Pada waktu itu ada lebih kurang empat puluh orang, termasuk paman-paman beliau, Abu Thalib, Hamzah, al-Abbas, dan Abu Lahab. Ketika mereka semua sudah berkumpul, beliau memerintahkan aku membawa makanan yang telah aku persiapkan bagi mereka. Dan ketika aku menghidangkan makanan itu, Nabi mengambil sekerat daging dan memotongnya dengan giginya, kemudian melemparkannya ke atas piring. Lalu beliau saw berkata, ‘Demi Allah ambillah (makanan itu)’. Maka orang-orang itu makan hingga mereka tidak mampu makan lagi. Yang aku lihat (di piring) adalah tempat bekas tangan-tangan mereka. Dan aku yakin bahwa hanya ada satu orang yang dapat memakan apa yang telah aku siapkan di hadapan mereka. Kemudian beliau berkata, ‘siapkan minum untuk orang-orang ini’, maka aku bawakan mangkuk susu dan mereka pun minum hingga puas; dan aku yakin bahwa hanya ada satu orang yang dapat meminum sebanyak yang aku bawakan. Ketika beliau saw ingin berbicara kepada mereka, Abu Lahab mendahului dan berkata, ‘tuan rumahnya (Muhammad) telah mengambil hati kalian’, maka mereka pun bubar sebelum Nabi sempat berbicara di depan mereka.

Keesokan harinya, beliau saw berkata kepadaku:

Orang ini telah mendahuluiku berbicara, sehingga orang-orang bubar sebelum aku sempat berbicara kepada mereka. Maka lakukan sebagaimana yang engkau lakukan kemarin.

Segalanya berlangsung seperti hari sebelumnya, dan kemudian Nabi berkata:

Wahai keturunan Abdul Muthalib, aku belum pernah mengetahui seorang bangsa Arab yang datang kepada kaumnya dengan sesuatu yang lebih utama daripada yang aku sampaikan kepada kalian. Sungguh aku datang kepada kalian dengan membawa kebaikan-kebaikan untuk dunia dan akhirat. Dan sesungguhnya aku diperintahkan oleh Tuhanku supaya mengajak kamu kepada-Nya. Oleh karena itu, siapakah yang mau menolongku dalam hal ini, menjadi saudaraku, waliku, dan penerusku di antara kalian?

Orang-orang masih terdiam, dan aku –sekalipun yang paling muda umurnya, yang paling gemuk badannya dengan kaki yang paling ramping– berkata, ‘Wahai utusan Allah, aku akan menjadi penolongmu dalam hal ini’. Kemudian beliau saw meletakkan tangannya di belakang leherku dan berkata:

Inilah saudaraku, waliku, dan penerusku di antara kalian. Dengarlah dan taatilah ia.

Mendengar kata-kata tersebut, orang-orang tertawa dan berkata kepada Abu Thalib, ‘Ia menyuruhmu untuk mendengarkan dan menaati anakmu’.

Demikianlah Rasulullah Muhammad saw –dalam rangka menaati perintah Allah dalam ayat di atas– telah mendakwahi keluarganya sebanyak empat puluh orang; dan sekalipun sejak awal telah mengalami hambatan, namun hal itu tidak membuat beliau saw surut ke belakang. Beliau saw justru kembali menyeru mereka. Peristiwa ini menggambarkan suasana permulaan dakwah Islam, sekaligus menunjukkan fakta bahwa dakwah harus disampaikan dengan tujuan utama untuk menjadi pedoman bagi beraneka ragam nilai kemasyarakatan, konsep, pola interaksi, dan sistem yang ada di masyarakat.

Pada masa-masa awal dakwah, Rasulullah saw juga pernah pergi ke bukit Shafa dan menyeru dengan suara lantang kepada orang-orang Quraisy:

Wahai Bani Fihr, Wahai Bani Adi! Katakanlah pendapatmu, bagaimana jika aku beritakan kepadamu bahwa ada pasukan berkuda keluar dari gunung ini, lalu ia hendak mengubah (menyerang) kalian semua, apakah kalian akan mempercayaiku?

Mereka berkata, ‘Ya, kami percaya. Kami tidak pernah mengetahui engkau (Muhammad) itu berdusta’. Kemudian beliau saw berkata:

Bahwa sesungguhnya aku ini pemberi peringatan kepada kamu di hadapan siksa Allah yang sangat keras.

Abu Lahab –yang hadir dalam kerumunan itu– berteriak marah, ‘Celakalah engkau (tabban laka) wahai Muhammad. Apakah hanya untuk ini saja engkau kumpulkan kami semua? Kemudian pada saat itu juga al-Qur’an mengutuk Abu Lahab dan istrinya dengan keras:

]تَبَّتْ يَدَا أَبِي لَهَبٍ وَتَبَّ%مَا أَغْنَى عَنْهُ مَالُهُ وَمَا كَسَبَ%سَيَصْلَى نَارًا ذَاتَ لَهَبٍ%وَامْرَأَتُهُ حَمَّالَةَ الْحَطَبِ%فِي جِيدِهَا حَبْلٌ مِنْ مَسَدٍ[

Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa. Tidaklah berfaedah kepadanya harta bendanya dan apa yang ia usahakan. Kelak dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak. Dan istrinya, pembawa kayu bakar. Yang di lehernya ada tali dari sabut. (TQS. al-Lahab [111]: 1-5)

Kecaman Abu Lahab merupakan salah satu tonggak dalam rangkaian kejadian yang menimpa Rasulullah saw. Sebelum itu, orang-orang Quraisy selalu melontarkan ejekan bilamana bertemu Rasulullah saw dengan ungkapan, ‘Ini dia keturunan Abdul Mutthalib yang menyampaikan kata-kata dari langit’. Mulai saat itu orang-orang musyrik Quraisy tidak punya waktu lagi untuk berkelakar dan mengolok-olok. Islam tidak bisa diabaikan begitu saja. Mereka sadar bahwa Islam telah membongkar seluruh pandangan hidup yang selama ini telah mengakar kuat dalam masyarakatnya. Mereka mulai memberi respon persis seperti yang diprediksi oleh Waraqah bin Naufal; dan demikianlah seruan dakwah itu dihadapi dengan sikap permusuhan.

 

PARTAI POLITIK NABI MUHAMMAD SAW

Rasulullah saw bersabda:

Sebaik-baik umatku adalah mereka yang bersamaku sekarang ini.

Hadits ini menyebut sekelompok orang yang bersama-sama Rasulullah saw selama 23 tahun masa turunnya wahyu. Kehidupan Rasulullah saw di Makkah tidak dapat dipandang sebagai suatu kehidupan yang terisolasi. Rasulullah saw berjuang menghadapi sikap permusuhan kaum musyrik Quraisy ketika menyerukan dakwah di Makkah. Namun beliau saw tidak sendirian dalam perjuangan itu. Wahyu turun kepada beliau sebagai seorang Nabi; dan beliau saw adalah satu-satunya orang terpilih pada waktu itu, yang menerima al-Qur’an dari Allah Swt melalui perantaraan malaikat Jibril. Namun sesungguhnya al-Qur’an diturunkan untuk kepentingan seluruh masyarakat; bahkan semestinya al-Qur’an diturunkan untuk seluruh umat manusia di dunia. Maka, begitu sebuah ayat diturunkan, cahaya dan kebahagiaan yang memancar dari ayat tersebut segera disampaikan kepada orang-orang terdekat dan paling mencintai Rasulullah saw. Mereka saling berbagi pengetahuan yang terkandung dalam ayat tersebut, dan mereka saling berbagi rahmat Allah Swt. Mereka juga turut merasakan sikap permusuhan dan kebencian yang ditunjukkan oleh kaum kafir Quraisy.

Rasulullah saw menyerukan sebuah agama yang hak. Agama yang menyerukan tauhid dan mengajak manusia untuk melakukan perbuatan yang baik. Seruan ini disampaikan kepada sebuah kaum yang telah sejak lama menolak konsep peribadatan kepada Allah Swt, serta memiliki landasan hidup yang kufur, seperti kesukuan, feodalisme, pembagian kekayaan yang tidak adil, penindasan kepada yang lemah, serta penganiayaan terhadap para musafir. Secara membabi buta mereka mengikuti adat istiadat nenek moyangnya, dan dengan sengaja menenggelamkan diri mereka dalam kejumudan dan kejahiliyahan. Bagaimana mungkin Rasulullah saw bisa mendapatkan sambutan hangat dari sebuah masyarakat yang hatinya sedingin dan sekeras berhala-berhala batu yang menjadi sesembahan mereka? Waraqah telah mengingatkan Rasulullah saw akan hal ini; dan realitas ini akan segera menjadi jelas. Meskipun demikian, di tengah-tengah lubang yang gelap gulita ini ada seberkas cahaya yang memercik di lembah yang suci itu.

Istri Rasulullah saw, Khadijah ra, serta merta menerima agama ini. Kemudian Rasulullah saw mengajak saudara sepupunya, Ali ra, yang juga mengimaninya. Selanjutnya beliau mengajak pembantunya, Zaid bin Haritsah ra, dan ia pun meyakininya. Dan kemudian beliau saw menyeru kepada sahabatnya, Abu Bakar ra, yang juga mengimaninya. Diriwayatkan bahwa Abu Bakar ra sama sekali tidak ragu untuk menerima Islam. Abu Bakar ra tidak berhenti menyatakan keimanannya hanya sebatas di dalam hati. Beliau ra mengungkapkan agama barunya kepada sahabat-sahabatnya. Beliau ra menyerukan dakwah secara gamblang dan teguh. Sebagai hasilnya, para sahabat beliau melihat kebenaran dalam ucapan Abu Bakar ra. Maka kemudian, Utsman bin Affan ra, Abdurrahman bin Auf ra, Thalhah bin Ubaidillah ra, Zubair bin al-Awwam ra, dan Sa’ad bin Abi Waqash ra masuk Islam. Setelah itu, Ubaidah ibn Jarrah ra dan beberapa orang lainnya masuk Islam melalui ajakan Abu Bakar.

Secara perlahan, semakin banyak orang-orang Makkah yang menanggalkan kejahiliyahannya dan bergabung dengan kelompok kecil Muslim, yakni para sahabat. Jika ada seorang yang ingin masuk Islam, mereka menghadap Rasulullah saw, menyatakan keimanannya, dan kemudian menanti perintah dari beliau. Demikianlah, suatu kelompok sahabat mulai muncul menjadi sebuah entitas yang khas. Mereka biasa mengerjakan shalat di perbukitan pinggiran kota Makkah yang jauh dari pengawasan suku Quraisy. Setiap kali ada yang masuk Islam, Rasulullah saw akan mengutus seseorang yang telah masuk Islam sebelumnya untuk mengajarkan membaca al-Qur’an. Rasulullah saw mempersiapkan rumah al-Arqam bin Abi al-Arqam ra sebagai pusat dakwahnya, sekaligus sebagai tempat beliau mengajarkan al-Qur’an kepada kaum Muslim, menyempurnakan tsaqafah Islam mereka, serta mendorong mereka untuk membaca al-Qur’an dan memahaminya. Setiap kali ada orang yang masuk Islam, Rasulullah saw akan memasukkannya ke dalam (kelompok) rumah al-Arqam. Beliau saw melakukan kegiatan ini selama tiga tahun. Beliau saw mendidik kelompok ini, mengimami jamaah shalat mereka, melakukan shalat tahajud di malam hari, membangkitkan jiwa mereka, dan memperkokoh akidah mereka dengan shalat dan tadarus al-Qur’an. Beliau saw membantu mereka untuk mengembangkan jalan pemikirannya, serta untuk merenungkan ayat-ayat al-Qur’an dan makhluk-makhluk ciptaan Allah Swt. Beliau saw mengajari mereka bagaimana cara menahan berbagai siksaan dengan penyerahan diri kepada Allah Swt. Rasulullah saw terus bersama partai kaum Muslim di rumah al-Arqam hingga Allah Swt menurunkan wahyu-Nya:

]فَاصْدَعْ بِمَا تُؤْمَرُ وَأَعْرِضْ عَنِ الْمُشْرِكِينَ[

Maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan dan berpalinglah dari orang-orang yang musyrik. (TQS. al-Hijr [15]: 94)

Pada tahap awal dakwahnya, Rasulullah saw hanya menyerukan Islam kepada orang-orang yang beliau anggap mempunyai kesiapan untuk menerimanya, tanpa mempedulikan usia, kedudukan, ras, atau asal usul. Beliau saw tidak pernah memilih-milih orang; beliau berdakwah tanpa membeda-bedakan orang, dan kemudian merasakan kesiapan mereka untuk menerima Islam. Maka, banyak orang yang beriman dan masuk Islam. Rasulullah saw hendak mendidik mereka semua dan menyempurnakan tsaqafah ke-Islaman mereka, sekaligus mengajarkan al-Qur’an. Mereka berasal dari segala lapisan masyarakat, sekalipun kebanyakan di antara mereka adalah para pemuda. Ada yang kaya, ada pula yang miskin, ada yang lemah maupun yang kuat.

Setelah tiga tahun, para sahabat ini meraih kematangan dan memiliki kepribadian yang Islami; hati dan pikiran mereka kosong dari hal-hal selain Islam. Pada saat inilah kelompok Muslim ini menjadi kuat dan siap berhadapan dengan masyarakat.

Sampai di sini, kita bisa mengetahui betapa para sahabat mulai digembleng dengan akidah dan tsaqafah al-Qur’an. Mereka juga disatukan dalam aktivitas dakwah. Kita telah melihat bagaimana Ali ra dan Zaid ra berperan penting dalam persiapan dan pelaksanaan pertemuan Rasulullah saw dengan kerabat dekatnya. Kedua sahabat tersebut memainkan peranan yang penting dalam keseluruhan pelaksanaan. Sekalipun respon kaum Quraisy tidak menggembirakan, tetapi peristiwa tersebut memberi pelajaran bagi kita bagaimana para sahabat berjuang bersama-sama di bawah kepemimpinan Rasulullah saw, dan bagaimana upaya para sahabat untuk menyampaikan dakwah kepada kaum musyrik Quraisy. Semangat yang kuat untuk menyampaikan dakwah Islam ternyata tidak hanya menyala-nyala di dada Rasulullah saw, tetapi juga berkobar-kobar di dada para sahabat. Mereka berjuang bersama secara harmonis, dan berjuang semata-mata demi kemuliaan Allah Swt, bukan demi kepentingan prestise atau kedudukan.

Ada suatu peristiwa ketika para sahabat hendak membacakan al-Qur’an dengan suara keras kepada kaum kafir Quraisy. Dari tengah-tengah para sahabat, Abdullah ibn Mas’ud secara sukarela menyatakan kesiapannya untuk melaksanakan tugas tersebut. Para sahabat berkata, ‘Kami mengkhawatirkan keadaanmu. Kami hanya menghendaki seseorang yang mendapatkan perlindungan suatu kabilah dari kejahatan mereka (Quraisy)’. Atas ungkapan tersebut, Ibnu Mas’ud ra menjawab, ‘Allah akan melindungiku dan menghindarkan aku dari kejahatan’. Kemudian beliau pergi menuju Maqam Ibrahim di sebelah Ka’bah, dan membaca Surat ar-Rahman. Ketika kaum Quraisy mengetahui apa yang dibaca, kepalan tangan mereka melayang, meninju wajah Ibnu Mas’ud ra. Namun beliau meneruskan membaca al-Qur’an. Ketika beliau kembali ke tengah-tengah para sahabat, mereka berkata, ‘Inilah yang kami khawatirkan atasmu’. Ibnu Mas’ud menjawab, ‘Saat ini para musuh Allah merasa tidak senang (karena bacaan al-Qur’an). Kalau kalian menginginkan, aku bersedia melakukan hal itu lagi besok pagi’. Mereka menjawab, ‘Sudah cukup engkau lakukan. Engkau telah membuat mereka mendengar sesuatu yang mereka benci’. Peristiwa ini menunjukkan bagaimana para sahabat berjuang sebagai satu kesatuan (jama’ah). Mereka termotivasi oleh akidah yang tertanam dalam benak, dan dengan teguh berjuang demi akidah yang mereka yakini. Akidah yang mantap dalam diri mereka itu menjelma menjadi energi dan vitalitas untuk menghadapi berbagai ujian hidup dan rintangan-rintangan dakwah. Di mana pun berada, mereka disatukan oleh akidah yang sama dan tujuan hidup yang sama. Kesatuan akidah inilah yang membuat mereka menyatukan diri dalam perjuangan.

Ketika melihat susunan kelompok ini, sungguh mengherankan betapa mereka dapat menempa ikatan kesatuan ini. Keadaan ini sendiri menjadi bukti keindahan Islam serta keteguhan mereka dalam berpegang pada nilai-nilai dan keyakinannya. Mush’ab bin Umair ra berasal dari keluarga bangsawan Quraisy, sedangkan Umar bin Khattab ra dan Hamzah bin Abi Mutthalib ra berasal dari kalangan tokoh masyarakat Quraisy Makkah. Sebaliknya, Abdullah bin Mas’ud ra, Khabbab bin al-Arrat ra, dan Ammar bin Yasir ra berasal dari kalangan suku Quraisy yang miskin. Bilal ra dan Suhaib ra sebelumnya merupakan budak dari Habsyah (Ethiopia) dan Bizantium. Sementara itu, Salman al-Farisi berasal dari Persia. Keadaan kota Makkah sendiri sebetulnya memberikan lingkungan yang kondusif bagi semakin lebarnya jurang kesenjangan antara orang-orang dari berbagai kalangan di atas. Namun demikian para sahabat meninggalkan kebiasaan hidup masyarakat Makkah tersebut, serta menyingkirkan rintangan-rintangan yang menghalangi bersatunya hati-hati mereka. Keragaman menjadi sesuatu yang tidak relevan dengan misi mereka.

Kesungguhan mereka dalam mengikuti seruan ini melahirkan keimanan kepada Allah Swt dan Hari Akhir. Perasaan memiliki terhadap misi dan tujuan hidup ini mendorong mereka untuk bersiap menghadapi berbagai kesulitan yang menghadang.

Abdullah bin Mas’ud menyatakan bahwa ketika jumlah para sahabat masih sedikit, mereka sudah berpikir tentang bagaimana cara memerintah seluruh dunia. Mentalitas ini dikembangkan dalam diri mereka melalui proses pembinaan yang dilakukan oleh Rasulullah saw. Mereka semua adalah perwujudan dari hasil pembinaan yang dilakukan Rasulullah saw di Dar al-Arqam, dimana para sahabat dibina dengan ayat-ayat al-Qur’an dan ajaran yang diberikan Rasulullah saw. Mereka dibina dengan konsep-konsep yang sahih tentang penyerahan diri kepada Allah swt, penyadaran bahwa Allah Swt yang menentukan hidup dan mati, maupun makanan yang diberikan kepada hamba-hamba-Nya, tanpa campur tangan manusia. Mereka juga sangat mengenal misi-misi mereka, yakni untuk mengubah tujuan hidup masyarakat, dari penyembahan kepada sesama manusia menuju penyembahan kepada Sang Maha Pencipta, Allah Swt semata.

Kaum Quraisy terus melakukan pengejaran terhadap kaum Muslim, dengan gambaran khayali bahwa mereka akan dapat dengan segera menguasainya. Mereka merasa yakin bahwa Islam hanyalah permasalahan remeh bagi orang-orang Makkah. Tetapi, di masa-masa awal ini ternyata para sahabat tumbuh berkembang menjadi semakin banyak dan semakin kuat. Perkembangan ini tidak dapat dirasakan dan dibayangkan kaum Quraisy. Jumlah sahabat yang tidak terlalu banyak diimbangi oleh kualitas karakter dan tekad mereka. Perkembangan kekuatan yang semula terjadi dalam suasana tertutup itu mendadak meledak ketika Hamzah ra dan Umar ra menerima Islam. Tidak lama kemudian turun ayat berikut:

]فَاصْدَعْ بِمَا تُؤْمَرُ وَأَعْرِضْ عَنِ الْمُشْرِكِينَ%إِنَّا كَفَيْنَاكَ الْمُسْتَهْزِئِينَ%الَّذِينَ يَجْعَلُونَ مَعَ اللهِ إِلَهًا ءَاخَرَ فَسَوْفَ يَعْلَمُونَ[

Maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan dan berpalinglah dari orang-orang yang musyrik. Sesungguhnya Kami memelihara kamu daripada orang-orang yang memperolok-olokkan, orang-orang yang menganggap adanya tuhan yang lain di samping Allah; maka mereka kelak akan mengetahui. (TQS. al-Hijr [15]: 94-96)

Umar bin Khaththab ra dan Hamzah bin Abi Mutthalib ra menyusun kaum Muslim dalam dua barisan, kemudian memimpin mereka berpawai mengelilingi Ka’bah di bawah pengamatan kaum Quraisy dan sebagian besar masyarakat. Inilah saat pertama kali kaum Muslim memulai dakwah secara terang-terangan di Makkah. Peristiwa ini menimbulkan gelombang yang membuat seluruh masyarakat di lembah suci merasa terkejut. Melalui aksi pawai ini, kaum Muslim kini dipandang sebagai suatu kekuatan yang secara terbuka menentang masyarakat kafir Quraisy dalam wujud yang belum pernah ada sebelumnya. Inilah kemunculan untuk pertama kalinya sebuah partai politik yang dibentuk oleh Muhammad saw. Sekalipun identitas sejumlah kaum Muslim terungkap dan bahkan beberapa di antaranya mengalami penyiksaan, namun Partai Muhammad saw telah siap melaksanakan serangkaian aktivitas untuk menentang secara terbuka kaum kafir Quraisy berikut pandangan hidup mereka.

Rasulullah saw dan partainya (yaitu para sahabat beliau) telah mengguncang prinsip-prinsip dasar masyarakat Makkah ketika itu, yaitu dengan cara menyerang adat istiadat dan tradisinya,

Allah Swt mewahyukan banyak ayat yang diarahkan kepada masyarakat kafir Quraisy. Ayat-ayat ini menjadi amunisi bagi Rasulullah saw dan para sahabat untuk menyerang pemikiran-pemikiran Quraisy, baik dalam perkara transaksi ekonomi, perlakuan mereka terhadap anak yatim, perlakuan mereka pada anak perempuan, sikap taklid mereka pada kepercayaan bapak-bapaknya, maupun berhala-berhala yang mereka sembah.

]إِنَّكُمْ وَمَا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللهِ حَصَبُ جَهَنَّمَ أَنْتُمْ لَهَا وَارِدُونَ[

Sesungguhnya kamu dan apa yang kamu sembah selain Allah, adalah umpan Jahannam, kamu pasti masuk ke dalamnya. (TQS. al-Anbiya [21]: 98)

Allah Swt juga mencela perbuatan mengambil riba. Praktik keuangan yang zhalim ini telah menyebabkan kesengsaraan yang luar biasa di Makkah pada waktu itu. Masalah riba hingga kini masih menjadi kasus yang melanda kaum Muslim.

]وَمَا ءَاتَيْتُمْ مِنْ رِبًا لِيَرْبُوَ فِي أَمْوَالِ النَّاسِ فَلاَ يَرْبُو عِنْدَ اللهِ[

Dan sesuatu riba yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. (TQS. ar-Rum [30]: 39)

Kemaksiatan masyarakat Quraisy yang paling terkenal adalah kegemaran mereka mencurangi timbangan:

]وَيْلٌ لِلْمُطَفِّفِينَ[

Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang. (TQS. al-Muthaffifin [83]: 1)

Allah Swt juga menunjukkan kesalahan perlakuan mereka terhadap anak yatim:

]أَرَأَيْتَ الَّذِي يُكَذِّبُ بِالدِّينِ%فَذَلِكَ الَّذِي يَدُعُّ الْيَتِيمَ[

Tahukah kamu yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim. (TQS. al-Maa’un [107]: 1-2)

Ayat ini diturunkan untuk menanggapi perbuatan Abu Sufyan ketika ia mengadakan suatu perjamuan. Pada saat itu datang seorang anak yatim yang meminta sedikit makanan. Abu Sufyan yang merasa terganggu dengan kedatangan anak yatim itu spontan menghardik dan memukul kepala anak itu dengan tongkat. Nilai-nilai aristokratik ini juga dikritik dalam Surat at-Takâtsur (102) dan Surat al-Humazah (104) sebagai berikut:

 

Bermegah-megahan telah melalaikan kamu, sampai kamu masuk ke dalam kubur. Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui, dan janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui. Janganlah begitu, jika kamu mengetahui dengan pengetahuan yang yakin, niscaya kamu benar-benar akan melihat neraka Jahiim, dan sesungguhnya kamu benar-benar akan melihatnya dengan ‘ainul yaqin kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan.” (TQS. at-Takâtsur [102]: 1-8)

]وَيْلٌ لِكُلِّ هُمَزَةٍ لُمَزَةٍ%الَّذِي جَمَعَ مَالاً وَعَدَّدَهُ%يَحْسَبُ أَنَّ مَالَهُ أَخْلَدَهُ%كَلاَّ لَيُنْبَذَنَّ فِي الْحُطَمَةِ%وَمَا أَدْرَاكَ مَا الْحُطَمَةُ%نَارُ اللهِ الْمُوقَدَةُ%الَّتِي تَطَّلِعُ عَلَى اْلأَفْئِدَةِ%إِنَّهَا عَلَيْهِمْ مُؤْصَدَةٌ%فِي عَمَدٍ مُمَدَّدَةٍ[

Kecelakaanlah bagi setiap pengumpat lagi pencela, yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitung , yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitung, dia mengira bahwa hartanya itu dapat mengkekalkannya, sekali-kali tidak! Sesungguhnya dia benar-benar akan dilemparkan ke dalam Huthamah. Dan tahukah kamu apa Huthamah itu? Yaitu api Allah yang dinyalakan, yang (membakar) sampai ke hati. Sesungguhnya api itu ditutup rapat atas mereka, diikat pada tiang-tiang yang panjang. (TQS. al-Humazah [104]: 1-9)

Demikianlah, melalui ayat-ayat al-Qur’an, Allah Swt menyerang berbagai pemikiran dan perasaan yang eksis dalam masyarakat kafir Quraisy. Para sahabat, di bawah bimbingan dan kepemimpinan Rasulullah saw menyampaikan pesan-pesan tersebut kepada kaum kafir Quraisy. Untuk dapat menyampaikan opini-opini yang kontroversial tersebut, para anggota partai –dalam hal ini para sahabat Nabi– harus melengkapi diri mereka dengan karakter-karakter tertentu. Karakter utama yang harus mereka miliki adalah ketaatan mutlak terhadap prinsip-prinsip dasar Islam, dan tidak mentolerir penyimpangan –walau sekecil apa pun– terhadap prinsip-prinsip tersebut. Karakter ini boleh jadi kelihatan radikal menurut ukuran suku Quraisy pada masa itu, tetapi justru karakter utama inilah yang membuat Quraisy jatuh tersungkur.

Aktivitas inilah yang dilakukan oleh Rasulullah saw dan para sahabat di Makkah, yang kemudian menghasilkan buah berupa pendirian Negara Islam di Madinah. Aktivitas-aktivitas tersebut bersifat politis, mengingat bahwa beliau saw tidak sekedar menyerang simbol-simbol moral tetapi juga struktur inti masyarakat Makkah; bukan hanya dalam wilayah penyembahan berhala secara individual, tetapi juga dalam masalah praktik-praktik sosial. Sejak dari permulaan, semangat perubahan merupakan filosofi dasar dari berbagai pemikiran dan aksi mereka. Rasulullah saw melengkapi para sahabat bukan hanya dengan kemampuan untuk membedakan antara kebenaran dan kekeliruan dari tradisi dan praktik sosial masyarakat Makkah, tetapi juga dengan keteguhan dan keuletan untuk melawan berbagai reaksi balik yang senantiasa muncul mengiringi seruan yang jernih dan benar ini.

Partai politik Muhammad saw ini memang benar-benar radikal. Mereka tidak menaruh perhatian atas berbagai solusi parsial dari beragam masalah yang muncul pada masa itu. Kemiskinan, pembantaian anak-anak, penipuan, dan amoralitas merupakan sebagian masalah yang muncul pada masa itu. Sekalipun mereka bergulat dengan masalah-masalah tersebut, namun mereka tidak mengupayakan ‘penyelesaian praktis’ terhadap setiap masalah tersebut.

Mereka tetap terfokus pada upaya meruntuhkan masyarakat kufur sampai ke akar-akarnya, serta menyerukan sebuah perubahan radikal terhadap sistem secara keseluruhan.

Seruan mereka terasa radikal bagi sebuah kaum yang terbiasa dengan cara hidup yang berlandaskan pada penyembahan berhala dan nasionalisme yang picik. Mereka dipandang radikal karena hendak meruntuhkan masyarakat jahiliyah Makkah. Mereka menyerukan Lâ ilâha illa Allah, yang bermakna bahwa tidak ada tuhan yang pantas disembah, tidak ada hukum yang layak dipakai, dan tidak ada tradisi yang patut diagung-agungkan, bila semua itu menimbulkan konsekuensi pengingkaran terhadap kedaulatan Allah Swt. Seruan ini benar-benar radikal.

Secara prinsip, menjadi radikal bermakna bahwa partai ini berikut para pendukungnya tidak akan pernah menukar seruan tersebut demi manfaat-manfaat jangka pendek.

MUSUH-MUSUH ISLAM

]وَلَقَدِ اسْتُهْزِئَ بِرُسُلٍ مِنْ قَبْلِكَ فَحَاقَ بِالَّذِينَ سَخِرُوا مِنْهُمْ مَا كَانُوا بِهِ يَسْتَهْزِئُونَ[

Dan sungguh telah diperolok-olokkan beberapa rasul sebelum kamu, maka turunlah kepada orang-orang yang mencemoohkan di antara mereka balasan atas olok-olokan mereka. (TQS. al-An’aam [6]: 10)

Bagian terburuk dari masyarakat Makkah diperlihatkan pada masa-masa ketika partai Rasulullah saw berinteraksi dengan masyarakat. Penentangan Islam terhadap cara hidup kaum kafir Quraisy telah memunculkan orang-orang tertentu dengan kepribadian yang sangat buruk. Banyak di antara tokoh-tokoh masyarakat Makkah yang memberikan serangan yang sangat berbahaya atas diri Rasulullah saw dan para sahabat. Ucapan-ucapan mereka sangat pedas, dan aksi-aksi mereka sangat bengis.

Beberapa di antara musuh-musuh Islam ini dikecam secara terbuka maupun tersamar oleh al-Qur’an. Untuk dapat memahami karakter dakwah dan kesabaran Rasulullah saw, maka akan sangat membantu bila kita juga memahami gerakan perlawanan terhadap dakwah Rasulullah saw. Pembahasan atas oknum-oknum penentang dakwah tersebut sama sekali bukan dimaksudkan untuk menghormati usaha mereka, atau memberi mereka penghargaan. Sebaliknya, pembahasan karakter mereka akan memudahkan kita dalam memahami jalan pikiran masyarakat Makkah dan membantu kita memahami ayat-ayat al-Qur’an tertentu.

Pada tahun-tahun menjelang bi’tsah, kedudukan dan pengaruh suku Quraisy di mata kabilah-kabilah lain di Jazirah Arab mulai goyah. Perjanjian Hilful-Fudhul, berbagai perang besar, dan kesepakatan damai membuat kredibilitas suku Quraisy mulai jatuh. Sejak saat itulah suku Quraisy mulai mengalami keretakan. Ikatan yang ada di antara kabilah-kabilah mereka tidak lebih hanya merupakan ikatan yang longgar. Para tokoh Quraisy merupakan figur-figur penting yang sangat berpengaruh dalam pengelolaan kota Makkah. Mereka itulah tokoh-tokoh yang merasa mendapat kerugian paling besar bila Islam merebut hati budak-budak dan kalangan miskin masyarakat Makkah. Sekalipun mereka pada umumnya mempunyai kekayaan yang berlimpah dan berasal dari keturunan orang-orang yang memiliki kekuasaan, namun –secara individual– hanya ada seorang yang paling berpengaruh, yakni Walid bin Mughirah. Orang ini merupakan karakter yang sangat penting bagi kaum Muslim, mengingat bahwa al-Qur’an menyebut tentangnya sebanyak dua kali:

 

Biarkanlah Aku bertindak terhadap orang yang Aku telah menciptakannya sendirian. Dan Aku jadikan baginya harta benda yang banyak, dan anak-anak yang selalu bersama dia, dan Ku lapangkan baginya dengan selapang-lapangnya, kemudian dia ingin sekali supaya Aku menambahnya. Sekali-kali tidak, karena sesungguhnya dia menentang ayat-ayat Kami. Aku akan membebaninya mendaki pendakian yang memayahkan. Sesungguhnya dia telah memikirkan dan menetapkan, maka celakalah dia! Bagaimana dia menetapkan? kemudian celakalah dia! Bagaimanakah dia menetapkan? kemudian dia memikirkan, sesudah itu dia bermasam muka dan merengut, kemudian dia berpaling dan menyombongkan diri, lalu dia berkata, ‘Ini tidak lain hanyalah sihir yang dipelajari, ini tidak lain hanyalah perkataan manusia.’ (TQS. al-Mudattsir [74]: 11-25)

]وَلَا تُطِعْ كُلَّ حَلاَّفٍ مَهِينٍ%هَمَّازٍ مَشَّاءٍ بِنَمِيمٍ%مَنَّاعٍ لِلْخَيْرِ مُعْتَدٍ أَثِيمٍ%عُتُلٍّ بَعْدَ ذَلِكَ زَنِيمٍ%أَنْ كَانَ ذَا مَالٍ وَبَنِينَ%إِذَا تُتْلَى عَلَيْهِ ءَايَاتُنَا قَالَ أَسَاطِيرُ اْلأَوَّلِينَ%سَنَسِمُهُ عَلَى الْخُرْطُومِ[

Dan janganlah kamu ikuti setiap orang yang banyak bersumpah lagi hina, yang banyak mencela, yang kian ke mari menghambur fitnah, yang banyak menghalangi perbuatan baik, yang melampaui batas lagi banyak dosa, yang kaku kasar, selain dari itu, yang terkenal kejahatannya, karena dia mempunyai harta dan anak. Apabila dibacakan kepadanya ayat-ayat Kami, ia berkata, ‘dongeng-dongengan orang-orang dahulu kala’. Kelak akan Kami beri tanda dia di belalai. (TQS. al-Qalam [68]: 10-16)

Ayat-ayat tersebut akan menjadi jelas jika kita mengetahui siapa yang dimaksud dan apa yang dilakukan orang tersebut, sehingga Allah Swt memberikan kecaman yang begitu keras kepadanya. Dialah Walid bin Mughirah, yang merekayasa segala bentuk fitnah menentang Rasulullah saw.

Setelah gagal mengintimidasi kaum Muslim, kaum Quraisy menyadari perlunya perubahan taktik. Ketika hendak melakukan propaganda menentang Rasulullah saw, mereka terbelah menjadi dua pada saat menentukan pola serangan yang hendak dilakukan. Setalah gagal dengan aksi-aksi terornya, kaum musyrik Quraisy merasa kehilangan akal untuk membuat serangan yang efektif terhadap Rasulullah saw.

Pada saat yang sama, mereka menyadari bahwa musim haji semakin dekat, dan Makkah akan segera dibanjiri para peziarah dari segala penjuru Jazirah Arab. Kemudian mereka mengadakan pertemuan yang dipimpin oleh Walid bin Mughirah. Sebagian di antara mereka mengusulkan agar Muhammad dinyatakan sebagai tukang ramal (kahin). Al-Walid menolak usulan ini dengan mengatakan bahwa Muhammad tidak mengeluarkan kata-kata sebagaimana seorang tukang ramal. Ada pula yang mengusulkan supaya Muhammad dinyatakan sebagai penyair; namun mereka semua mengetahui bagaimana bentuk-bentuk dan irama syair, sehingga usulan ini pun mereka tolak. Sebagian ada yang menyarankan agar Muhammad dinyatakan sebagai orang gila. Walid pun menolak saran ini, karena perilaku dan perkataan Muhammad sama sekali tidak seperti orang gila. Ada pula sebagian kalangan yang mengusulkan agar Muhammad dinyatakan sebagai tukang sihir; namun al-Walid pun menolak usulan ini karena Muhammad tidak pernah melakukan hal-hal yang biasa dilakukan seorang tukang sihir. Setelah perdebatan panjang, kaum kafir Quraisy akhirnya sepakat untuk menyatakan Muhammad sebagai tukang sihir yang memiliki kata-kata ajaib (sihr al-bayan). Setelah itu mereka mendatangi kelompok-kelompok peziarah yang berasal dari luar Makkah untuk memperingatkan suku-suku Arab agar jangan mendengarkan ucapan-ucapan Muhammad, dan menggambarkan beliau saw sebagai seorang tukang sihir. Mereka mengatakan bahwa ucapan-ucapan Muhammad dapat memisahkan seseorang dari saudara-saudaranya, bapaknya, atau dari istrinya, atau dari keluarganya. Demikianlah ide tersebut direkayasa oleh Walid bin Mughirah.

Walid sama sekali tidak bodoh dalam hal ilmu sastra. Ia paham betul bahwa ungkapan-ungkapan Rasulullah saw dan al-Qur’an membutuhkan suatu pemikiran yang mendalam hingga tidak dapat ditolak atau disembunyikan. Sekali waktu ia bahkan pernah menyatakan betapa ia merasa terhina karena Allah Swt menurunkan al-Qur’an kepada Rasulullah saw, bukan kepada dirinya. Hal ini menunjukkan sejauh mana pemahamannya tentang realitas al-Qur’an, tetapi ia terlalu sombong untuk mengakui kebenaran itu. Ia berkata, ‘Apakah Allah menurunkan al-Qur’an kepada Muhammad dan mengabaikan aku –pemimpin suku Quraisy– atau Abu Mas’ud ‘Amr bin ‘Umair –pemimpin Thaif– agar menjadi pemimpin bangsa Thaif dan Makkah? Menanggapi ungkapan ini, Allah Swt menurunkan ayat yang lain:

]وَلَمَّا جَاءَهُمُ الْحَقُّ قَالُوا هَذَا سِحْرٌ وَإِنَّا بِهِ كَافِرُونَ%وَقَالُوا لَوْلاَ نُزِّلَ هَذَا الْقُرْءانُ عَلَى رَجُلٍ مِنَ الْقَرْيَتَيْنِ عَظِيمٍ%أَهُمْ يَقْسِمُونَ رَحْمَةَ رَبِّكَ نَحْنُ قَسَمْنَا بَيْنَهُمْ مَعِيشَتَهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَرَفَعْنَا بَعْضَهُمْ فَوْقَ بَعْضٍ دَرَجَاتٍ لِيَتَّخِذَ بَعْضُهُمْ بَعْضًا سُخْرِيًّا وَرَحْمَةُ رَبِّكَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُونَ[

Dan tatkala kebenaran itu datang kepada mereka, mereka berkata: ‘Ini adalah sihir dan sesungguhnya kami adalah orang-orang yang mengingkarinya’.Dan mereka berkata: ‘Mengapa al-Qur’an ini tidak diturunkan kepada seorang besar dari salah satu dua negeri ini (Makkah dan Thaif)? Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan kami telah meninggikan sebahagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa (harta) yang mereka kumpulkan. (TQS. az-Zukhruf [43]: 30-32)

Serangan yang datang dari kaum kafir Quraisy tidak hanya berupa ucapan-ucapan belaka. Pada dasarnya, mereka memiliki tiga macam strategi. Ketiga strategi tersebut adalah melancarkan fitnah, melancarkan berbagai macam teror dan intimidasi, dan terakhir melancarkan boikot. Ketiga bentuk serangan kejam kaum kafir Quraisy ini diriwayatkan dengan baik dalam sirah Nabi. Dengan mempelajari sejumlah karakter musuh Islam, kita akan lebih mudah untuk melihat keculasan dan tipu daya kaum kafir Quraisy. Kita juga akan lebih mudah memahami sejauh mana pengorbanan yang diberikan oleh para sahabat. Mempelajari musuh-musuh Islam juga akan memudahkan kita memahami bagaimana ketiga strategi, yaitu fitnah, serangan fisik, dan pemboikotan itu dipraktekkan oleh kalangan musyrik Quraisy.

Abdullah bin Umar ra mengatakan, ‘Pada saat Nabi saw bersujud, beberapa orang Quraisy tidak jauh darinya. ‘Uqbah bin Abi Mua’il datang dengan membawa isi perut kambing, dan kemudian menyiramkannya ke atas punggung Rasulullah saw. Putrinya, Fatimah, tergopoh-gopoh datang ke masjid kemudian segera mengambil dan membuang kotoran tersebut dari punggung dan kepala ayahnya, sambil mengutuk orang-orang musyrik tersebut dan memohon agar Allah Swt menghukum mereka. Kemudian Rasulullah saw bangun dari sujudnya, dan berdoa:

Ya Allah, kepada Engkaulah aku menyerahkan para pemuka Quraisy, Abu Jahal bin Hisyam, Utbah bin Rabi’ah, Syaibah bin Rabi’ah, Umayyah bin Khalaf, dan Ubay bin Khalaf. (HR. Bukhari)

Berkaitan dengan Ubay bin Khalaf, orang terakhir yang disebut dalam doa Rasulullah saw, Allah Swt menurunkan beberapa ayat dalam Surat Yasin. Menurut riwayat Ibnu Ishaq, Ubay menyodorkan kepada Nabi saw sepotong tulang yang telah lapuk, menghancurkannya hingga berkeping-keping, kemudian berkata, ‘Hai Muhammad, apakah engkau mengatakan bahwa Allah dapat membangkitkan tulang yang telah lapuk ini? Kemudian ia menghancurkan kepingan tulang tersebut dan meniupkan remukan tulang dan debu yang ada di tangannya ke wajah Rasulullah saw. Maka Rasulullah saw menjawab:

Ya, aku memang mengatakan bahwa Allah akan membangkitkanmu setelah engkau menjadi seperti itu (debu). Kemudian Allah akan memasukkanmu ke dalam neraka.

Kemudian ayat-ayat dalam Surat Yasin berikut ini diturunkan:

]فَلاَ يَحْزُنْكَ قَوْلُهُمْ إِنَّا نَعْلَمُ مَا يُسِرُّونَ وَمَا يُعْلِنُونَ%أَوَلَمْ يَرَ اْلإِنْسَانُ أَنَّا خَلَقْنَاهُ مِنْ نُطْفَةٍ فَإِذَا هُوَ خَصِيمٌ مُبِينٌ%وَضَرَبَ لَنَا مَثَلًا وَنَسِيَ خَلْقَهُ قَالَ مَنْ يُحْيِي الْعِظَامَ وَهِيَ رَمِيمٌ%قُلْ يُحْيِيهَا الَّذِي أَنْشَأَهَا أَوَّلَ مَرَّةٍ وَهُوَ بِكُلِّ خَلْقٍ عَلِيمٌ[

Maka, janganlah ucapan mereka menyedihkan kamu. Sesungguhnya Kami mengetahui apa yang mereka rahasiakan dan apa yang mereka nyatakan. Dan apakah manusia tidak memperhatikan bahwa Kami menciptakannya dari setitik air, maka tiba-tiba ia menjadi penantang yang nyata! Dan ia membuat perumpamaan bagi Kami; dan dia lupa kepada kejadiannya. Ia berkata, ‘Siapakah yang dapat menghidupkan tulang belulang, yang telah hancur luluh? Katakanlah, ‘Ia akan dihidupkan oleh Tuhan yang menciptakannya kali yang pertama. Dan Dia Maha Mengetahui tentang segala makhluk’. (TQS. Yasin [36]: 76-79)

Sekalipun nama Utbah tidak disebut secara eksplisit dalam ayat tersebut, namun masyarakat Makkah waktu itu –baik Muslim maupun non-Muslim– mengetahui persis bahwa ayat tersebut diturunkan berkenaan dengan Utbah dan peristiwa tersebut. Hal ini bisa diketahui dari fakta bahwa peristiwa tersebut menjadi topik pembicaraan yang hangat di masyarakat Makkah.

Terdapat banyak ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan orang-orang Quraisy tanpa menyebutkan nama-nama mereka. Tetapi seringkali peristiwa yang menjadi sebab-sebab turunnya ayat-ayat tersebut memang diketahui pasti oleh masyarakat Makkah. Dengan kata lain, hal tersebut merupakan peristiwa yang hangat, sehingga menjadi bahan pembicaraan orang banyak. Demikianlah, berbagai masalah yang disebut dalam al-Qur’an berkaitan dengan masyarakat Makkah, khususnya dengan para tokohnya. Hanya ada satu surat dalam al-Qur’an yang membicarakan dua orang tokoh Quraisy, lengkap dengan penyebutan namanya.

Ada pula ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan peristiwa lainnya. Al-Aswad bin al-Muthalib, Walid bin Mughirah, Umayyah bin Khalaf, dan As’ab bin Wa’il, semuanya dari kalangan pemuka Quraisy, sekali waktu bertemu Rasulullah saw ketika beliau sedang thawaf mengelilingi Ka’bah. Mereka berkata kepada Nabi saw, ‘Wahai Muhammad, biarlah kami menyembah apa yang engkau sembah, dan engkau menyembah apa yang kami sembah. Engkau dan kami dapat menggabungkan hal ini. Jika apa yang engkau sembah lebih baik dari yang kami sembah, maka kami akan mendapatkan bagian daripadanya; dan jika yang kami sembah lebih baik dari yang engkau sembah, maka engkau pun akan mendapat bagian daripadanya’. Maka Allah Swt menurunkan ayat-Nya:

]قُلْ يَاأَيُّهَا الْكَافِرُونَ%لاَ أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ%وَلاَ أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ%وَلاَ أَنَا عَابِدٌ مَا عَبَدْتُمْ%وَلاَ أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ%لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ[

Katakanlah: ‘Hai orang-orang kafir! Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, dan kamu tidak pernah menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku’. (TQS. al-Kafirun [109]: 1-6)

Sekalipun kaum kafir Quraisy mengambil tindakan yang keras dalam bentuk berbagai intimidasi, boikot, dan fitnah –karena rasa putus asa dan frustrasi mereka menghadapi dakwah Rasulullah saw– namun mereka tetap menawarkan kompromi kepada Rasulullah saw. Tetapi upaya merayu Rasulullah saw untuk menghentikan dakwah tidak memperoleh hasil sebagaimana taktik-taktik mereka lainnya.

Umayyah bin Khalaf, yang juga hadir dalam peristiwa di atas, adalah saudara Ubay bin Khalaf. Dia sangat kaya dan mempunyai kedudukan yang tinggi. Tetapi usianya yang telah lanjut tidak membuat dirinya bersikap bijaksana atau mengurangi kebenciannya kepada Islam. Sebelumnya, ia adalah pemilik Bilal bin Rabah ra. Masuknya Bilal ke dalam Islam membuatnya merasa malu di hadapan bangsa Quraisy. Orang-orang Quraisy tidak dapat memahami, bagaimana orang penting dan pemuka musyrik seperti Umayyah bisa membiarkan salah satu budaknya masuk Islam. Orang-orang Quraisy menganggap Umayyah adalah orang yang lemah karena tidak mampu mengubah keyakinan Bilal ra. Apa pun caranya, Umayyah harus dapat memurtadkan Bilal ra untuk menyelamatkan mukanya. Maka hukuman yang dia berikan kepada Bilal ra pun sangat mengerikan. Namun Allah menganugerahkan kesabaran dan kekuatan kepada Bilal ra serta memberikan baginya jalan untuk keluar dari penganiayaan. Kita juga mengenal Umayyah bin Khalaf dari firman Allah Swt yang membicarakan orang ini di dalam Surat al-Humazah. Hal ini disebabkan karena ia selalu menghujat Rasulullah saw dimana pun keduanya berjumpa:

]وَيْلٌ لِكُلِّ هُمَزَةٍ لُمَزَةٍ%الَّذِي جَمَعَ مَالاً وَعَدَّدَهُ%يَحْسَبُ أَنَّ مَالَهُ أَخْلَدَهُ%كَلاَّ لَيُنْبَذَنَّ فِي الْحُطَمَةِ%وَمَا أَدْرَاكَ مَا الْحُطَمَةُ%نَارُ اللهِ الْمُوقَدَةُ%الَّتِي تَطَّلِعُ عَلَى اْلأَفْئِدَةِ%إِنَّهَا عَلَيْهِمْ مُؤْصَدَةٌ%فِي عَمَدٍ مُمَدَّدَةٍ[

Kecelakaanlah bagi setiap pengumpat lagi pencela, yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitung, dia mengira bahwa hartanya itu dapat mengekalkannya. Sekali-kali tidak! Sesungguhnya dia benar-benar akan dilemparkan ke dalam Huthamah. Dan tahukah kamu apa Huthamah itu? (Yaitu) api Allah yang dinyalakan, yang (membakar) sampai ke hati. Sesungguhnya api itu ditutup rapat atas mereka, diikat pada tiang-tiang yang panjang. (TQS. al-Humazah [104]: 1-9)

Saudara kandung ayah Rasulullah saw, Abdullah, tidak banyak jumlahnya semasa bi’tsah. Salah satu paman Rasulullah saw adalah Abdul ‘Uzzah, yang merupakan anak satu-satunya salah seorang istri Abdul Muthalib. Dia lebih dikenal dengan nama Abu Lahab. Dia tidak banyak bergaul dengan keturunan Abdul Muthalib lainnya, mungkin karena dia adalah anak tunggal dari ibunya. Rasulullah saw tidak pernah dekat dengannya sebagaimana kedekatan beliau dengan al-Abbas dan Hamzah. Dia mempunyai harta kekayaan yang berlimpah, sangat berbeda dengan Abu Thalib. Ia juga menikahi anak salah satu keluarga terkemuka di kalangan bangsawan. Ummu Jamil, istrinya, adalah saudara perempuan Abu Sufyan. Kedua orang ini, Abu Lahab dan Ummu Jamil, disebut secara eksplisit dalam al-Qur’an. Sungguh ironis betapa Abu Lahab adalah salah seorang saudara dekat Rasulullah saw yang masih hidup pada masa itu. Hubungan darah di mata suku Quraisy merupakan sesuatu yang sangat penting, tetapi karena kehormatan dan kesatuan keluarga dipandang lebih penting, maka konsep tauhid merupakan sesuatu yang tidak bisa mereka dukung. Keimanan hanya kepada satu Tuhan sungguh bertentangan dengan dogma dan keyakinan yang selama ini mereka tunjukkan. Sesungguhnya ada banyak keluarga dekat Rasulullah saw dan para sahabat yang menolak Islam dengan sepenuh hati. Ikatan kekeluargaan bukanlah sesuatu yang dapat diandalkan kaum Muslim untuk mengajak seseorang masuk Islam. Allah Swt berfirman:

]إِنَّكَ لاَ تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ[

Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk. (TQS. al-Qashash [28]: 56)

Ketika Allah Swt mengutuk Abu Lahab dan Ummu Jamil –dalam Surat al-Lahab [111]– Ummu Jamil menjadi murka. Diriwayatkan bahwa ia pergi mencari Rasulullah saw dengan membawa batu penggilingan. Di dekat Ka’bah ia menemukan Abu Bakar ra yang sebetulnya sedang duduk bersama Rasulullah saw. Ia bertanya kepada Abu Bakar, ‘Dimana sahabatmu itu? Abu Bakar ra merasa terkejut karena sebenarnya beliau saw tepat berada di depan mata perempuan itu. Ummu Jamil kembali mengatakan, ‘Aku dengar ia menghinakanku. Demi tuhan, bila aku temukan ia, akan aku hajar mulutnya dengan batu penggilingan ini’. Kemudian ia berkata, ‘Aku juga seorang penyair’ dan ia pun membacakan syair, ‘Kami menentang manusia yang terlaknat, menistakan perintah yang ia tetapkan, dan membenci agamanya’. Setelah perempuan itu pergi, Abu Bakar bertanya kepada Rasulullah saw, ‘Apa sebenarnya yang terjadi? Maka Rasulullah saw menjelaskan bahwa:

Allah menghalangi pandangannya terhadap aku.

Istilah ‘yang terlaknat (mudlammam)’ yang digunakan dalam syairnya itu merupakan sebutan hinaan dari orang-orang Quraisy bagi Rasulullah saw. Makna istilah tersebut adalah kebalikan dari arti kata Muhammad (yang terpuji). Rasulullah saw pernah bersabda kepada para sahabat:

Bukankah sesuatu yang ajaib bagaimana Allah menghindarkan aku dari luka akibat perlakuan kaum Quraisy? Mereka menghinaku dengan menyebutku mudlammam, sedangkan aku adalah Muhammad.

Niat Ummu Jamil untuk membalas perlakuan Rasulullah saw atas dirinya dan suaminya tidak cukup hanya dengan kata-kata. Ia benar-benar berusaha membuktikan ancamannya. Ia terobsesi untuk menyerang Rasulullah saw. Ia pernah melempari rumah Rasulullah saw dengan benda-benda najis. Beliau saw membiarkan saja, lalu membersihkan kotoran tersebut. Dia tidak pernah berhenti mengejar Rasulullah saw dengan maksud untuk melukainya. Ia juga pernah membawa semak-semak berduri dan menaruhnya di tempat-tempat yang ia tahu Rasulullah saw sering berjalan tanpa alas kaki. Inilah yang kemudian dikutip dalam Surat al-Lahab, dimana ia disebut sebagai ‘pembawa kayu bakar’.

Abu Jahal, dikenal juga dengan nama ‘Amr atau Abu al-Hakim, suatu saat melihat Rasulullah saw sedang mengerjakan shalat, kemudian mendatangi dan berkata kepada beliau saw, ‘Bukankah aku sudah melarang engkau mengerjakan shalat? Rasulullah saw menjawab bahwa Dzat yang tak lagi disembah oleh Abu Jahal, adalah Dzat yang dapat mengambil nyawanya. Kemudian Abu Jahal mengatakan bahwa ia adalah orang terkuat di Makkah dan mempunyai suku yang paling besar. Ia bertanya kepada Rasulullah saw, ‘Mengapa engkau mengancamku? Atas peristiwa inilah Allah Swt menurunkan ayat-Nya:

Ketahuilah! Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas, karena dia melihat dirinya serba cukup. Sesungguhnya hanya kepada Tuhanmulah kembali. Bagaimana pendapatmu tentang orang yang melarang seorang hamba ketika mengerjakan shalat. Bagaimana pendapatmu jika orang itu (Muhammad) berada di atas kebenaran, atau dia menyuruh bertakwa (kepada Allah)? Bagaimana pendapatmu jika orang yang melarang itu mendustakan dan berpaling? Tidaklah dia mengetahui bahwa sesungguhnya Allah melihat segala perbuatannya? Ketahuilah, sungguh jika dia tidak berhenti niscaya Kami tarik ubun-ubunnya, ubun-ubun orang yang mendustakan lagi durhaka. Maka biarlah dia memanggil golongannya, kelak Kami akan memanggil malaikat Zabaniyah. Sekali-kali jangan, janganlah kamu patuh kepadanya(Abu Jahal); dan sujudlah dan dekatkanlah (kepada Allah). (TQS. al-‘Alaq [96]: 6-19)

Ibnu Abbas menyatakan (berkaitan dengan ayat ‘maka biarlah dia memanggil golongannya’) bahwa jika Abu Jahal memanggil mereka, maka para malaikat akan menghukumnya di sini dan di Hari Kemudian.

Sekali waktu Abu Jahal juga pernah mengolok-olok Nabi saw, ‘Muhammad mengatakan bahwa balatentara Allah yang menjaga dan menghukum manusia di neraka hanya ada sembilan belas (QS. al-Mudattsir: 30 –pen), sementara kalian adalah bangsa yang besar. Apakah seratus orang di antara kalian tidak dapat mengalahkan salah satu dari mereka? Atas ucapan tersebut Allah Swt berfirman:

]وَمَا جَعَلْنَا أَصْحَابَ النَّارِ إِلاَّ مَلاَئِكَةً وَمَا جَعَلْنَا عِدَّتَهُمْ إِلاَّ فِتْنَةً لِلَّذِينَ كَفَرُوا[

Dan tiada Kami jadikan penjaga neraka itu melainkan dari malaikat: dan tidaklah Kami menjadikan bilangan mereka itu (19) melainkan untuk jadi cobaan bagi orang-orang kafir. (TQS. al-Mudattsir [74]: 31)

Begitu Rasulullah saw mulai membacakan al-Qur’an dengan suara keras (jahr) dalam shalatnya, mereka pun kabur menghindar.

Propaganda yang direncanakan Walid bin Mughirah pun mengalami kegagalan. Kekuatan yang dihasilkan dari dakwah Rasulullah saw mengalahkan segala bentuk fitnah, kebohongan, dan propaganda; cahaya kebenaran Islam menyingkirkan segala upaya yang hendak memadamkannya. Karena kagagalan ini, maka kaum kafir Quraisy mulai menggunakan metode yang ketiga, yaitu boikot. Mereka sepakat untuk mengisolasi sepenuhnya Rasulullah saw beserta keluarganya. Mereka menyusun sebuah naskah yang berisi larangan untuk berhubungan dengan Bani Hasyim dan Bani Abdul Muthalib, larangan untuk menikah dengan mereka atau mengadakan transaksi jual beli dengan mereka. Naskah tersebut digantung di dalam Ka’bah untuk mengingatkan kaum Quraisy terhadap kesepakatan itu. Mereka mengantisipasi jangan sampai sanksi tersebut justru membuat orang cenderung kepada Muhammad; sanksi tersebut juga akan lebih efisien daripada propaganda atau penyiksaan.

Pemboikotan dilakukan suku Quraisy dengan mengisolasi kaum Muslim di sebuah lembah. Pada suatu saat seorang sahabat datang kepada Rasulullah saw mengeluhkan rasa lapar, sembari menunjukkan sebongkah batu yang diikat di perutnya untuk menekan rasa lapar itu. Rasulullah saw pun menunjukkan perut beliau; ternyata ada dua bongkah batu yang diikatkan di sana.

Pemboikotan tersebut berlangsung dua hingga tiga tahun, sedangkan semua orang Quraisy mengharap agar Bani Hasyim dan Bani Abdul Muthalib akan meninggalkan Rasulullah saw. Tetapi pemboikotan ini justru memperkokoh semangat Rasulullah saw dan membuat para sahabat bertekad bulat dan semakin ulet dalam mengemban dakwah.

Berita tentang pemboikotan itu sampai ke telinga suku-suku Arab di luar Makkah, dan harumnya dakwah pun tercium sampai ke sana. Islam menjadi bahan pembicaraan seluruh suku bangsa yang tinggal di Jazirah Arab. Meski demikian, pemboikotan dan kelaparan terus terjadi tanpa mengenal belas kasihan; naskah pemboikotan yang disusun pemuka Quraisy pun tetap diberlakukan. Keluarga Rasulullah saw beserta para sahabat terus mengalami kelaparan, kehilangan harta kekayaan, dan hidup dari belas kasihan orang lain. Hisyam bin ‘Amr adalah salah seorang yang pernah memberi bantuan dengan mengirimkan sejumlah unta bermuatan bahan makanan di malam hari. Ketika unta-unta itu sampai di mulut lembah, unta tersebut dilepaskan seraya dipukul, hingga lari ke lembah tempat kaum Muslim berada. Kaum Muslim mengambil bahan makanan tersebut, menyembelih untanya, dan memakannya.

Kesengsaraan yang dialami oleh kaum Muslim akibat perlakuan kaum musyrik Quraisy membuat sejumlah penduduk Makkah merasakan ketidakadilan yang menimpa kerabat, ipar, maupun saudara sepupunya. Setelah pemboikotan berlangsung selama tiga tahun, lima pemuda Quraisy berkumpul untuk membicarakan naskah pemboikotan tersebut. Sebagaimana umumnya suku Quraisy pada waktu itu, mereka mengungkapkan ketidaksukaannya terhadap naskah tersebut. Pada akhirnya, mereka bersepakat untuk menyelesaikan masalah pemboikotan itu dengan menghapuskannya.

Hari berikutnya, mereka pergi ke Ka’bah, kemudian salah seorang di antara mereka, yakni Zuhair bin Umayyah, melakukan thawaf sebanyak tujuh kali. Sesudah itu, ia berpidato di hadapan orang-orang yang berkumpul, ‘Hai sekalian penduduk Makkah! Apakah kalian semua sampai hati memakan makanan yang enak-enak dan mengenakan pakaian bermacam-macam, dan dapat kawin dengan perempuan-perempuan yang kalian sukai, sedangkan kalian melihat bahwa keluarga Bani Hasyim dan Bani Abdul Muthalib mengalami berbagai kesulitan, kekurangan pakaian, dan menderita kelaparan. Sementara yang dewasa, baik laki-laki maupun perempuan, tidak dapat kawin sebagaimana mestinya? Apakah kalian semua bersuka cita melihat hal semacam itu? Demi Allah, kita akan duduk dan tidak akan pergi dari sini selama-lamanya jika naskah pemboikotan itu tidak dirobek-robek dan pemboikotan yang kejam itu tidak dihapuskan’.

Abu Jahal, yang berada tidak jauh dari tempat itu, menimpali, ‘Zuhair, engkau dusta. Demi Latta dan Uzza! Jangan engkau robek naskah tersebut’. Pada saat itu juga, keempat temannya –Zama’ah, Abu al-Bakhtari, Muth’im, dan Hisyam– muncul dari tengah-tengah kerumunan untuk mendukung pendapat Zuhair. Abu Jahal menyadari bahwa kejadian itu telah direkayasa sebelumnya, sehingga ia merasa khawatir terhadap keselamatannya dan kemudian mundur teratur. Ketika Muth’im merobek naskah pemboikotan itu, ia menemukan bahwa naskah itu telah hancur dimakan rayap, kecuali pada bagian yang tertulis, ‘Atas nama Engkau, ya Allah (Bismika Allahumma)’. Demikianlah, maka Rasulullah beserta para sahabatnya kembali ke Makkah.

Sebagai dampak pergulatan yang seru antara Rasulullah saw dengan pemuka-pemuka Makkah, maka gema dakwah tersebar ke wilayah-wilayah sekitarnya. Kafilah-kafilah dagang yang datang ke Makkah semasa musim haji mengetahui adanya konflik tersebut. Pemuka-pemuka Makkah dengan kasar menuduh Muhammad saw sebagai orang gila. Rasulullah saw beserta para sahabat tidak pernah menanggapi tuduhan itu. Sebaliknya, mereka meneruskan dakwahnya ke tengah-tengah masyarakat agar mereka bersedia mengubah keyakinannya dari kepercayaan kufur menjadi Islam.

Para pemimpin musuh Islam dari kalangan Quraisy adalah Abu Jahal, Utbah bin Rabi’ah, Shaybah bin Rabi’ah, Umayyah bin Khalaf, Ubay bin Khalaf, Walid bin Mughirah, dan Abu Lahab. Sebagian besar dari mereka terbunuh pada saat Perang Badar, dan banyak di antara mereka yang terbunuh di tangan orang-orang yang sebelumnya mereka siksa di Makkah. Inilah jawaban atas doa Nabi saw: Ya Allah, kepada Engkaulah aku menyerahkan para pemuka Quraisy.

THALABUN NUSHRAH

Sebuah periode kritis yang seringkali terabaikan dalam perjalanan hidup Rasulullah Muhammad saw adalah usaha beliau mencari pertolongan (thalab an-nushrah). Yang dimaksud dengan nushrah (pertolongan) adalah berupa dukungan fisik untuk menegakkan Islam di suatu negeri. Dukungan fisik untuk melindungi dakwah serta untuk mengambil alih kekuasaan dan pemerintahan. Thalabun nushrah bukan semata-mata dimaksudkan demi kekuasaan dan pemerintahan itu sendiri, tetapi demi Islam; untuk menegakkan dan memperkokoh pengaruh Islam.

Kitab-kitab sirah menunjukkan bahwa Rasulullah saw melakukan aktivitas thalabun nushrah ini selama hampir lima tahun, sebelum akhirnya beliau saw mampu menegakkan Negara Islam di Madinah. Kontak-kontak yang beliau saw lakukan dengan berbagai suku, serta sulitnya perjuangan untuk melakukan aktivitas tersebut menunjukkan bahwa inilah satu-satunya jalan untuk menegakkan kekuasaan Islam dan tahap-tahap krusial sebelum Negara Islam berhasil direalisir.

Kontak dengan Suku Quraisy

Rasulullah saw telah melakukan berbagai kontak untuk mencari dukungan dari Suku Quraisy. Dakwah beliau bermula di Makkah dan tujuan utamanya adalah untuk menegakkan kekuasaan Islam di kota Makkah. Tujuan dakwah ini disadari sepenuhnya oleh pemuka-pemuka Quraisy. Pada hari-hari terakhir sebelum meninggalnya Abu Thalib, para pemuka Quraisy mendatangi beliau dengan sebuah usulan penyelesaian konflik sebagai akibat tekanan dakwah yang dilakukan kaum Muslimin. Sebuah perutusan yang terdiri dari 25 orang pemuka Quraisy, termasuk Abu Jahal bin Hisyam, Abu Sufyan, dan Utbah bin Rabi’ah, datang dengan penuh harapan untuk mencapai sebuah kompromi.

Abu Thalib memanggil Rasulullah saw, dan berkata, ‘Inilah orang-orang yang paling mulia di antara kaummu. Mereka mengusulkan suatu pertemuan untuk mendapatkan penyelesaian yang saling menguntungkan dan penuh kedamaian’. Dengan tegas Rasulullah saw menjawab:

Inilah satu kata yang membuat kalian berkuasa atas orang-orang Arab dan ‘ajam (non-Arab).

Abu Jahal merasa tertarik dan menjawab, ‘Apakah satu kata itu? Aku bersumpah demi bapakmu bahwa kami akan memberi engkau bukan hanya satu kata seperti itu, tetapi sepuluh kata’. Rasulullah saw menjawab: Ucapkanlah, Lâ ilâha illa Allah.

Maka orang-orang Quraisy itu mencemooh dan kemudian pergi meninggalkan Rasulullah saw.

Utbah bin Rabi’ah, salah satu tokoh kunci Suku Quraisy (ayah dari Hindun dan mertua Abu Sufyan) kembali kepada kaumnya tanpa memahami arti penting dakwah Rasulullah saw. Kepada kaumnya, ia berkata, ‘Aku pernah mendengar ucapan-ucapan yang sangat berharga … Wahai kaumku, ikutilah kata-kataku. Tinggalkan orang ini (Muhammad saw). Bila orang-orang Arab (selain Quraisy) membunuhnya, maka kalian akan mendapat kemudahan. Tetapi jika ia berhasil dan mengalahkan (suku-suku) yang lain, kerajaannya akan menjadi milik kalian dan kekuasaannya akan menjadi milik kalian; dan kalian akan menjadi kaum yang paling beruntung’.

Tujuan dakwah Rasulullah saw telah jelas bagi siapa saja; dakwah menuju kalimat tauhid Lâ ilâha illa Allah salah satunya diarahkan untuk meraih kekuasaan dan pemerintahan semata-mata demi dinul Islam. Inilah prinsip yang akan melandasi kekuasaan kaum Quraisy atas orang-orang Arab dan non-Arab. Hal ini dipahami sepenuhnya oleh musuh-musuh Rasulullah saw pada waktu itu, dalam hal ini para pemuka Suku Quraisy.

Kontak dengan Bani Tsaqif

Sekalipun dakwah Partai Muhammad saw telah berjalan selama bertahun-tahun, tetapi suasana politik di kota Makkah masih diwarnai dengan kuatnya permusuhan dari pemuka-pemuka Quraisy. Sebagaimana diungkap di atas, para pemuka Quraisy masih bersikap keras kepala dan menolak seruan Rasulullah saw. Nampaknya, dakwah Rasulullah saw dan para sahabat telah menabrak dinding batu yang kokoh. Situasi ini semakin memburuk ketika memasuki suatu masa yang dikenal dengan masa duka cita, yakni pada tahun kesepuluh ke-Nabian. Paman beliau Abu Thalib meninggal dunia, setelah tiga hari sebelumnya Khadijah ra –istri beliau saw– meninggal dunia. Dengan meninggalnya Abu Thalib, hilang pula perlindungan yang dimiliki Rasulullah saw dalam situasi politik yang sangat keras.

Nabi saw melanjutkan aktivitasnya dan memperluas dakwah hingga ke luar kota Makkah dan di luar kekuasaan suku Quraisy. Muhammad saw mengadakan perjalanan panjang menuju kota Thaif, 70 mil di sebelah timur Makkah, untuk bertemu dengan Bani Tsaqif. Rasulullah saw mendatangi sekelompok orang yang dianggap mulia serta para pemuka kabilah tersebut. Rasulullah saw menyerukan Islam kepada kabilah tersebut, dan meminta mereka untuk melindunginya dari orang-orang Quraisy. Tetapi tanggapan dari kabilah tersebut sangat mengecewakan. Salah seorang pemimpin mereka berkata, ‘Jika memang benar Allah mengutusmu, aku akan merobek selubung Ka’bah’. Ada pula yang berkata, ‘Tidak bisakah Allah mengutus orang lain selain engkau?, dan ada pula yang mengatakan, ‘Demi Allah, aku tidak akan berbicara sepatah kata pun kepada engkau. Kalau engkau memang seorang utusan Allah, engkau terlalu penting untuk berbicara dengan kami. Tetapi bila engkau berdusta tentang Allah, kami tidak dibenarkan berbicara denganmu’. Mereka bahkan menyuruh sekelompok berandalan untuk mengejar Rasulullah saw. Orang-orang berkumpul sambil mencaci maki Nabi dengan kata-kata yang keji, melempari beliau saw dengan batu-batu, hingga membuat kedua kaki beliau saw berdarah-darah sampai tidak dapat memakai sandal.

Nabi saw tidak merasa putus asa dengan penolakan penduduk Thaif ini. Beliau saw kembali ke Makkah dengan perlindungan Muth’im bin Adiy. Bahkan ketika bertemu dengan Abu Jahal beliau bersabda:

Wahai Abu Jahal, takdir yang buruk akan segera datang kepadamu, sehingga engkau tidak akan bisa tertawa, kecuali hanya menangis saja. Dan bagi kalian, pemuka Quarisy, demi Allah, tidak lama lagi akan datang kepada kalian keadaan yang tidak kalian kehendaki.

Demikianlah, jelas bahwa beliau saw bersikeras untuk menegakkan kekuasaan Islam dengan atau tanpa persetujuan kaum Quraisy.

Sepupu Rasulullah saw, Ali bin Abi Thalib ra meriwayatkan, ‘Ketika Allah memerintahkan Rasulullah untuk mendatangi suku-suku Arab, beliau pergi ke Mina bersamaku dan Abu Bakar ra, lalu mendatangi sekumpulan suku-suku Arab’.

Thalabun nushrah kepada sejumlah suku Arab ini merupakan aktivitas yang berlandaskan wahyu, sebagaimana pernyataan Ali ra di atas. Rasulullah saw menawarkan dirinya kepada suku-suku yang berziarah ke kota Makkah pada musim haji. Beliau bahkan menawarkan dirinya kepada para pemuka suku dengan pernyataan:

Apakah ada seseorang yang dapat membawaku kepada kaumnya, karena kaum Quraisy telah menghalang-halangiku menyampaikan seruan dari Tuhanku?

Amr bin Thufail ad-Dausi adalah salah satu orang itu, yang membawa Nabi saw ke hadapan kabilahnya, kabilah ad-Dausi.

Kontak dengan Bani Syaiban bin Tsa’labah

Rasulullah saw diajak mendatangi Bani Syaiban bin Tsa’labah. Abu Bakar ra, yang menemani beliau pada pertemuan itu sangat memahami garis keturunan suku tersebut. Beliaulah yang merekomendasikan suku tersebut kepada Rasulullah saw. Pada pertemuan itu Abu Bakar ra berkata, ‘Mudah-mudahan orang tuaku berkurban untukmu, karena tidak ada suku yang lebih mulia dari suku ini’. Dialog yang berlangsung antara Abu Bakar dan salah satu pemuka mereka, Mafruq, berlangsung sangat menarik. Abu Bakar ra bertanya kepada Mafruq, ‘Berapa jumlah anggota suku kalian? Mafruq menjawab, ‘Kami berjumlah seribu orang, dan seribu orang bukanlah jumlah yang sedikit’. Abu Bakar ra bertanya lebih jauh, ‘Bagaimana tentang kekuatan (mana) yang kalian miliki? Mafruq menjawab, ‘Kami selalu berjuang demi kaum yang harus diperjuangkan’. Abu Bakar ra ingin tahu lebih jauh, ‘Bagaimana hasil peperangan antara kalian dan musuh-musuh kalian? Mafruq menjawab, ‘Kami berperang dengan semangat berkobar-kobar, perang selalu berlangsung dengan dahsyat … Sungguhpun kami lebih suka memberikan kuda kepada anak-anak kami, dan memanfaatkan senjata-senjata itu untuk memerah ternak-ternak kami. Namun sejauh ini Allah selalu memberi kami kemenangan’.

Mendengar percakapan itu serta melihat keadaan suku tersebut yang dapat diharapkan menjadi pendukung dakwahnya, Rasulullah saw segera mengajak mereka untuk masuk Islam:

Aku menyeru kepada kalian untuk bersaksi bahwa tiada Tuhan kecuali Allah, dan aku adalah utusan Allah, dan hendaknya kalian menampung dan melindungiku hingga aku menyelesaikan tugas yang ditetapkan Allah kepadaku.

Mafruq bertanya, ‘Apa yang engkau ajarkan, wahai Saudaraku? Maka Rasulullah membacakan beberapa ayat dari Surat al-An’aam. Mafruq merasa penasaran, ‘Coba engkau katakan lagi ajaranmu, wahai Saudaraku dari Quraisy! Demi Allah, sungguh kalimat ini bukan berasal dari penduduk bumi. Bila kalimat ini memang berasal dari penduduk bumi, tentu kami mengenalinya’.

Maka Rasulullah kembali membacakan al-Qur’an:

]إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ[

Sesungguhnya Allah menyuruh berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran. (TQS. an-Nahl [16]: 90)

Diskusi itu semakin berkembang dengan ikut sertanya Hani bin Qabisah yang menjadi pemuka agama, dan Mutsana bin Haritsah, komandan perang suku tersebut. Tetapi, hasil diskusi lebih lanjut ternyata menunjukkan bahwa mereka tidak dapat dijadikan pendukung dan pelindung dakwah, sekalipun mereka memiliki berbagai sifat yang utama. Mutsana menjelaskan kepada Rasulullah saw, ‘Kami memiliki perjanjian dengan Raja Kisra (dari Persia) mengenai wilayah tempat tinggal kami ini (yaitu wilayah yang terletak di lembah antara Yamamah dan Sawamah). Menurut perjanjian tersebut, kami tidak diperbolehkan mengadakan gerakan atau memberikan suaka kepada orang yang memelopori gerakan baru. Bisa jadi tugas anda tidak dikehendaki oleh Raja Kisra … Bila engkau memerlukan bantuan (dan perlindungan) kami di tanah Arab, tentu kami siap membantumu’.

Rasulullah saw menolak tawaran tersebut karena beliau saw mencari dukungan tanpa syarat. Beliau saw berkata:

Kupikir kalian tidak memberikan persyaratan terhadap permintaan kami … Hanya penolong agama Allah yang melindunginya dari segala sisi.

Dengan berpegangan pada tangan Abu Bakar ra, Rasulullah saw bangkit berdiri dan kemudian meninggalkan majelis tersebut.

Penolakan Rasulullah saw atas tawaran bantuan dari Bani Syaiban bin Tsa’labah ini menunjukkan bahwa Rasulullah saw tidak sekedar mencari perlindungan dari serangan orang-orang Quraisy, mengingat bahwa Bani Syaiban bin Tsa’labah bersedia melindungi Rasulullah saw dari orang-orang Quraisy. Namun Rasulullah saw tengah mencari orang-orang yang mampu melindungi dakwah dari segala sisinya. Kisah ini juga menunjukkan bagaimana Rasulullah saw memiliki visi dan tujuan global untuk mengungguli agama dan ideologi lainnya, termasuk salah satu kekuatan adidaya internasional waktu itu, Kerajaan Persia.

Kontak dengan Bani Amir bin Sha’sha’ah

Bani Amir bin Sha’sha’ah adalah salah satu suku yang didatangi Rasulullah saw untuk menerima Islam dan melindungi dakwah Islam. Salah seorang di antara mereka, Bayharah bin Firaz berkata, ‘Demi Allah! Seandainya aku melindungi pemuda Quraisy ini, niscaya aku pasti dapat menelan (menghabisi) seluruh orang Arab’. Selanjutnya dia berkata, ‘Bagaimana pendapatmu jika kami membai’at dirimu dalam urusanmu ini, kemudian Allah menolongmu sehingga engkau berkuasa atas para musuh-musuhmu. Apakah kekuasaan itu diperuntukkan bagi kami sepeninggalmu?’ Rasulullah saw menjawab:

Perkara (kekuasaan) itu berada di tangan Allah. Dia akan memberikannya kepada orang yang dikehendaki.

Mendengar jawaban Rasulullah saw, Bayharah pun berkata lagi, ‘Haruskah kami mempertaruhkan leher-leher kami kepada orang-orang Arab hanya untuk menolongmu, sementara jika Allah memenangkanmu (dan kemudian engkau meninggal) kekuasaan itu diperuntukkan bagi selain kami? Oleh karena itu, kami tidak membutuhkan urusan (agama) mu ini’. Dengan demikian Bani Amir bin Sha’sha’ah menolak untuk mendukung dan melindungi Rasulullah saw.

Ucapan Bayharah menunjukkan kepada kita bahwa kedatangan Rasulullah saw bukan sekedar untuk menyeru suku tersebut untuk masuk Islam, tetapi untuk mengajak mereka melindungi beliau saw dan agama Islam. Peristiwa ini menunjukkan bahwa Bani Amir bin Sha’sa’ah menganggap seruan Rasulullah saw sebagai sebuah tantangan terhadap segala bentuk pandangan hidup yang ada di Jazirah Arab, akan tetapi mereka menginginkan kekuasaan politik setelah Nabi wafat.

Kontak dengan Bani Bakar bin Wail

Rasulullah saw terus melakukan kontak dengan suku-suku di luar Quraisy, termasuk dengan Bani Bakar bin Wail. Rasulullah saw bertanya kepada mereka, ‘Berapa jumlah kalian? Bagaimana dengan kekuatan (mana’) kalian? Mereka menjawab bahwa mereka tidak mempunyai kekuatan dan tidak mampu memberikan perlindungan, karena mereka tinggal di dekat wilayah kekuasaan Persia sehingga tidak diperbolehkan mengadakan perjanjian dengan pihak-pihak yang berpotensi menggerogoti kekuasaan negara adidaya tersebut.

Kontak dengan Bani Hanifah

Ka’ab bin Malik meriwayatkan bahwa Rasulullah saw mendatangi Bani Hanifah untuk menyerukan Islam dan mencari perlindungan. Namun beliau ra meriwayatkan bahwa kabilah tersebut memberikan respon yang paling buruk dibandingkan respon kabilah-kabilah lainnya.

Kontak dengan Bani Kindah

Ibnu Syihab al-Zuhri meriwayatkan bahwa Rasulullah saw mendatangi kemah-kemah Bani Kindah, dimana terdapat seorang syaikh yang bernama Mulayh. Beliau mengajak orang tersebut untuk memenuhi seruan Allah swt dan menawarkan diri beliau saw kepada mereka. Namun mereka menolak seruan dan tawaran Rasulullah saw.

Kontak dengan Bani Kalb

Ibnu Abdullah bin Hussain meriwayatkan bahwa Nabi saw mendatangi perkemahan Bani Kindah dan menemui sebuah kabilah bernama Bani Abdullah. Kabilah tersebut diseru dengan seruan yang sama: Wahai Bani Abdullah, Allah telah memberi orang tua kalian nama yang mulia.

 Namun, seperti suku-suku lain sebelumnya, mereka pun menolak seruan itu dan tidak bersedia memberikan dukungan dan perlindungan kepada Rasulullah saw.

Upaya mencari dukungan dan perlindungan terus dilakukan oleh Rasulullah saw dan para sahabat. Para penulis sirah mendokumentasikan aktivitas ini secara sangat detil. Dari berbagai sumber diperoleh fakta bahwa Rasulullas saw telah mendatangi sekitar 40 suku atau kabilah dengan tujuan dan syarat-syarat sebagaimana digambarkan di atas. Di antara suku dan kabilah lain yang didatangi Rasulullah saw adalah Bani Fazarah, Bani Sulaim, Bani Abd ibnu Hawazin, Bani Ghassan, Bani Murrah, Bani Abs, Bani Harits, dan Bani Udrah.

Meskipun demikian, ternyata kemenangan datang dari wilayah dan kelompok suku yang lain.

Tujuan Thalabun Nusrah

Sebagaimana tercermin dalam semua riwayat di atas, tujuan thalabun nushrah bukan semata-mata mencari perlindungan bagi Rasulullah saw. Andaikata tujuannya hanya untuk mencari perlindungan, tentu sejak awal beliau saw sudah berhijrah bersama para sahabat ke Habsyah, dimana Raja Najasy bersedia memberi suaka. Namun ternyata beliau saw tetap melanjutkan dakwah di Makkah, setelah mengalami pengalaman pahit di Thaif, dengan perlindungan dari Muth’im bin Adiy yang bersedia memberikan perlindungan kepada Rasulullah saw.

Rasulullah saw juga dapat menerima tawaran Mutsana bin Haritsah –Panglima Bani Syaiban bin Tsa’labah– yang secara terbuka menjanjikan dukungan dan perlindungan dari orang-orang Arab, yang ketika itu merupakan satu-satunya musuh bagi Rasulullah saw.

Selain mencari dukungan untuk melindungi Rasulullah saw, thalabun nushrah juga bertujuan untuk mengambil alih kekuasaan dan kekuatan. Tujuan ini merupakan sesuatu yang harus diwujudkan, karena hanya dengan kekuasaan saja Islam dapat ditegakkan di tengah-tengah umat manusia. Tanpa kekuasaan, Islam tidak akan dapat ditegakkan di dunia, dan sama sekali tidak akan pernah dapat ditegakkan. Keadaan ini benar-benar dipahami oleh suku-suku yang didatangi Rasulullah saw. Bayharah dari Bani Amir bin Sha’sha’ah, misalnya, sangat paham dengan kenyataan ini. Itulah alasan mengapa ia mengatakan bahwa bersama orang itu (Muhammad saw) ia akan dapat membinasakan –maksudnya adalah menguasai– seluruh Arab. Itulah sebabnya ‘Utbah bin Rabi’ah memberikan nasihat kepada kaumnya agar jangan sekali-kali menentang Nabi saw, namun sebaliknya berusaha mendapatkan manfaat dari kekuasaan beliau saw bila tiba waktunya Rasulullah saw berhasil memperoleh kemenangan. Sekalipun orang-orang Quraisy merasa tertarik dengan janji-janji penguasaan atas orang-orang Arab dan non-Arab, namun mereka tidak dapat memberikan dukungan dan perlindungan, karena hal itu terkait dengan prasyaratnya, yakni mengucapkan dua kalimat syahadat.

Kaum Muslim yang terpelajar harus memandang bahwa tahap thalabun nushrah sebagaimana yang diriwayatkan dalam sirah di atas merupakan metode untuk mengambil alih kekuasaan, atau satu-satunya metode untuk menegakkan sebuah negara di masa sekarang ini. Rasulullah saw memerlukan waktu lima tahun untuk melakukan aktivitas thalabun nushrah seperti itu; sampai-sampai Rasulullah saw bersedia menghinakan dirinya sebagaimana yang menimpanya di Thaif, ketika beliau saw rela menerima berbagai cemoohan, ejekan, hingga lemparan batu. Peristiwa ini jelas menunjukkan bahwa aktivitas thalabun nushrah merupakan sebuah kewajiban (fardlu). Lebih tegas lagi dinyatakan dalam hadits Imam Ali ra, bahwa kontak-kontak dan pendekatan kepada suku-suku lain didasarkan pada amar atau perintah Allah Swt.

Akhirnya nushrah itu datang dari Bani Aus dan Bani Khazraj yang memberikan kota mereka, Madinah, kepada kaum Muslim sebagai tempat eksisnya Daulah Islam yang pertama, sekaligus sebagai fajar baru peradaban umat manusia.

HIJRAH DALAM PERSPEKTIF POLITIK

Kaum Muslim di dunia perlu menyadari arti pentingnya hijrah Rasulullah saw. Arti penting hijrah yang dimaksud di sini jauh lebih besar dari sekadar kesulitan yang dialami Rasulullah saw selama perjalanan tersebut. Fokus utama pada bagian-bagian yang detil tentang perjalanan itu tanpa sedikitpun membahas tujuan hijrah, jelas merupakan kesalahan yang harus kita hindari.

Dukungan dari suku Aus dan Khazraj

Untuk dapat memahami dengan benar arti penting hijrah, maka kita perlu memahami kaitan antara hijrah dengan thalabun nushrah. Sebagaimana diulas pada bagian sebelumnya, bahwa aktivitas thalabun nushrah dimaksudkan untuk memperoleh dukungan ke arah pengambilalihan kekuasaan. Dalam tahap thalabun nushrah tersebut, Rasulullah saw berkesempatan bertemu dengan utusan dari suku Aus dan Khazraj. Perundingan-perundingan yang dilakukan kedua suku tersebut, yang pada akhirnya menghasilkan sebuah perjanjian damai, menjadi titik awal dari serangkaian proses yang berujung pada hijrahnya Rasulullah saw.

Rasulullah saw pertama kali bertemu dengan perutusan dari Bani Aus dan Bani Khazraj empat tahun sebelum beliau saw berhijrah. Pada tahun kesepuluh ke-Nabian, perutusan Bani Aus dan Bani Khazraj datang ke kota Makkah untuk mencari sekutu dalam rangka menghadapi Perang Bu’ath. Ketika Rasulullah saw mengetahui maksud kedatangan mereka ke Makkah, beliau saw mendatangi mereka seraya berkata:

Biarkan aku memberikan tawaran yang lebih baik daripada yang kalian kehendaki … Aku menyeru kalian kepada agama Allah.

Seorang pemuda dari kalangan mereka dengan penuh semangat mengatakan bahwa orang inilah (Muhammad saw) Nabi yang dijanjikan orang-orang Yahudi kepada mereka, tidakkah mereka akan menerimanya? Namun pernyataan seorang tetua di antara mereka yang mengatakan bahwa bukan hal ini yang sedang mereka cari saat ini, telah membuat pemuda tadi terdiam.

Pada tahun berikutnya, perutusan lain yang terdiri dari enam orang dari Bani Aus dan tiga orang dari Bani Khazraj menemui Rasulullah saw. Dari hasil pembicaraan tersebut akhirnya perutusan Aus dan Khazraj bersedia menerima Islam. Pada waktu itu, mereka meminta Rasulullah saw untuk kembali ke Yatsrib bersama mereka. Beberapa kali mereka berkata, ‘Kaum kami saling bermusuhan satu dengan yang lain. Biarlah kami menyeru mereka kepada Islam. Jika mereka mengimani engkau, niscaya engkau menjadi orang yang paling kuat dan paling perkasa’.

Pada tahun berikutnya, sembilan orang dari Khazraj dan tiga orang dari Aus datang menemui Rasulullah saw serta membai’at beliau saw. Dalam bai’at ini, mereka berjanji untuk tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apa pun, tidak mencuri, tidak berzina, tidak membunuh anak-anak mereka, tidak berdusta, dan taat kepada Rasulullah saw. Setelah kepulangan mereka ke Yatsrib, Rasulullah saw mengutus Mush’ab bin Umair ra untuk membina dan mempersiapkan penduduk Yatsrib dengan pemikiran dan konsep-konsep Islam.

Pada musim haji tahun berikutnya, 73 orang laki-laki dan 2 orang wanita dari Yatsrib datang ke Makkah untuk mengadakan pertemuan yang sangat terkenal. Mereka menemui Rasulullah saw secara diam-diam pada waktu tengah malam di bukit Aqabah, pada saat hari tasyrik. Hanya Rasulullah Muhammad saw dan paman beliau, al-Abbas, yang menemui mereka di tempat tersebut. Mereka semua dengan sangat hati-hati berusaha menjaga agar pertemuan itu dapat berlangsung secara rahasia. Orang-orang yang hadir diminta untuk tidak mengingatkan yang lain apabila lupa, dan bila ada yang tertidur mereka diwanti-wanti untuk tidak membangunkannya. Al-Abbas membuka pertemuan dengan berkata kepada orang-orang Yatsrib, ‘Wahai orang Khazraj, … jika kalian melihat diri kalian mampu menjamin dengan apa yang kalian katakan kepadanya, dan mampu melindungi dirinya dari orang-orang yang menentangnya, maka kalian dan apa yang akan kalian bawa menjadi tanggung jawab kalian terhadap semua itu. Jika kalian melihat diri kalian akan menyerahkan dan menelantarkannya setelah dia keluar (dari kota ini) menuju kalian, maka mulai sekarang (lebih baik) tinggalkan saja dia’.

Dalam pertemuan tersebut Rasulullah saw berkata:

 

Dan supaya kalian semuanya menolongku, menjagaku bila aku datang, sebagaimana kalian menjaga perempuan-perempuan kalian dan anak-anak kalian.

Mendengar pernyataan ini, al-Barra’ memegang tangan Rasulullah saw dan berkata, ‘Demi Allah, sungguh kami hendak menjaga engkau sebagaimana kami menjaga perempuan-perempuan kami, anak-anak kami, dan diri kami. Kami bersumpah di hadapan engkau sekarang. Demi Allah, kami adalah keturunan dari orang-orang yang ahli berperang. Kami mewarisi para pahlawan dan (kami) berasal (keturunan) dari para pahlawan’. Perutusan itu bertanya lebih lanjut, ‘Jika Allah memenangkanmu, apakah engkau akan kembali kepada (kaum)mu dan meninggalkan kami? Karena merasa yakin dengan komitmen orang-orang Yatsrib itu, Rasulullah saw bersumpah:

Aku akan memerangi orang-orang yang memerangi kalian dan aku berdamai dengan orang-orang yang berdamai dengan kalian. Aku adalah bagian dari kalian dan kalian adalah bagian dariku.

Kemudian diriwayatkan bahwa Rasulullah saw meminta mereka memilih dan menetapkan 12 orang di antara mereka sebagai wakil.

Dengan pelaksanaan bai’at ini, sesungguhnya tercapai sudah maksud dan tujuan dari sebuah pengambilalihan kekuasaan. Pemegang kekuasaan riil masyarakat Madinah telah bersumpah untuk memerangi semua manusia di dunia untuk mempertahankan agama ini dan menegakkan agama tersebut di negeri mereka. Mereka tetap merahasiakan hal ini kepada kelompok lain masyarakat Madinah yang diperkirakan dapat menggangu dan menghalangi perjanjian tersebut. Orang-orang Quraisy tidak mengetahui adanya pertemuan tersebut, begitu pula Abdullah bin Ubay bin Salul, yang pada waktu itu tengah menunggu penobatannya sebagai raja Yatsrib. Kini justru Rasulullah saw yang secara de facto menjadi kepala negara. Untuk mengingat-ingat peristiwa hijrahnya Rasulullah saw ke Yatsrib, nama kota itu pun diganti menjadi Madinah atau Kota Nabi.

Upaya Pembunuhan

Sejak terjadinya bai’at Aqabah yang kedua, Rasulullah saw dan para sahabat mulai mempersiapkan diri untuk meninggalkan kota Makkah menuju Darul Islam (Negeri Islam). Para sahabat beliau mulai meninggalkan Makkah dalam kelompok-kelompok kecil, yang seringkali dilakukan secara rahasia untuk menghindari penangkapan oleh kaum musyrik Quraisy.

Orang-orang Quraisy yang senantiasa bersikap waspada terhadap Rasulullah saw merasa gelisah dengan rencana beliau saw. Kegelisahan mereka itu kemudian diungkapkan melalui aksi-aksi yang membabi-buta. Pemuka-pemuka Quraisy berkumpul di Darun Nadwah dan menyepakati suatu rencana untuk membunuh Rasulullah saw. Suatu pembunuhan yang bermotif politis; sebuah rencana keji yang dialamatkan kepada seseorang yang membawa seruan-seruan politis yang akan mengubah konstelasi politik internasional.

Karena merasa khawatir dengan sikap Bani Hasyim terhadap pembunuhan Nabi saw, mereka membuat sebuah rencana untuk melibatkan seorang pemuda dari masing-masing kabilah, yang akan menyerang Nabi saw secara bersama-sama pada saat beliau saw tidur. Namun rencana mereka itu gagal, karena Rasulullah saw memperoleh informasi melalui wahyu tentang niat jahat mereka, sehingga beliau mempunyai kesempatan untuk menghindar dengan menyuruh Ali ra tidur di tempat tidur beliau saw. Para eksekutor tengah bersiap-siap untuk menyerbu kediaman Rasulullah saw ketika datang informasi bahwa Muhammad saw telah pergi. Berita tentang lolosnya Rasulullah saw tersebar dengan cepat di tengah-tengah masyarakat Makkah sehingga menyebabkan kegemparan.

Rasulullah saw diperintahkan Allah Swt untuk melaksanakan hijrah. Beliau saw menempuh perjalanan bersama sahabat beliau, Abu Bakar ra. Khawatir ditangkap orang-orang Quraisy, mereka berdua mengambil rute memutar melalui Selatan kota Makkah, dan kemudian mengelilingi daerah pinggiran kota untuk menuju ke Utara.

Orang-orang Quraisy merasa dongkol ketika mereka mengetahui bahwa Muhammad telah pergi meninggalkan kota Makkah. Mereka menggelandang Ali ra ke Ka’bah, dan kemudian memukulinya beramai-ramai secara brutal, lalu menahannya untuk mengorek lebih lanjut keterangan tentang keberadaan Rasulullah saw. Kemudian mereka mendatangi rumah Asma’ binti Abu Bakar ra. Di rumah tersebut, Abu Jahal menampar wajah Asma’ karena rasa frustrasi yang dialaminya.

Quraisy menyediakan hadiah bagi siapa saja yang bisa menangkap Rasulullah saw dan Abu Bakar ra, yakni masing-masing seratus ekor unta, baik dalam keadaan hidup ataupun mati. Suraqah, salah seorang pemburu hadiah, menerima tantangan ini. Ia meriwayatkan bahwa ketika mengejar Nabi saw dan Abu Bakar ra, ia dan kudanya tinggal berjarak beberapa langkah dari Rasulullah saw. Namun setiap kali akan berhasil menyusul, kaki kudanya selalu terperosok ke dalam pasir. Menyadari bahwa hal ini merupakan peringatan dari Allah Swt, maka Suraqah memanggil-manggil Rasulullah saw untuk memohon ampun.

Demikianlah, telah jelas bahwa hijrah bukan sekedar upaya melarikan diri (eksodus) dari penganiayaan atau penyiksaan. Rasulullah saw telah mengalami berbagai serangan dari orang-orang Quraisy sejak masa-masa awal dakwah Islam. Ketika membuka pertemuan di Aqabah, al-Abbas mengatakan bahwa beliau saw hidup aman di Makkah. Oleh karena itu hijrah bukan sekedar melarikan diri dari penganiayaan. Hijrah harus dipandang sebagai perpindahan seorang kepala negara yang tengah menunggu untuk berkuasa, ke suatu negeri dimana ia akan berkuasa. Orang-orang Quraisy memahami bahaya ini dan mengupayakan segala cara untuk menghentikan perpindahan tersebut.

Memasuki Madinah

Riwayat-riwayat yang terhimpun dalam sirah menceritakan bahwa begitu Rasulullah saw dan Abu Bakar ra mendekati kota Madinah, ada dua ratus orang ksatria berpakaian kulit macan tutul dan membawa persenjataan lengkap, berdiri menyambut kedatangan kepala negara de facto. Perkara ini dapat diketahui siapa pun.

Anas bin Malik meriwayatkan, ‘Aku melintasi sekelompok anak muda yang berteriak-teriak, ‘Muhammad telah datang … Muhammad telah datang’. Maka aku maju ke depan, tapi tetap saja tidak melihat sesuatu pun. Namun, tidak lama kemudian Rasulullah saw benar-benar muncul bersama Abu Bakar. Mereka dalam keadaan compang-camping (pakaiannya). Kemudian mereka mengutus seorang Badui untuk meminta izin masuk kota. Di dalam kota terdapat sekitar lima ratus orang Anshar, yang mengelu-elukan kedatangan Rasulullah saw sembari berkata, ‘Silakan masuk; anda akan aman dan akan kami taati.’

Kaum Yahudi Madinah yang selama ini mempunyai suara yang menentukan jalannya pemerintahan kota Yatsrib menyadari sepenuhnya bahwa perkara ini telah direncanakan sebelumnya. Rasulullah saw telah mengambil alih kekuasaan, tanpa membiarkan pihak-pihak musuh bersiap-siap untuk menentangnya. Para pemegang kekuasaan riil dari kalangan suku Aus dan Khazraj telah bersumpah untuk mendukung pengambilalihan kekuasaan ini dengan kekuatan fisik. Diriwayatkan oleh Ibnu Hisyam bahwa Abdullah bin Ubay mendatangi orang-orang Islam dari kalangan Quraisy dengan mengatakan bahwa kaumnya tidak akan pernah membuat keputusan tanpa bermusyawarah dengan mereka sebelumnya. Ambisi Abdullah bin Ubay telah hancur dan kini dia dikesampingkan.

MENEGAKKAN ISLAM SEBAGAI IDEOLOGI

Salah satu kesalahpahaman yang biasa terjadi di kalangan kaum Muslim mengenai agamanya adalah bagaimana hidup dengan Islam sebagai suatu pandangan hidup. Umat seringkali keliru memahami hal ini dengan sekadar melaksanakan ibadah-ibadah yang bersifat individual, sekalipun masyarakat dan negara tempat mereka tinggal tidak diatur dengan aturan-aturan Islam. Hidup dengan Islam sebagai pandangan hidup membutuhkan pengejawantahan yang lebih dari itu. Penerapan aturan-aturan syari’at di setiap aspek kehidupan merupakan suatu kewajiban, baik dalam aspek perdagangan, politik, pernikahan, atau pun pendidikan. Maka, keberadaan negara yang akan mengimplementasikan hukum-hukum syari’at tersebut merupakan suatu perkara yang sangat prinsip.

Memperkokoh Kekuasaan

Rasulullah saw telah menjadi kepala negara de facto sejak peristiwa bai’at Aqabah yang kedua. Sejak hari-hari permulaan kedatangannya di kota Madinah, beliau saw menganggap perlunya penyusunan naskah perjanjian yang menjadi acuan bagi pengaturan kehidupan bermasyarakat. Ke-47 pasal yang terkandung di dalam piagam tersebut secara efektif merupakan suatu format konstitusi yang mengatur urusan masyarakat Madinah. Konstitusi itu juga mengatur urusan kaum Muhajirin dan urusan kaum Anshar, serta berisi suatu kesepakatan dengan kaum Yahudi mengenai agama dan harta benda milik mereka. Kewajiban masing-masing kelompok juga tercantum dalam piagam ini.

Rasulullah saw mengawali piagam tersebut dengan pernyataan sebagai berikut:

Surat perjanjian ini dari Muhammad, Nabi saw, yang mengatur hubungan antara orang-orang yang beriman dan orang-orang Islam dari kalangan Quraisy Makkah dengan orang-orang Yatsrib, dan orang-orang yang mengikuti mereka, bergabung dengan mereka, serta berjuang bersama mereka. Mereka adalah umat yang satu, bukan umat atau orang yang lain.

Kemudian beliau saw menjelaskan dalam piagam tersebut bagaimana hubungan antara sesama kaum mukmin. Beliau juga menjelaskan mengenai kaum Yahudi serta bagaimana bentuk hubungan antara kaum mukmin dengan mereka. Dalam piagam itu Rasulullah saw bersabda:

Seorang mukmin tidak boleh membunuh seorang mukmin yang lain demi seorang kafir. Seorang mukmin tidak boleh menolong seorang kafir untuk mengalahkan orang mukmin yang lain. Jaminan Allah atas mereka itu hanya satu. Dia melindungi orang-orang yang lemah atas orang-orang yang kuat. Orang-orang mukmin itu sebagiannya menjadi penolong sebagian yang lain.

Siapa pun dari golongan kaum Yahudi yang telah mengikuti kami, baginya berhak mendapatkan pertolongan dan persamaan. Ia tidak boleh dianiaya dan tidak boleh menganiaya. Perjanjian damai orang-orang mukmin itu satu, tidak boleh seorang mukmin membuat perjanjian damai sendiri dengan meninggalkan seorang mukmin lainnya dalam berperang di jalan Allah, karena mereka itu ada di atas hak yang sama dan keadilan yang sama pula.

Kaum Yahudi yang dimaksud dalam piagam tersebut adalah orang-orang Yahudi yang mau menjadi warganegara Daulah Islamiyah; bukan dialamatkan kepada orang-orang Yahudi yang tinggal di luar kota Madinah. Dengan demikian, orang-orang Yahudi yang menjadi warganegara Daulah Islamiyah akan mendapatkan hak yang sama dan memperoleh perlakuan yang sama, karena mereka dipandang sebagai seorang ahlu dzimmah.

Suku-suku Yahudi yang dimaksud dalam piagam ini terdiri dari kaum Yahudi Bani Auf dan kaum Yahudi Bani Najjar. Kedudukan mereka di hadapan Daulah Islamiyah telah ditetapkan dalam piagam tersebut. Di sana telah ditentukan dengan jelas bahwa hubungan mereka dengan kaum Muslim akan diatur berdasarkan hukum-hukum Islam. Ini berarti bahwa mereka tunduk pada pemerintahan Islam dan wajib menjaga kepentingan Daulah Islamiyah.

Beberapa hal penting yang diatur dalam piagam tersebut adalah:

  1. Kawan-kawan dekat (sekutu) orang-orang Yahudi mempunyai kewajiban sebagaimana orang-orang Yahudi itu sendiri. Tidak seorang pun di antara mereka boleh keluar kecuali dengan seizin Muhammad saw.
  2. Kota Yatsrib menjadi tempat yang terhormat bagi orang-orang yang terikat perjanjian tersebut.
  3. Jika terjadi perselisihan yang dikhawatirkan dapat menimbulkan kebinasaan, maka tempat kembalinya adalah Allah Swt dan Rasulullah Muhammad saw.
  4. Orang-orang Quraisy (di Makkah) dan para penolong mereka tidak boleh mendapatkan perlindungan.

Hal-hal yang disebutkan di atas didukung oleh firman Allah Swt dalam al-Qur’an, yaitu:

]سَمَّاعُونَ لِلْكَذِبِ أَكَّالُونَ لِلسُّحْتِ فَإِنْ جَاءُوكَ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ أَوْ أَعْرِضْ عَنْهُمْ وَإِنْ تُعْرِضْ عَنْهُمْ فَلَنْ يَضُرُّوكَ شَيْئًا وَإِنْ حَكَمْتَ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِالْقِسْطِ إِنَّ اللهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ[

Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak memakan yang haram. Jika mereka (orang-orang Yahudi) datang kepadamu (untuk minta keputusan), maka putuskanlah (perkara itu) diantara mereka, atau berpalinglah dari mereka; jika kamu berpaling dari mereka maka mereka tidak akan memberi mudharat kepadamu sedikitpun. Dan jika kamu memutuskan perkara mereka, maka putuskanlah (perkara itu) diantara mereka dengan adil, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil. (TQS. al-Maidah [5]: 42)

Piagam Rasulullah saw juga menetapkan kedudukan suku-suku Yahudi yang tinggal di sekitar kota Madinah. Piagam tersebut menetapkan ketentuan bahwa mereka tidak boleh keluar dari kota Madinah tanpa seizin Rasulullah saw, atau dengan kata lain tanpa seizin Daulah Islamiyah. Mereka tidak diperbolehkan melanggar kehormatan kota Madinah, baik dengan cara memerangi, atau membantu memerangi penduduknya. Mereka juga tidak boleh membantu orang-orang Quraisy Makkah atau pihak-pihak yang menolong Quraisy; dan mereka terikat pada perjanjian untuk mengembalikan segala perselisihan yang timbul di antara mereka kepada Rasulullah saw.

Kaum Yahudi sepakat dengan tuntutan-tuntutan yang disebutkan dalam piagam; semua suku yang disebut dalam piagam tersebut bersedia menandatangani pemberlakuan piagam tersebut. Mereka adalah Bani Auf, Bani Najjar, Bani Harits, Bani Sa’idah, Bani Jusyam, Bani Aus, dan Bani Tsa’labah. Bani Quraizhah, Bani Nadhir, dan Bani Qainuqa’ yang sebelumnya tidak mau menandatangani piagam itu, namun pada waktu-waktu berikutnya mereka semua secara sukarela bersedia tunduk pada syarat-syarat yang ditetapkan dalam piagam tersebut.

Dengan menyusun piagam tersebut, Rasulullah saw secara tegas telah menentukan bentuk hubungan antar kelompok masyarakat yang ada dalam Daulah Islamiyah. Hubungan antara Daulah dengan suku-suku Yahudi yang tinggal di sekitarnya juga telah ditetapkan secara tegas dengan landasan yang jelas dan spesifik. Dalam kedua perkara ini, yaitu hubungan antara sesama warganegara maupun hubungan dengan suku-suku di luar Madinah, Islam menjadi hakim dan pemutus.

Menyusun Pranata Sosial yang Stabil

Daulah Islamiyah bukanlah sebuah utopia (angan-angan). Ia merupakan negara riil dimana rakyat memenuhi kebutuhannya dan menyelesaikan permasalahannya. Penguasa Quraisy di kota Makkah kini menghadapi sejumlah permasalahan penting yang berhubungan dengan pranata sosial. Madinah menampung gelombang-gelombang imigran, yakni kaum Muhajirin, yang meninggalkan rumah-rumah, harta benda, dan mata pencaharian mereka semata-mata untuk mematuhi perintah Allah Swt. Telah sekian lama Madinah dipimpin menurut garis kesukuan. Sekarang, negara baru di Madinah itu mengatur hubungan mereka dengan kabilah-kabilah Yahudi, yang selama ini mempunyai suara yang dominan dalam menjalankan urusan kota Yatsrib. Ada pula kelompok orang-orang yang munafik, yang menyimpan dendam terhadap struktur sosial-politik yang baru dan tengah menanti kesempatan untuk meruntuhkan negara.

Rasulullah saw mulai mengorganisir hubungan antara sesama kaum Muslim dengan landasan akidah Islam. Beliau saw mengundang seluruh anggota masyarakat untuk membentuk suatu persaudaraan, yang diharapkan dapat memberikan pengaruh nyata dalam hubungan di antara mereka ketika melakukan aktivitas perdagangan maupun aktivitas kehidupan lainnya. Islam dengan gamblang mewajibkan kaum Muslim untuk saling tolong menolong antar sesamanya. Rasulullah saw bersabda:

Perumpamaan kaum mukmin dalam hal kasih sayang dan rahmat adalah bagaikan satu tubuh. Apabila satu bagian (tubuh itu) menderita (sakit), maka menjalarlah penderitaan itu ke seluruh (bagian) tubuh lainnya, hingga tidak dapat tidur dan demam. (HR. Bukhari Muslim)

Rasulullah saw juga bersabda:

Tidak beriman seseorang di antara kalian hingga mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri. (HR. Bukhari Muslim)

Ikatan persaudaraan itu melibatkan empat puluh lima orang dari kalangan Muhajirin dan empat puluh lima orang dari kalangan Anshar. Atas dasar kebijakannya, Rasulullah saw menetapkan persaudaraannya dengan Ali bin Abi Thalib ra; dan mempersaudarakan pamannya, Hamzah bin Abdul Muththalib ra dengan Zaid bin Haritsah ra, pembantu Rasulullah saw; serta Abu Bakar ra dengan Kharijah bin Zaid ra dengan cara yang sama. Kemudian beliau saw mengundang kaum Muhajirin dan Anshar untuk membentuk persaudaraan yang serupa. Maka Umar bin Khaththab ra dengan Utbah bin Malik al-Khazraji ra saling bersaudara; demikian pula Thalhah bin Ubaidillah ra dengan Abu Ayub al-Anshari ra; dan Abdurrahman bin Auf ra dengan Sa’ad bin al Rabi’ ra.

Ikatan persaudaraan ini ternyata juga membuahkan dampak material, karena ternyata orang-orang Anshar memperlihatkan kemurahan hati yang sangat besar terhadap saudara-saudaranya mereka, kaum Muhajirin, yang membuat ikatan persaudaraan ini menjadi makin bertambah kuat. Kaum Anshar menawarkan uang dan harta benda mereka kepada orang-orang Muhajirin, serta saling berbagi segala hal bersama mereka. Mereka berkata kepada Rasulullah saw, ‘Jika engkau menghendaki, ambillah rumahku’. Mereka juga berdagang dan bertani bersama-sama. Kaum Anshar bahkan menawarkan kepada Rasulullah saw kebun-kebun kurma milik mereka untuk dibagikan kepada saudara-saudara mereka dari kalangan kaum Muhajirin, mengingat kurma merupakan salah satu sumber penghasilan. Para pedagang dari kalangan kaum Muhajirin pun melakukan segala upaya untuk dapat berdagang. Abdurrahman bin Auf misalnya, dulunya adalah seorang pedagang mentega dan keju; demikian pula kalangan Muhajirin lainnya yang mempunyai kecenderungan berdagang juga melakukan upaya yang sama. Sedangkan bagi yang tidak biasa berdagang, mereka mulai terjun menjadi petani, seperti halnya Abu Bakar ra dan Ali bin Abi Thalib ra yang mengerjakan lahan pemberian kaum Anshar. Rasulullah saw bersabda:

Barangsiapa yang memiliki sebidang tanah, maka hendaklah dia menanaminya, atau (jika tidak) hendaklah dia berikan kepada saudaranya. (HR. Bukhari)

Demikianlah, maka kaum Muslim bekerja untuk mencari nafkah.

Namun demikian masih ada sekelompok Muslim, yang berjumlah sekitar 70 orang, yang tidak mempunyai uang, tidak mendapatkan pekerjaan, dan tidak mempunyai tempat tinggal. Mereka adalah orang-orang miskin yang bukan berasal dari kalangan Muhajirin maupun Anshar, melainkan orang-orang Arab yang datang ke Madinah dan kemudian masuk Islam. Rasulullah saw mengurus kebutuhan mereka dan menempatkannya di salah satu bagian masjid. Orang-orang tersebut kemudian dikenal sebagai Ahl as-Suffah, yang hidup dari bantuan kaum Muslim yang kaya, yang mendapatkan kemurahan berlimpah dari Allah Swt. Selain itu mereka juga mendapatkan bagian dari shadaqah yang dikumpulkan oleh Nabi saw.

Dengan cara itulah Rasulullah saw mengatur dan memantapkan kehidupan kaum Muslim, serta menetapkan hukum yang mengatur hubungan antar mereka di atas landasan yang kuat. Dengan demikian, Rasulullah saw telah berhasil menegakkan masyarakat Madinah di atas fondasi yang berdiri kokoh di atas puing-puing sistem kemasyarakatan kufur, dan mampu bertahan dari makar dan persekongkolan orang-orang munafik dan Yahudi.

Menyusun Struktur Pemerintahan

Masyarakat Madinah bukanlah sekumpulan Muslim yang disatukan dalam ikatan yang longgar; sebaliknya, masyarakat tersebut mempunyai struktur dan ikatan yang sangat kuat. Rasulullah saw menyusun suatu struktur politik untuk mengatur urusan kemasyarakatan. Struktur tersebut bertugas membantu beliau saw dalam menjalankan roda pemerintahan negara dan menjamin pelaksanaan hukum syari’at di tengah-tengah masyarakat. Bagi kaum Muslim saat ini, struktur tersebut menjadi rancangan struktur pemerintahan Negara Islam di masa yang akan datang.

  1. Kepala Negara, yaitu Imam atau Khalifah

Melalui dua kali bai’at, maka Rasulullah saw secara de facto menjadi kepala negara. Kekuasaan Rasulullah saw semakin dipertegas lagi dengan penetapan piagam Shahifah. Dengan piagam tersebut, Rasulullah saw mengatur masyarakat dari kalangan Muslim maupun non-Muslim, serta memelihara urusan mereka dari sejak hari pertama beliau saw menapakkan kakinya di Madinah. Begitu Daulah Islamiyah berhasil ditegakkan, beliau saw membentuk suatu masyarakat Islam dimana kesejahteraan umat manusia dipenuhi dengan semestinya. Dalam kapasitas beliau sebagai negarawan, Rasulullah saw membuat perjanjian dengan kaum Yahudi, dengan Bani Dhamrah dan Bani Madlaj. Pada masa-masa berikutnya, Rasulullah saw membuat perjanjian dengan orang-orang Quraisy, dan dengan orang-orang Ayla, Jarba’, dan Uzrah.

  1. Pembantu Khalifah, yaitu Mu’awin

Rasulullah saw memilih Abu Bakar ra dan Umar bin Khaththab ra sebagai pembantunya. Imam Tirmidzi meriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda:

Dua orang wazirku dari penduduk bumi adalah Abu Bakar dan Umar.

Arti dari ‘dua orang wazirku’ adalah dua orang pembantuku, karena kata wazir dalam bahasa Arab berarti orang yang membantu. Sedangkan istilah ‘menteri’ yang seringkali dipakai orang sebagai pengganti kata wazir merupakan istilah Barat yang mempunyai pengertian yang berbeda, yakni seorang yang memimpin dan mengatur sebuah departemen. Pengertian ini amat berbeda dengan pengertian dalam sistem pemerintahan Islam. Jelas bahwa kedua orang yang dipilih Rasulullah saw menjadi wazirnya bukan merupakan orang-orang yang memiliki keahlian khusus dalam memimpin departemen tertentu sebagaimana seorang menteri dalam sistem pemerintahan demokrasi. Namun, kedua orang tersebut merupakan pembantu yang memiliki kekuasaan sebesar tugas yang diamanatkan oleh Khalifah atau imam kepadanya. Oleh karena itu, mereka tidak khusus menangani departemen tertentu.

  1. Panglima Perang dan Angkatan Bersenjata (Amir al-Jihad dan al-Jaisy)

Angkatan bersenjata, yang berada di bawah komando Panglima Perang, secara efektif berada di bawah kendali Rasulullah saw. Pada masa-masa selanjutnya, Rasulullah saw mengangkat sejumlah panglima yang memimpin pasukan. Suatu ketika Rasulullah saw pernah mengangkat Abdullah bin Jahsy ra sebagai pemimpin kelompok yang bertugas mengintai pasukan Quraisy. Pada kesempatan lain Rasulullah saw mengangkat Abu Salma bin Abdil Asad ra sebagai panglima sebuah resimen pasukan berkekuatan 150 orang; dan beliau saw menyerahkan panji-panji negara Islam kepadanya. Resimen ini terdiri dari sejumlah pahlawan Islam yang terkenal, seperti Abu Ubaidah bin al-Jarrah ra, Sa’ad bin Abi Waqqash ra, dan Usaid bin Hudhair ra.

  1. Gubernur (Wali)

Setelah wilayah kekuasaan Islam semakin luas, Rasulullah saw sebagai negarawan dan pemimpin Daulah Islamiyah menunjuk sejumlah wali (gubernur) bagi setiap wilayah (provinsi) dan ‘amil (kepala daerah setingkat bupati) bagi setiap kota, yang bertugas membantu Rasulullah saw dalam menyelesaikan berbagai permasalahan dan menjalankan roda pemerintahan, agar dapat berlangsung dengan sebaik-baiknya sesuai dengan wahyu yang diterima beliau saw. Sebagai contoh, Rasulullah saw mengangkat ‘Utab bin Usaid ra sebagai wali kota Makkah tidak lama setelah Makkah berhasil dibebaskan; demikian pula, setelah Badhan bin Sasan memeluk Islam, beliau saw mengangkatnya sebagai wali di Yaman. Rasulullah saw juga menunjuk Mu’adz bin Jabal al-Khazraji sebagai wali bagi wilayah al-Janad, dan Khalid bin Sa’id bin al-Ash ra diangkat sebagai ‘amil kota San’a. Begitu pula beliau saw menunjuk Zaid bin Lubaid bin Tsa’labah al-Anshari sebagai wali Hadramaut, Abu Musa al-Asy’ari sebagai wali kawasan Zabid dan Aden, dan ‘Amr bin al-Ash sebagai wali Oman. Di ibukota, Abu Dujanah ditunjuk sebagai amil Madinah. Rasulullah saw juga mengutus Amru bin Hazm ke Yaman untuk menempati posisi sebagai wali yang menangani urusan pemerintahan dan urusan keuangan sesuai petunjuk yang diberikan Rasulullah saw. Demikian pula Farwah bin Sahal yang pernah ditunjuk sebagai ‘amil di wilayah Murad, Zubaid, dan Mudzhij.

Rasulullah saw mengangkat figur-figur teladan dari kalangan kaum Muslim sebagai wali, yang akan memerintahkan pengajaran Islam kepada orang-orang yang menerima Islam serta menerima shadaqah (pembayaran zakat) dari mereka. Dalam banyak kesempatan, Rasulullah saw memberikan tugas kepada para wali untuk mengumpulkan dana sekaligus memerintahkan mereka untuk memberi kabar gembira tentang kehadiran Islam, membina umat dengan al-Qur’an, serta menjadikan umat paham dengan Islam. Rasulullah saw selalu memerintahkan wali agar bersikap lemah lembut dan lunak dalam kebenaran, dan bersikap keras dalam menghadapi pemberontakan dan kezhaliman. Para wali juga berkewajiban menghindarkan umat dari upaya-upaya penyerahan penyelesaian perkara kepada suku-suku atau kabilah-kabilah bila terjadi perselisihan di antara mereka, sehingga mereka menyerahkan penyelesaian perkara kepada ketentuan dan hukum-hukum Allah Swt semata.

  1. Hakim (Qadli)

Rasulullah saw mengangkat banyak hakim untuk menyelesaikan perselisihan di antara umat. Rasulullah saw menunjuk Ali ra sebagai hakim di Yaman dan ‘Abdullah bin Naufal ra sebagai hakim di Madinah. Beliau saw juga pernah mengangkat Mu’adz bin Jabal ra dan Abu Musa al-Asy’ari ra sebagai hakim di wilayah Yaman. Rasulullah saw menanyai mereka:

Dengan apa engkau akan menghukumi, bila diajukan kepadamu suatu perkara?

Mereka pun menjawab, ‘Apabila kami tidak menemukan keputusan dalam Kitabullah dan Sunnah Rasul, maka kami akan berijtihad dengan pendapat kami sekuat tenaga’. Rasulullah saw pun menyetujui metode penentuan keputusan tersebut.

Rasulullah saw tidak hanya mengangkat qadli atau hakim saja, tetapi juga membentuk mahkamah mazhalim untuk menampung segala pengaduan masyarakat mengenai (tuduhan) tindak kezhaliman yang dilakukan oleh aparat pemerintah, seperti yang dilakukan para qadli atau wali. Beliau saw mengangkat Rasyid bin Abdullah ra sebagai amir (ketua) para qadli dan mahkamah mazhalim dengan wewenang untuk mengawasi kasus-kasus yang diajukan ke depan mahkamah mazhalim tersebut.

  1. Aparat Administrasi (al-Jihaz al-Idariy)

Rasulullah saw mengatur segala aspek urusan umat. Beliau saw mengangkat sejumlah aparat yang mirip dengan pimpinan departemen. Beliau saw mengangkat Ali bin Abi Thalib ra sebagai sekretaris yang bertugas menulis berbagai perjanjian, al-Harits bin Auf ra yang bertugas untuk membawa cap stempel (berbentuk cincin) resmi kenegaraan, Mu’aiqib bin Abi Fatimah ra sebagai pencatat hasil rampasan perang (ghanimah), Hudzaifah bin al-Yaman ra bertugas mencatat hasil panen yang dihasilkan seluruh wilayah Hijaz, Zubair bin al-Awwam ra sebagai pencatat shadaqah (zakat), al-Mughirah bin Syu’bah ra bertugas mencatat semua perjanjian hutang piutang dan berbagai macam transaksi, serta Surahbil bin Hasanah ra bertugas sebagai penulis surat-surat yang dikirimkan kepada para raja.

Beliau saw juga mengangkat seorang sekretaris atau seorang direktur bagi masing-masing departemen. Rasulullah saw telah mengutus Abdullah bin Rawahah ra ke perkampungan kaum Yahudi di Khaibar untuk mencatat hasil panen dan buah-buahan yang mereka hasilkan, serta memungut kewajiban mereka.

  1. Majelis Syura (Majlis Ummat)

Keputusan yang diambil Rasulullah saw tidak selalu berasal dari pendapat beliau saw, tetapi beliau sering meminta pendapat dan pertimbangan dari kaum Muslim bilamana dipandang perlu. Beliau saw mengumpulkan kaum Muslim sebelum Perang Uhud, serta meminta pendapat mereka mengenai strategi yang akan mereka lakukan. Demikian pula pada beberapa kesempatan, Rasulullah saw meminta pendapat atau bermusyawarah dengan kaum Muslim. Selain dengan mengumpulkan kaum Muslim, Rasulullah saw secara reguler juga mengundang beberapa orang sahabat dan bermusyawarah dengan mereka. Mereka itu –yang dipandang sebagai tokoh-tokoh umat– adalah Hamzah bin Abdul Muththalib, Abu Bakar, Ja’far bin Abi Thalib, Umar bin Khaththab, Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Mas’ud, Salman al-Farisi, Ammar bin Yasir, Hudzaifah bin al-Yaman, Abu Dzar al-Ghifari, al-Miqdad, dan Bilal bin Rabah. Mereka seperti majelis syura yang menjadi tempat Rasulullah saw meminta pertimbangan dan pendapat secara teratur.

Pertanggungjawaban Pemerintah

Rasulullah saw senantiasa memeriksa para wali dan para pejabat pemerintah lainnya, serta memantau pekerjaan mereka. Beliau saw selalu mendengarkan laporan-laporan tentang aktivitas mereka. Beliau saw pernah mencopot al-‘Ala’ bin al-Hadrami dari posisinya sebagai ‘amil Bahrain, setelah utusan Abdul Qais menyampaikan pengaduan mengenai dirinya. Rasulullah saw juga memeriksa hasil pengumpulan berbagai pungutan, serta menghitung pendapatan dan pengeluarannya. Pada suatu ketika diriwayatkan bahwa beliau saw mengangkat seseorang untuk mengumpulkan zakat. Ketika laki-laki tersebut kembali dari tugasnya, ia berkata, ‘(Harta) ini kuserahkan kepadamu, sedangkan (harta) itu adalah hadiah yang diberikan kepadaku’. Mendengar keterangan ini, Rasulullah saw bersabda:

Bagaimana keadaan seseorang yang aku utus, lalu ia datang kepadaku dengan mengatakan, ‘Ini adalah (harta) untuk anda, dan ini adalah (harta) yang dihadiahkan untukku.’ (Jika memang benar itu hadiah), apakah tidak sebaiknya ia duduk saja di rumah bapak atau ibunya (menunggu), lalu apakah hadiah itu akan diberikan kepadanya atau tidak? Demi Dzat yang jiwaku ada dalam genggaman-Nya, tidak akan ia membawa sesuatu melainkan di hari kiamat nanti ia akan memikul (kesalahannya) di atas pundaknya.

Demikianlah Rasulullah saw telah menentukan struktur dan perangkat pemerintahan yang komplet untuk membantu dan memudahkan pelaksanaan pemeliharaan urusan negara. Struktur pemerintahan ini merupakan suatu perkara yang sangat penting dalam penerapan Islam sebagai pandangan hidup. Struktur semacam ini harus diikuti dan diadopsi ketika Daulah Islamiyah ditegakkan. Informasi mengenai segala detil tentang struktur dan perangkat Daulah Islam telah disampaikan dari generasi ke generasi secara tawâtur (kesaksian kolektif). Rasulullah saw sejatinya telah memegang tampuk kepemimpinan negara sejak hari-hari pertama beliau saw tiba di Madinah hingga saat wafatnya. Abu Bakar ra dan Umar bin Khaththab ra merupakan dua orang pembantunya. Para sahabat sepakat bahwa setelah wafatnya Rasulullah saw, mereka berkewajiban untuk mengangkat satu orang Khalifah yang akan menggantikan kedudukan beliau sebagai kepala negara, bukan sebagai Rasul atau Nabi, karena beliau saw adalah penutup para Nabi.

Menerapkan Syariat di tengah-tengah Masyarakat

Adalah hukum dan sistem Islam yang mewarnai kehidupan di Madinah. Allah Swt menyatakan dalam Al Qur’an:

]صِبْغَةَ اللهِ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللهِ صِبْغَةً وَنَحْنُ لَهُ عَابِدُونَ[

Shibghah Allah. Dan siapakah yang lebih baik shibghahnya dari pada Allah? Dan hanya kepada-Nya-lah kami menyembah. (TQS. al-Baqarah [2]: 138)

Wahyu yang diturunkan Allah Swt kepada Rasulullah Muhammad saw seluruhnya disampaikan kepada penduduk Madinah. Wahyu Allah Swt tersebut menjadi landasan untuk menilai segala perbuatan yang dilakukan di tengah-tengah masyarakat. Ayat-ayat al-Qur’an yang berkenaan dengan hukum pidana dan aturan sosial turun pada masa itu untuk melengkapi ayat-ayat tentang ibadah. Kewajiban zakat dan shaum ditetapkan pada tahun ke-2 Hijriyah, adzan juga mulai diperintahkan dan dibawakan oleh Bilal ra lima kali dalam sehari. Khamar dan daging babi diharamkan, serta ayat-ayat tentang hudud diturunkan. Demikian pula ayat-ayat tentang urusan muamalah juga diturunkan; riba pun kemudian diharamkan.

Tatkala sejumlah ayat diturunkan, maka Rasulullah saw akan menjelaskan kepada umat, dan mewajibkan kaum Muslim untuk menaatinya. Beliau saw menyelesaikan permasalahan yang mereka hadapi dan menghukumi perselisihan yang terjadi di antara mereka dengan tindakan-tindakannya, sabda-sabdanya, maupun dengan sikap diam yang diperlihatkan oleh beliau. Kata-kata, perbuatan, dan sikap diam yang ditunjukkan Rasulullah saw merupakan sumber-sumber hukum syariat, seperti yang dinyatakan dalam ayat al-Qur’an:

]وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى%إِنْ هُوَ إِلاَّ وَحْيٌ يُوحَى[

Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan. (TQS. an-Najm [53]: 3-4)

Hukum Pidana

Aturan-aturan mengenai hukuman (uqubat) mulai disampaikan dan diterapkan oleh Rasulullah saw. Imam Ahmad bin al-Husain bin Ali Abu Bakar al-Baihaqi dalam kitab Sunan meriwayatkan bahwa Rasulullah saw menyatakan:

Tidak seorang pun berhak menerapkan hukum yang berasal dari hudud tanpa wewenang dari negara.

Hukum-hukum yang berkaitan dengan riddah (murtad) dan hukuman bagi pezina semuanya diberlakukan oleh Rasulullah Muhammad saw.

Aturan Ekonomi

Dalam perannya sebagai seorang kepala negara, Rasulullah Muhammad saw juga mengatur aktivitas perekonomian. Diriwayatkan oleh Abu Hurairah, bahwa Rasulullah saw suatu ketika melewati pasar dan melihat seorang yang menjual makanan (kurma). Lalu beliau saw memasukkan tangannya ke dalam tumpukan kurma tersebut dan mendapati bahwa bagian bawah tumpukan tersebut basah (berair). Maka Rasulullah saw bertanya:

Apa ini, wahai pemilik makanan? Orang itu menjawab, ‘Terkena air dari langit (air hujan), ya Rasulullah’. Kemudian Rasulullah saw berkata, ‘Tidakkah seharusnya yang terkena hujan diletakkan di bagian atasnya, sehingga orang-orang bisa mengetahuinya. (Ingatlah), siapa saja yang menipu, bukan termasuk ummatku’.

Demikianlah, sebagai seorang kepala negara Rasulullah saw menunjukkan perannya sebagai pelindung hak-hak konsumen, dengan jalan menentang penipuan.

Selain itu, negara juga memungut zakat atas dasar firman Allah Swt:

]إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللهِ وَاِبْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنَ اللهِ وَاللهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ[

Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (TQS. at-Taubah [9]: 60)

Sebagai implementasi ayat di atas, maka Rasulullah saw –sebagai kepala negara– memerintahkan sejumlah aparat untuk mengumpulkan zakat dan mendistribusikannya kepada delapan golongan manusia sebagaimana yang disebutkan ayat itu.

Syari’at juga menetapkan suatu standar moneter tertentu bagi masyarakat. Syari’at menjadikan emas dan perak sebagai basis nilai tukar uang. Rasulullah saw juga menetapkan aturan untuk membedakan antara kepemilikan individu dengan kepemilikan umum. Rasulullah saw bersabda:

Manusia itu berserikat dalam tiga hal, yaitu air, padang gembalaan, dan api.

            Beliau saw juga menentukan aktivitas-aktivitas yang dihalalkan untuk mendapatkan harta, serta memberikan aturan yang berkaitan dengan hak-hak pekerja serta ijaratul ajir (hubungan kerja).

Aturan Kemasyarakatan

            Allah Swt mengharamkan khamar dan judi bersamaan dengan turunnya ayat berikut:

]يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَاْلأَنْصَابُ وَاْلأَزْلاَمُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ[

Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya khamar, berjudi, berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. (TQS. al-Maidah [5]: 90)

Mendengar ayat ini, maka kaum Muslim serentak meninggalkan kebiasaan minum khamar yang telah mendarah-daging di tengah-tengah masyarakat, baik dalam kehidupan pribadi maupun kehidupan sosial. Diriwayatkan bahwa kaum Anshar membuang persediaan khamar yang mereka miliki ke jalan-jalan, seraya berkata, ‘Ya Tuhan, kami telah menghentikannya (minum khamar)!

Sebagian besar aturan-aturan syari’at tentang kehidupan diturunkan di Madinah. Ayat-ayat tersebut berkaitan dengan muamalat (hubungan antar manusia) dan ibadat (hubungan manusia dengan Allah Swt). Yang telah dijelaskan sebelum ini hanyalah sebagian kecil di antaranya. Satu hal yang perlu dipahami benar adalah bahwa hukum-hukum Allah ini diturunkan untuk diimplementasikan ke tengah-tengah masyarakat muslim maupun non-muslim. Dengan kata lain, hukum-hukum syari’at ini menjadi hukum positif yang berlaku di seluruh negeri. Rasulullah saw selalu berusaha agar seluruh rakyat paham dengan aturan-aturan tersebut. Sebagai kepala negara, Rasulullah saw memberlakukan hukum syari’at di tengah-tengah masyarakat, dan menjadikannya sebagai standar perbuatan sehari-hari bagi seluruh anggota masyarakat. Sistem pemerintahan yang beliau saw tetapkan merupakan perkara penting untuk mengatur pemberlakuan hukum-hukum syari’at tersebut.

Adalah kaum Muslim yang mempraktekkan Islam di tengah masyarakat yang menjadikan Islam menjadi pandangan hidup. Jika kita membandingkan keadaan saat itu dengan situasi kaum Muslim saat ini, maka sulit bagi kita untuk mengatakan bahwa kita hidup dalam masyarakat yang berpandangan hidup Islam atau masyarakat Islam. Karena, hukum yang berlaku di negeri-negeri kaum Muslim saat ini adalah hukum-hukum yang bukan berasal dari ketentuan Syâri’; sementara sistem pemerintahan yang mereka anut diperoleh dari sistem pemerintahan demokrasi dari Barat. Menjadi suatu perkara yang lazim, ketika kaum Muslim melaksanakan sejumlah aturan Islam di tengah-tengah masyarakat yang berpedoman pada hukum-hukum kufur dan sistem pemerintahan yang tidak Islami.

Oleh sebab itu, tegaknya sebuah Daulah Islamiyah yang akan menerapkan hukum-hukum syari’at secara menyeluruh (kâffah) merupakan suatu perkara mendasar yang wajib direalisir agar kaum Muslim dapat hidup dalam masyarakat Islam. Sirah Rasulullah saw menunjukkan bahwa masyarakat Islam –yaitu masyarakat yang berpedoman pada ideologi Islam– tidak akan dapat diwujudkan kecuali dengan tegaknya Daulah Islamiyah.

SERUAN MENUJU ISLAM

Menyerukan Islam ke tengah-tengah masyarakat merupakan salah satu tugas utama yang dibebankan ke pundak umat Islam sebagai satu kesatuan. Kaum Muslim diperintahkan untuk menyebarluaskan Islam dan meninggikan Islam di antara agama-agama dan ideologi lainnya. Aktivitas dakwah ini bukanlah pekerjaan misionaris yang bersifat individual; tujuan dakwah –yakni kemuliaan Islam– juga tidak akan dapat diraih bila dilakukan hanya melalui upaya-upaya individual, tanpa melibatkan peran serta negara. Sunnah Rasulullah saw ketika berada di Madinah memperlihatkan suatu gambaran yang menyeluruh tentang metode dakwah untuk meraih tujuan tersebut.

Allah Swt berfirman dalam al-Qur’an:

]هُوَ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدَى وَدِينِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ وَلَوْ كَرِهَ الْمُشْرِكُونَ[

Dialah yang telah mengutus RasulNya (yang membawa) petunjuk dan agama yang benar untuk dimenangkanNya atas segala agama, walaupun orang-orang musyrikin tidak menyukai. (TQS. at-Taubah [9]: 33)

Dalam salah satu haditsnya, Rasulullah saw bersabda:

Allah akan menghimpun seluruh dunia hingga aku bisa melihat bagian Timurnya dan bagian Baratnya. Dan Allah akan menjadikan kekuasaan umatku atas seluruh dunia. (HR. Muslim)

Din al-Islam diturunkan ke dunia untuk mengungguli semua pandangan hidup yang ada serta untuk menguasai seluruh dunia. Rasulullah saw telah menyelesaikan perintah Allah Swt untuk menyebarluaskan Islam dan menyampaikannya ke seluruh penjuru dunia dengan metode dan cara yang paling baik menurut ukuran manusia. Teladan yang diberikan oleh beliau saw teramat jelas. Dalam tiga belas tahun pertama masa ke-Nabiannya, beliau saw memperoleh keberhasilan dalam berdakwah secara individual –dari satu individu kepada individu lainnya– dan kemudian secara berjama’ah –dari satu kelompok kepada masyarakat yang lebih luas. Namun keberhasilan utama dakwah Islam kepada umat manusia terjadi ketika beliau saw menyerukan Islam dari sebuah negara kepada negara-negara lainnya.

Tahapan dakwah Rasulullah saw pada periode Madinah dicirikan dengan adanya keinginan Daulah Islamiyah untuk meraih kekuasaan yang lebih besar. Kita akan melihat, bagaimana Rasulullah saw berupaya mencapai tujuan ini melalui serangkaian tindakan yang konsisten. Rangkaian aktivitas tersebut beliau saw lakukan dalam kapasitas beliau sebagai pemimpin Daulah Islamiyah. Beberapa aktivitas yang menjadi kunci keberhasilan dakwah Rasulullah saw dalam periode ini adalah pengiriman pasukan bersenjata, perundingan damai, dan pengiriman misi-misi diplomatik ke negara-negara lain.

Ketika Rasulullah saw berhijrah ke Madinah, setelah tiga belas tahun berdakwah di Makkah, beliau saw mengajak serta sekitar seratus orang Muslim. Tetapi ketika beliau saw kembali untuk membebaskan kota Makkah, delapan tahun kemudian, Rasulullah saw mengajak serta sepuluh ribu orang Muslim; dan kemudian seluruh penduduk Makkah pun masuk Islam. Demikianlah contoh penyebarluasan Islam melalui dakwah, diplomasi, dan jihad. Ketiga metode inilah yang menjadi landasan bagi kita, kaum Muslimin, untuk melanjutkan tugas menyebarluaskan rahmat Islam kepada seluruh umat manusia, serta untuk mengakhiri segala bentuk kezhaliman di muka bumi.

Allah Swt berfirman:

]وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلاَّ رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ[

Dan tiadalah Kami mengutus engkau, melainkan sebagai rahmat bagi semesta alam. (TQS. al-Anbiya [21]: 107)

]وَقَاتِلُوهُمْ حَتَّى لاَ تَكُونَ فِتْنَةٌ وَيَكُونَ الدِّينُ ِللهِ فَإِنِ انْتَهَوْا فَلاَ عُدْوَانَ إِلاَّ عَلَى الظَّالِمِينَ[

Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) agama itu semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari memusuhi agama kamu), maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zalim. (TQS. al-Baqarah [2]: 193)

]وَقَاتِلُوهُمْ حَتَّى لاَ تَكُونَ فِتْنَةٌ وَيَكُونَ الدِّينُ كُلُّهُ ِللهِ فَإِنِ انْتَهَوْا فَإِنَّ اللهَ بِمَا يَعْمَلُونَ بَصِيرٌ[

Dan perangilah mereka, supaya jangan ada fitnah dan supaya agama itu semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari kekafiran), maka sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang mereka kerjakan. (TQS. al-Anfal [8]: 39)

Ayat-ayat al-Qur’an di atas, dan masih banyak ayat-ayat lain yang senada, ditujukan tidak hanya kepada Rasulullah dan para sahabat, tetapi kepada seluruh kaum Muslim hingga zaman sekarang, bahkan hingga akhir zaman. Dengan ayat-ayat tersebut, Allah Swt mewajibkan seluruh kaum Muslim untuk berjuang menyampaikan risalah ini. Hanya dengan penerapan sistem Islam di tengah-tengah umat manusia, mereka akan dapat melihat dengan mata kepala mereka sendiri rahmat dan keadilan yang dibawa Islam; dan dengan demikian umat manusia diarahkan untuk menyaksikan kebenaran.

Meski idtak seorang pun boleh dipaksa untuk masuk Islam, tetapi penggunaan kekuatan fisik, peperangan, maupun konflik bersenjata memang diperintahkan Allah Swt untuk menegakkan hukum-hukum Islam, sampai umat manusia mau menerima Islam secara sukarela atau bersedia membayar jizyah –yaitu pungutan dalam jumlah tertentu bagi kaum non-Muslim yang berkemampuan. Dengan demikian mereka menjadi warganegara non-Muslim dalam Daulah Islamiyah. Berikut ini adalah sejumlah dalil yang menjadi landasan pemikiran tersebut:

Sesungguhnya aku diperintahkan (Allah) untuk memerangi manusia sampai mereka mengucapkan Lâ ilâha illa Allah wa anna Muhammadur Rasulullah, melaksanakan shalat, dan membayar zakat. Apabila mereka telah melakukannya (masuk Islam atau tunduk kepada aturan Islam) maka terpelihara dariku darah-darah mereka, harta-harta mereka kecuali dengan jalan yang hak. Dan hisabnya terserah kepada Allah. (HR. Bukhari)

Tidak ada paksaan untuk (masuk) agama (Islam). (TQS. al-Baqarah [2]: 256)

]قَاتِلُوا الَّذِينَ لاَ يُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَلاَ بِالْيَوْمِ اْلآخِرِ وَلاَ يُحَرِّمُونَ مَا حَرَّمَ اللهُ وَرَسُولُهُ وَلاَ يَدِينُونَ دِينَ الْحَقِّ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حَتَّى يُعْطُوا الْجِزْيَةَ عَنْ يَدٍ وَهُمْ صَاغِرُونَ[

Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula beriman) kepada hari kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu agama orang-orang) yang diberikan al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk. (TQS. at-Taubah [9]: 29)


Kebijakan Luar Negeri Daulah Rasulullah saw

Dari riwayat kehidupan Rasulullah saw, kita bisa mengetahui sejauh mana upaya Rasulullah saw beserta para sahabat dalam melaksanakan kewajibannya. Ibnu Katsir dalam kitabnya, Ghazwat ar-Rasul, meriwayatkan bahwa Rasulullah saw terlibat dalam sembilan belas kali peperangan, sebelas di antaranya peperangan yang dipimpin sendiri oleh beliau saw. Jumlah ini belum termasuk berbagai peperangan yang dilancarkan Rasulullah saw di bawah komando para sahabat.

Pertempuran fisik, penyebarluasan Islam, serta upaya-upaya pertahanan diri yang dilakukan oleh kaum Muslim dimulai sejak abad pertama hijriah. Beliau saw mengirim paling sedikit delapan misi intelejen dan ekspedisi militer sebelum perang Badar al-Kubra. Beliau saw memimpin sendiri beberapa di antaranya. Tujuan masing-masing misi tersebut berbeda-beda, seperti melakukan pengintaian, menjalin aliansi, memberi ancaman, atau melakukan serangkaian penyergapan terhadap kafilah-kafilah dagang suku Quraisy. Kelompok Saif al-Bahr (pada bulan Ramadhan 1 H) pernah menyaksikan persiapan perang pasukan Quraisy, namun tidak ada konflik yang terjadi. Demikian pula yang terjadi di Bathnu Rabigh (Syawwal 1 H) dan Saffan (Rabi’ul Awwal 2 H). Semasa Perang al-Abwa’, delegasi yang dipimpin sendiri oleh Rasulullah saw menyepakati perjanjian damai dengan suku Bani Dhamrah. Namun perjanjian damai ini tidak banyak berarti pada saat Perang Badar, karena tidak dapat digunakan untuk mencegah niat suku-suku yang memiliki potensi untuk bersekutu dengan kaum musyrik Makkah. Kelompok Nakhlah (pada bulan Rajab 2 M) menjadi kelompok pertama dari kalangan kaum Muslim yang membunuh musuh mereka –di jalan Allah Swt– di bawah kepemimpinan Abdullah bin Jahsy ra.

Kaum Muslim dari kalangan Muhajirin lebih banyak mengepalai misi-misi tersebut. Pergumulan politik yang keras dan dahsyat telah mereka alami pada saat di Makkah, namun pada waktu itu tidak ada izin bagi mereka untuk melakukan perlawanan. Dan sekarang mereka melakukan persiapan perang untuk pertama kalinya. Persiapan tersebut segera dilakukan begitu turun izin dari Allah Swt kepada kaum Muslim untuk berperang.

Dari gambaran mengenai misi-misi militer yang dilakukan kaum Muslim di atas, harus dapat dipahami bahwa sejak awal mula sejarah Negara Madinah yang kecil dan lemah tersebut, Rasulullah saw tidak pernah bermaksud untuk sekedar mencari perlindungan di Madinah. Beliau saw melakukan aktivitas thalabun nushrah semata-mata untuk menegakkan agama ini. Maka sejak saat itu, tindakan-tindakan yang beliau saw lakukan bersifat ofensif dan progresif. Kaum Quraisy berhasil mendominasi Hijaz dalam bidang perdagangan dan pengaruh politik. Oleh sebab itu, aksi-aksi penyerangan terhadap iring-iringan kafilah dagang mereka memperlihatkan adanya keinginan kaum Muslim untuk menentang dominasi tersebut.

Segala bentuk manuver dan misi intelejen tersebut pada akhirnya bermuara pada Perang Badar al-Kubra. Telah sampai informasi ke telinga penduduk Madinah tentang kafilah dagang Quraisy yang membawa harta kekayaan yang sangat banyak. Sektor perdagangan merupakan mata pencaharian utama orang-orang Quraisy. Oleh sebab itu mereka merasa kepentingannya terancam oleh provokasi yang terus menerus dilakukan oleh kaum Muslim. Tahun sebelumnya, Rasulullah saw juga memerintahkan al-Ushairah untuk melakukan penyergapan terhadap kafilah dagang yang sama; dan hampir saja kafilah dagang Quraisy itu berhasil dilumpuhkan. Kali ini, Rasulullah saw berusaha melakukan penyergapan kafilah ini bersama sekitar 300 orang pengikutnya.

Jumlah pasukan Rasulullah saw ini terhitung cukup banyak dibandingkan dengan pasukan yang dikirim pada misi-misi sebelumnya. Mendengar informasi bahwa Rasulullah saw mengirimkan pasukan untuk menghadang kafilah dagang mereka, orang-orang Quraisy pun segera menyiapkan kekuatan. Sekalipun kekuatan pasukan Quraisy mencapai jumlah 1000 orang –tiga kali lipat jumlah pasukan Muslim– tetapi Rasulullah saw dan pasukan Muslim tidak merasa gentar. Demikianlah, kekuatan kedua kubu itu tidaklah seimbang, namun wahyu yang sampai kepada Rasulullah saw sudah sangat gamblang; yaitu bahwa pasukan Islam akan melawan dominasi kaum musyrik Quraisy, apa pun taruhannya. Tanpa sedikit pun keraguan, kaum Muslim berperang. Mereka berpegang pada satu pedoman, yaitu bahwa Allah Swt adalah satu-satunya pihak yang akan memberikan kemenangan.

Peristiwa Perang Badar al-Kubra menyajikan contoh sejauh mana keteguhan tekad Rasulullah saw dan para sahabat untuk menunjukkan Islam sebagai kekuatan tandingan. Kaum Muslim keluar untuk menghadang kafilah dagang Quraisy. Ketika sampai di lembah Dafran, mereka mendengar informasi bahwa pasukan Quraisy datang untuk mempertahankan kafilah dagang mereka.

Mendengar informasi tersebut, Rasulullah saw meminta pendapat para sahabatnya mengenai langkah yang sebaiknya diambil. Pertama-tama beliau saw meminta pendapat kalangan Muhajirin tentang kemungkinan terjadinya konfrontasi dengan orang-orang Quraisy. Para sahabat dari kalangan Muhajirin menjawab bahwa mereka siap mendukung Rasulullah saw apabila beliau saw menghendaki. Kemudian Rasulullah saw meminta pendapat para sahabat dari kalangan Anshar, dan ternyata mereka pun siap memberikan dukungan terhadap apa pun keputusan Rasulullah saw, termasuk bila beliau saw menghendaki peperangan. Tanggapan ini menyenangkan hati Rasulullah saw.

Manakala mereka menyadari bahwa pasukan kafir Quraisy unggul dalam segi jumlah hingga mencapai rasio tiga banding satu, maka Nabi saw hanya memperingatkan pasukan Muslim agar memperkuat tekad mereka. Tidak ada di antara pasukan Muslim yang ingin mengundurkan diri. Setelah sampai di sumur Badar, mereka menempatkan diri di tempat-tempat tertentu untuk membuat pasukan musuh kekurangan air.

Peperangan dimulai oleh Hamzah ra ketika berusaha menghalangi Aswad bin Abdul Asad yang mencoba merusak kolam-kolam air yang dibuat oleh tentara Islam. Hamzah ra menyerang dengan pukulan yang kuat hingga menyebabkan putus kedua kaki Aswad, dan pukulah Hamzah berikutnya membuat nyawa Aswad melayang. Terbunuhnya Aswad bin Abdul Asad membuat Utbah bin Rabiah marah. Kemudian Utbah bersama saudaranya, Syaibah dan anaknya, Walid maju ke depan barisan untuk menantang pasukan Muslim. Tantangan itu dilayani oleh Hamzah ra, Ali ra, dan Ubaidah ra, hingga pada akhirnya ketiga jawara Quraisy tersebut mati. Setelah perang tanding itu selesai, maka kedua pasukan itu pun bertempur habis-habisan. Rasulullah saw memungut segenggam pasir kemudian ditaburkan di hadapan pasukan musuh sembari mengucapkan, ‘Hancurlah wajah-wajah mereka!!’ Peperangan pun dimulai, hingga banyak pemuka Quraisy yang mati terbunuh. Akhirnya Allah Swt menganugerahkan kemenangan kepada kaum Muslim.

Langkah Berikutnya untuk Menentang Dominasi Quraisy di Hijaz

Kemenangan kaum Muslim dalam Perang Badar membuat orang-orang Quraisy semakin menyadari besarnya tantangan dari Daulah Islamiyah yang baru berdiri ini. Mimpi buruk yang selama ini mereka bayangkan mulai menampakkan wujudnya. Sebelum hijrah pun mereka sudah merasakan ancaman itu, sehingga mereka berupaya keras menghalangi langkah-langkah Rasulullah saw untuk mendapatkan dukungan kekuatan. Kekuasaan mereka di wilayah tersebut telah terancam; kepentingan perdagangan mereka pun terancam. Maka mereka pun melancarkan Perang Uhud dan Perang Ahzab terhadap kaum Muslim. Di antara saat-saat perang besar itu, orang-orang Quraisy, kaum Yahudi, dan suku-suku lainnya, seperti Bani Tsa’labah dan Bani Muharib terus-menerus berupaya menentang munculnya pengaruh Daulah Islamiyah.

Di medan perang Uhud, kaum Muslim sebenarnya telah menguasai pertempuran, sedangkan pasukan Quraisy mulai menarik mundur pasukannya. Sekelompok pemanah ditempatkan secara strategis di lereng-lereng bukit untuk melindungi sayap pasukan Muslim. Tetapi kemudian pasukan panah itu meninggalkan posnya dan melanggar perintah Rasulullah saw untuk bertahan di lereng perbukitan. Pelanggaran ini membuat pertahanan belakang pasukan Muslim menjadi longgar, sehingga pasukan kavaleri orang-orang Quraisy di bawah pimpinan Khalid bin Walid –yang ketika itu masih kafir– berkesempatan menusuk pasukan Muslim dari belakang. Mereka berusaha keras menyerang Rasulullah saw, sehingga sebagian pasukan Muslim mengira bahwa Nabi saw telah wafat. Mushab bin Umair ra terus berusaha merapatkan barisan pasukan Muslim yang kacau balau sampai akhirnya beliau syahid. Hamzah ra pun syahid. Kaum Muslim telah kehilangan pembawa râyah (panji-panji kaum Muslim) dan ‘Singa Allah’. Namun demikian, Rasulullah saw tidak membiarkan orang-orang Quraisy memenangkan peperangan. Pasukan Muslim dengan gagah berani terus memberikan perlawanan, hingga akhirnya dengan pertolongan Allah Swt mereka berhasil membuat pasukan musyrik mundur. Dalam sejumlah riwayat bahkan disebutkan bahwa pasukan Muslim mampu mengusir pasukan Quraisy hingga delapan mil dari Uhud, yaitu sampai daerah Hamra’ al-Asad.

Akibat dari upaya perlawanan yang gagah berani dan penyusunan kembali pasukan yang telah tercerai-berai itu adalah kembalinya semangat kaum Muslim untuk berjaya, keengganan mereka terperosok dalam kesulitan yang sama, serta kewaspadaan mereka agar tidak lagi terjadi kekeliruan dalam perjuangan.

Orang-orang Quraisy, yang semakin merasa khawatir akan kehilangan kekuasaan, mulai menjalin aliansi dengan suku-suku lainnya untuk bersama-sama memerangi kaum Muslim pada Perang Ahzab. Salah satu sekutu mereka adalah kabilah Yahudi Bani Quraizhah, yang juga juga ikut serta menandatangani Piagam Shahifah di Madinah. Sebelum pecah perang, Rasulullah saw pernah mengutus Sa’ad bin Mu’adz ra untuk memperoleh jaminan dukungan dari mereka. Karena, sebelum peristiwa hijrah, kabilah tersebut mempunyai hubungan yang sangat baik dengan orang-orang Aus.

Dalam rangka mempersiapkan pertempuran, Rasulullah saw berusaha membangun parit pertahanan yang merupakan suatu bentuk strategi militer baru di kawasan Hijaz. Beliau saw juga mengirimkan mata-mata ke tengah-tengah perkemahan musuh dan melakukan penyesatan opini di tengah-tengah musuh untuk melemahkan semangat mereka. Sementara itu, orang-orang Quraisy mendapati kenyataan bahwa parit yang dibangun kaum Muslim itu sulit untuk dilalui. Ketika mereka tengah berpikir tentang bagaimana cara menyeberangi parit tersebut, Allah Swt mendatangkan angin topan yang amat hebat ke arah perkemahan musuh, sehingga orang-orang Quraisy meninggalkan kemah-kemah mereka; sedangkan para sekutu mereka pun tercerai-berai.

Tidak lama setelah Perang Ahzab, kaum Muslim mendapat perintah dari Rasulullah saw untuk mendatangi perkampungan Bani Quraizhah, dalam rangka menindak tegas kabilah pengkhianat yang telah melanggar perjanjian mereka dengan Daulah Islamiyah. Sikap ini pun menunjukkan bahwa Rasulullah saw tidak mau melanjutkan kerjasama dengan musuh, yang merencanakan dan melakukan makar bersama musuh-musuh yang lain untuk menusuk kaum Muslim dari belakang. Bani Quraizhah pun dihukum dan mendapatkan vonis hukuman. Para laki-laki dari kalangan mereka dihukum penggal, harta bendanya dibagi-bagi di kalangan kaum Muslim, sedangkan para wanita dan anak-anak dijadikan sabaya. Vonis tersebut dijatuhkan oleh Sa’ad bin Mu’adz sesuai ketentuan Allah Swt. Demikianlah, tidak ada satu pun kekuatan yang dibiarkan berkembang menjadi ancaman bagi Daulah Islamiyah. Hukuman berat yang dijatuhkan kepada Bani Quraizhah merupakan peringatan keras bagi pihak-pihak lain yang hendak mengancam Daulah Islamiyah.

Diplomasi dan Jihad: Dua Mata Pedang untuk Menyebarluaskan Islam

Pengiriman pasukan dan berbagai penyerangan terus berlanjut; demikian pula misi-misi diplomatik yang diperintahkan Rasulullah saw. Pada bulan Sya’ban 6 Hijriah, Rasulullah saw mengutus sekelompok Muslim di bawah kepemimpinan Abdurrahman bin Auf dengan perintah untuk menikahi anak pimpinan Bani Kalb apabila mereka mau memeluk Islam; tetapi andaikata mereka tidak mau memeluk Islam, maka kelompok tersebut bertugas melaksanakan beberapa hal tertentu yang merupakan aturan Islam sebelum melakukan penyerangan, yaitu mengajak mereka untuk masuk Islam, atau (bila tidak mau) tetap dibiarkan sebagai non-Muslim yang tunduk pada aturan Daulah Islamiyah (ahlu dzimmah). Dan jika mereka tetap menolak kedua tawaran tersebut, dan memilih terus istiqamah dalam pandangan hidup yang jahiliyah, kufur, dan zhalim, maka harus digunakan kekuatan militer untuk menghilangkan berbagai rintangan, sehingga keadilan Islam dapat diimplementasikan kepada mereka. Kekuatan militer tersebut diatur secara ketat oleh aturan-aturan syariat, seperti larangan melukai wanita, anak-anak, dan orang-orang yang sudah tua. Bahkan pasukan Muslim tidak diperkenankan memotong pohon-pohonan. Mereka juga tidak diperkenankan memotong-motong mayat musuh, atau bertindak zhalim terhadap tawanan perang.

Langkah-langkah diplomatik dengan tujuan untuk memperluas kekuasaan juga pernah dilakukan Rasulullah saw pada saat menjelang perjanjian Hudaibiyah di tahun ke-6 Hijriyah. Pada waktu itu, orang-orang Quraisy tengah berencana untuk menjalin aliansi dengan kabilah Yahudi di Khaibar. Atas petunjuk wahyu, Rasulullah saw beserta para sahabat hendak berkunjung ke Makkah. Mereka mempersiapkan diri pada bulan Dzulqaidah untuk melakukan ibadah haji. Rasulullah saw sengaja membiarkan kegiatan persiapan haji kaum Muslim tersebut diketahui orang-orang dari suku-suku yang netral, seperti Budail bin Warqa dari Bani Khuza’ah, dan Urwah bin Mas’ud dari Bani Tsaqif.

Upaya orang-orang Quraisy untuk menghalang-halangi kedatangan Rasulullah saw justru membuat kredibilitas mereka di mata orang-orang Arab jatuh. Karena di mata orang-orang awam, rombongan kaum Muslim itu hanya merupakan sekelompok peziarah yang bermaksud menjalankan umrah. Oleh karena itu orang-orang Quraisy itu terpaksa maju ke meja perundingan untuk membuat sebuah perjanjian yang sebetulnya tidak mereka kehendaki.

Maka, Rasulullah saw dan para pemuka Quraisy kemudian menyusun sebuah perjanjian yang berisi kesepakatan gencatan senjata terbatas. Dengan perjanjian itu –yang dikenal dengan perjanjian Hudaibiyah– orang-orang Quraisy tidak diperbolehkan menyerang Daulah Islamiyah, tidak boleh menjalin aliansi dengan kabilah lain untuk menyerang Daulah Islamiyah, serta mengizinkan kaum Muslim untuk melakukan ibadah haji pada tahun depan. Klausul terakhir ini sama saja memberi kesempatan kaum Muslimin untuk berdakwah. Perjanjian tersebut juga memperbolehkan kaum Muslim untuk mengamankan perbatasan. Perjanjian itu juga mencegah terjadinya aliansi antara kabilah Yahudi di Khaibar dengan orang-orang Quraisy. Dengan demikian, tidak akan terulang lagi serangan orang-orang kafir seperti pada Perang Ahzab.

Tidak benar pendapat yang menyatakan bahwa Perjanjian Hudaibiyah merupakan bentuk kompromi yang dilakukan kaum Muslim. Faktanya, perjanjian ini tidak saja menghalangi orang-orang Quraisy untuk menjalin aliansi dengan kabilah Yahudi di Khaibar, tetapi juga merupakan jalan utama menuju penaklukan kota Makkah. Perjanjian ini tanpa disadari orang-orang Quraisy telah menjebak mereka dengan larangan untuk menyerang kaum Muslim, dan membolehkan kaum Muslim untuk memperkokoh kedudukan mereka di tengah-tengah kabilah Arab lainnya. Secara implisit, perjanjian tersebut juga menunjukkan pengakuan orang-orang Quraisy atas kepemimpinan dan kekuasaan seseorang yang mereka kejar-kejar selama ini, sebagai seorang kepala negara yang memiliki pengaruh yang sebanding.

Ketika dalam perjalanan menuju Makkah, kaum Muslim sempat berhadapan dengan sekelompok pasukan yang dipimpin Khalid bin Walid. Ketika Rasulullah saw mendengar informasi ini, maka beliau saw bersabda:

Celakalah kaum Quraisy. Mereka telah dihancurkan dengan peperangan. Apa ruginya mereka bila mereka membiarkan masalah antara aku dan suku bangsa Arab lainnya? Jika mereka (bangsa Arab) membunuhku, memang itu yang mereka inginkan Dan apabila Allah memberikan kemenangan atas mereka kepadaku, mereka akan dapat masuk Islam secara bergelombang. Dan apabila mereka tidak mau (masuk Islam) mereka akan memerangiku selagi mereka kuat. Apa yang mereka (Quraisy) pikirkan? Demi Allah aku akan meneruskan jihad untuk apa yang Allah sampaikan kepadaku sampai Allah memberi kemenangan atau leherku ini terpisah.

 

Nampak jelas bahwa perjanjian ini dilatarbelakangi oleh suatu tujuan –satu-satunya tujuan– yaitu untuk meraih kemenangan Islam. Dan perjuangan ini akan mencapai klimaksnya ketika kaum musyrikin masuk Islam secara berbondong-bondong.

Akibat langsung dari perjanjian ini ada dua perkara, yaitu terjadinya penaklukkan militer terhadap musuh-musuh kaum Muslim lainnya, serta pengiriman berbagai misi diplomatik ke sejumlah kepala negara asing.

Lima belas hari setelah penandatanganan Perjanjian Hudaibiyah, Rasulullah saw memberangkatkan satu resimen pasukan ke perkampungan kabilah Yahudi di Khaibar untuk memberikan serangan mendadak. Pasukan tersebut terdiri dari 1700 mujahidin yang berbaris menuju Khaibar, dan Ali bin Abi Thalib mendapat kehormatan sebagai pembawa panji-panji Islam. Imam Bukhari meriwayatkan bahwa Ali ra bersumpah akan memerangi musuh sampai mereka memeluk Islam. Rasulullah saw memberikan tanggapan dengan sabdanya:

Mudahkanlah, ajaklah mereka untuk menerima Islam, dan sampaikan kepada mereka kewajiban mereka kepada Allah. Aku bersumpah demi Allah, bila ada seorang (saja) yang mengikuti petunjukmu, maka itu lebih baik dari unta yang paling bagus.

Apa yang disampaikan Rasulullah saw ini menunjukkan dengan jelas bahwa peperangan yang akan mereka lakukan itu semata-mata bertujuan untuk memenangkan agama Allah atas agama-agama yang lain; dengan kata lain, tujuan utamanya adalah agar umat manusia bersedia memeluk agama Islam.

Kaum Muslim mengepung Khaibar sebelum mereka menggempur benteng-benteng kaum Yahudi satu demi satu dengan kekuatan penuh. Pada saat benteng terakhir berhasil direbut olah kaum Muslim, kaum Yahudi di Khaibar mengajukan permohonan damai agar diri mereka tidak dihukum bunuh oleh Rasulullah saw. Permohonan ini diluluskan oleh Rasulullah saw. Bahkan akhirnya mereka tetap diperkenankan tinggal di negeri mereka, yang kini telah jatuh ke dalam kekuasaan Daulah Islamiyah. Mereka juga mendapatkan separuh bagian dari hasil panen yang dihasilkan tanah-tanah Khaibar, sedangkan separuh lainnya menjadi milik negara. Akibat penaklukan Khaibar ini turut menyerah pula kabilah Yahudi Bani Fadak.

Setelah berhasil menaklukkan Khaibar, Rasulullah saw mulai mempersiapkan penaklukkan kabilah-kabilah Arab yang tinggal di wilayah Nejed, yang pernah bersekutu menentang Daulah Islamiyah, termasuk di antaranya kabilah Bani Ghathfan. Dengan penaklukan kabilah Yahudi di Khaibar dan kabilah Bani Ghathfan, serta keberadaan Perjanjian Hudaibiyah, maka Daulah Islamiyah berada dalam situasi yang aman dari ancaman musuh-musuhnya yang paling besar. Dengan demikian, tercipta suasana yang sempurna untuk menyebarluaskan Islam. Rasulullah saw berhasil menyingkirkan dominasi dan pengaruh kaum Yahudi di seluruh Jazirah Arab, dan kemudian dilanjutkan dengan membangun kekuasaan Islam.

Kekuasaan atas Wilayah Hijaz

Penaklukan kota Makkah terjadi pada bulan Ramadhan tahun 8 Hijriyah. Peristiwa ini diawali dengan pelanggaran Perjanjian Hudaibiyah yang dilakukan oleh kaum musyrik Quraisy. Pelanggaran itu membuat Daulah Islamiyah, yang saat itu telah memiliki kekuatan yang lebih besar dan berada dalam situasi yang lebih aman, mempunyai alasan mengirimkan pasukan untuk menyerang orang-orang Quraisy. Maka Nabi saw bersama pasukan Muslim yang berjumlah sepuluh ribu orang berbaris menuju Makkah, dan berhasil mengambil alih kota Makkah dengan mudah. Sebagian besar penduduk Makkah pun berbondong-bondong masuk Islam, meski delapan tahun yang lalu mereka adalah musuh yang paling besar, bahkan pernah berencana membunuh Rasulullah saw.

Allah Swt berfirman:

]إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللهِ وَالْفَتْحُ%وَرَأَيْتَ النَّاسَ يَدْخُلُونَ فِي دِينِ اللهِ أَفْوَاجًا%فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَاسْتَغْفِرْهُ إِنَّهُ كَانَ تَوَّابًا[

Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan, dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong, maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima taubat. (TQS. an-Nashr [110]: 1-3)

Dengan ayat di atas, Allah Swt memberikan gambaran kepada kita bagaimana metode yang harus ditempuh agar umat manusia berbondong-bondong masuk Islam. Metode yang membuat hal ini bisa terjadi adalah adanya langkah-langkah politik yang brilian melalui Perjanjian Hudaibiyah, serta kekuatan militer Daulah Islamiyah yang senantiasa melakukan ekspansi.

Penaklukan kota Makkah merupakan suatu langkah besar dalam sejarah Daulah Islamiyah. Dengan langkah ini maka perimbangan kekuatan di wilayah Hijaz perlahan namun pasti beralih ke dalam kekuasaan Daulah Islamiyah. Daulah Islamiyah menjadi kekuatan utama di Hijaz. Tidak lama setelah penaklukan Makkah, pasukan Muslim terus memperluas kekuasaan, di antaranya melalui Perang Hunain, sehingga dominasi Daulah Islamiyah mulai merambah ke seluruh wilayah Jazirah Arab.

Ekspansi ke luar Hijaz hingga ke Seluruh Dunia

Misi-misi diplomatik dikirimkan ke berbagai pimpinan negara, dengan tujuan untuk mengajak mereka kepada Islam. Misi diplomatik ini dikirimkan baik kepada kabilah-kabilah yang kecil maupun negara-negara superpower pada masa itu, yaitu kerajaan Romawi dan Persia. Ada pula utusan-utusan untuk menghadap Raja Najasy dari Habsyah; Muqauqis, Gubernur Mesir; Mundzir, penguasa Bahrain; Haudzah, penguasa Yaman; al-Harits, raja Damaskus; Ja’far, raja Oman dan saudaranya, Abdul Jalandi.

Maksud dari seruan Nabi saw kepada para penguasa itu dapat dilihat dari isi sejumlah surat yang beliau saw kirimkan. Kepada Raja Najasy, Rasulullah saw menulis:

Aku menyeru kepadamu dan bangsamu, agar menyembah Allah, yang Maha Besar dan Maha Perkasa.

Kepada Muqauqis, Nabi saw menulis:

Jika engkau menerima Islam, maka Allah yang Maha Mulia akan memberimu pahala dua kali lipat. Tetapi kalau engkau menolak, maka sesungguhnya bagi engkaulah dosa segenap rakyat Qibthi.

Kepada Kisra, Rasulullah saw menulis:

Islamlah engkau, agar engkau selamat. Jika engkau menolak, sesungguhnya atas pundakmu dosa orang-orang Majusi.

Kepada Heraklius, kaisar Romawi, Rasulullah saw menulis:

‘… jika engkau berpaling (tidak mau mengikuti Islam) maka sesungguhnya atas engkaulah dosa-dosa segenap rakyat’.

Raja Bahrain, Mundzir, menulis surat kepada Rasulullah saw, mengatakan bahwa ia telah masuk Islam; dan bahwa ia telah mengajak rakyatnya untuk masuk Islam, namun hanya sebagian di antara mereka yang menerima Islam. Maka Rasulullah saw memberikan surat balasan, yang menyatakan:

Wahai rakyat Bahrain, barangsiapa tetap dalam ke-yahudiannya atau ke-majusiannya, maka atas mereka wajib membayar jizyah.

Kepada Raja Oman, Rasulullah saw menulis:

Apabila engkau menerima Islam, maka engkau tetap dalam kedudukanmu atas negerimu. Tetapi jika engkau menolak seruanku, maka engkau harus ingat bahwa seluruh milikmu tidaklah kekal. Pasukanku akan merebut wilayahmu, dan ke-Nabianku akan menguasai kerajaanmu.

Surat-surat di atas semuanya menunjukkan metode Islam dalam menyebarluaskan agama Islam, sekaligus tujuannya. Tujuannya adalah untuk menyerukan Islam kepada para penguasa dan rakyatnya. Rasulullah saw akan merasa puas jika penguasa tersebut mau menerima Islam, sekalipun rakyat mereka tetap dalam agamanya semula. Bagi mereka yang tetap dalam agamanya diwajibkan membayar jizyah. Beliau saw juga memberikan penjelasan, bahwa bila mereka menolak kedua pilihan tersebut –yakni masuk Islam atau membayar jizyah– maka negeri mereka akan ditaklukkan.

Di antara penguasa-penguasa tersebut, ada yang bersedia masuk Islam seperti Raja Najasy dan Raja Oman. Ada pula yang menolak, seperti Heraklius Kaisar Romawi. Kepada mereka yang menolak, Rasulullah saw pun melancarkan peperangan, seperti pada Perang Mu’tah dan Perang Tabuk. Metodenya sudah gamblang, yaitu pendekatan diplomatik yang didukung penuh oleh kekuatan militer.

Perlawanan yang ditunjukkan Daulah Islamiyah kepada Kerajaan Romawi pada saat Perang Mu’tah merupakan peristiwa yang sangat monumental, melihat kenyataan bahwa kaum Muslim melawan kekuatan superpower pada masa itu. Perlawanan yang kurang lebih sama pernah ditunjukkan oleh kaum Muslim pada saat perang melawan orang-orang Quraisy di Badar. Kedua peristiwa ini memberikan pelajaran kepada kita semua, bahwa Daulah Islamiyah bertekad mengokohkan kekuasaannya di dunia, hingga tidak ada satu pun kekuatan lain yang mampu menandinginya.

Rasulullah saw mulai melakukan pengamatan terhadap aktivitas politik dan militer Kerajaan Romawi tidak lama setelah kembalinya utusan beliau saw dari sana. Pertama-tama beliau saw melakukan operasi intelejen dalam rangka mengumpulkan informasi, kemudian mengirimkan sebuah pasukan yang berkekuatan 3000 mujahidin menuju Syam. Pasukan tersebut dipersiapkan untuk melakukan serangan ofensif, dan mendapat perintah khusus untuk tidak melukai para wanita, anak-anak, dan bahkan dilarang memotong pepohonan. Ini menunjukkan bahwa pasukan itu tidak dikirim untuk menghancurkan, tetapi untuk menyebarluaskan Islam.

Sekalipun kekuatan kedua belah pasukan sama sekali tidak seimbang –3000 pasukan Muslim berhadapan dengan 100.000 pasukan Romawi di Mu’tah– namun hal ini tidak menghalangi niat pasukan Muslim dari misi mereka. Meskipun mereka harus berperang dengan dahsyat, hingga mengakibatkan ketiga panglima mereka –Zaid bin Haritsah ra, Ja’far bin Abi Thalib ra, dan Abdullah bin Rawahah ra– syahid, namun mereka tidak surut ke belakang. Di bawah kepemimpinan panglima yang keempat –Khalid bin Walid ra– pasukan Muslim berhasil merapatkan barisan dan melakukan manuver-manuver khusus, sehingga berhasil memaksa pasukan musuh mundur. Khalid bin Walid memanfaatkan peluang ini untuk menarik mundur pasukan Muslim. Perang Mu’tah antara pasukan Muslim yang tidak seberapa besar jumlahnya melawan pasukan negara superpower Romawi yang berlipat-lipat banyaknya, namun kemudian diakhiri dengan mundurnya pasukan Romawi dari medan pertempuran ini, membuat reputasi pasukan Daulah Islamiyah menjadi sangat terkenal. Reputasi ini semakin menguat di masa-masa setelah itu.

Tatkala Rasulullah saw mengirimkan pasukan ke Tabuk, yaitu suatu tempat di perbatasan Kerajaan Romawi, beberapa tahun kemudian, beliau saw sengaja mempersiapkan pasukan yang sangat besar dan bersenjata lengkap. Dengan reputasi sebagai pasukan yang tak terkalahkan dan memiliki tujuan tunggal yang jelas, pasukan yang didukung penuh oleh seluruh kekuatan Daulah Islamiyah tersebut berhasil memaksa mundur pasukan Romawi tanpa peperangan. Dengan peristiwa Perang Tabuk ini, jelas sudah alternatif yang diberikan Islam kepada seluruh penguasa di dunia, yakni masuk Islam atau bersiap menghadapi ekspansi pasukan Islam.

Begitu Islam tersebar luas ke seluruh penjuru Jazirah Arab, dan rintangan-rintangan fisik terhadap dakwah Islam berhasil disingkirkan, maka secara bergelombang orang-orang bersedia menerima seruan Islam. Kejadian ini menjadi muara dari dominasi Islam atas seluruh wilayah Jazirah Arab.

Untuk tahap berikutnya, Rasulullah saw melihat pentingnya menyebarkan Islam ke luar perbatasan Jazirah Arab. Bahkan perintah terakhir yang diberikan Rasulullah saw, sebelum beliau saw menghembuskan nafas terakhirnya, adalah pengangkatan Usamah bin Zaid ra sebagai Amir al-Jihad melawan pasukan Romawi. Perintah jihad ini pula yang menjadi perintah pertama Khalifah Abu Bakar ra, karena pasukan tidak bisa diberangkatkan tanpa adanya perintah seorang penguasa. Misi pasukan itu tidak lain adalah melanjutkan penyerangan terhadap Romawi, hingga berhasil meraih dominasi global.

Para Khulafa ar-Rasyidin terus melanjutkan ekspansi Daulah Islamiyah ke seluruh penjuru dunia, tanpa memandang batas-batas wilayah, hingga ke Persia, Eropa, dan Afrika.

Demikianlah kita dapat melihat bahwa jihad untuk menyebarluaskan Islam ke seluruh dunia merupakan tugas sebuah negara. Dengan kata lain, jihad bisa dilaksanakan bila ada perintah dari pemimpin Daulah, dimulai dari Rasulullah saw dan dilanjutkan oleh para Khalifah (pengganti) Rasulullah saw.

Tidak ada keraguan lagi bagi kaum Muslim bahwa semasa periode Madinah, Rasulullah saw telah memberikan suatu metode (thariqah) yang jelas untuk menyebarluaskan dan melindungi Islam. Metode itu sesuai dengan perintah Allah Swt; dan sunnah Rasulullah saw menjadi satu-satunya landasan yang harus kita ikuti. Sebagai kesimpulan, Islam harus disebarluaskan oleh Daulah Islamiyah; yakni melalui berbagai seruan menuju Islam; seruan untuk hidup di bawah naungan Islam dengan kewajiban membayar jizyah; dan penggunaan kekuatan militer untuk menyingkirkan segala bentuk rintangan yang boleh jadi menghalangi pemberlakuan sistem pemerintahan Islam atas wilayah dan penduduk yang tinggal di wilayah tersebut.

Para Khulafa ar-Rasyidin pun melanjutkan misi tersebut, hingga mereka berhasil meraih keberhasilan yang sangat besar. Pada akhirnya, dunia melihat bagaimana Islam tersebar semakin luas dan semakin jauh. Namun, ekspansi tersebut harus terus berlanjut, hingga terpenuhi hadits Rasulullah saw:

Allah akan menghimpun seluruh dunia hingga aku bisa melihat bagian Timurnya dan bagian Baratnya. Dan Allah akan menjadikan kekuasaan umatku atas seluruh dunia. (HR. Muslim)

Maksudnya adalah bahwa dakwah dan jihad harus terus berlangsung hingga kekuasaan Islam meliputi seluruh dunia.

PERISTIWA DI SAQIFAH BANI SA’IDAH

Kaum Muslim sekarang ini tengah berada pada titik kritis dalam sejarah mereka, dimana berbagai macam peristiwa genting berurat dan berakar di tengah-tengah umat. Dalam keadaan seperti ini, kaum Muslim harus dapat menentukan urutan prioritas yang mesti diselesaikan terlebih dahulu. Permasalahan apa yang harus menjadi fokus perhatian kaum Muslim? Perkara apa yang mesti dihadapi umat Islam dengan sepenuh kekuatan? Yang lebih penting lagi, perkara apa yang paling penting, yang dituntut Allah Swt dari diri kita?

Aturan-aturan syari’at yang berlandaskan pada akidah Islam telah memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan di atas. Dengan landasan pemikiran inilah, kaum Muslim harus memusatkan perhatian dan memahami berbagai peristiwa yang terjadi pada saat-saat penting setelah meninggalnya Rasulullah saw. Diskusi yang terjadi di kalangan generasi Muslim yang paling baik, yaitu para sahabat, serta keputusan yang mereka hasilkan akan memberikan jawaban terhadap berbagai permasalahan yang kita hadapi sekarang ini.

Wafatnya Rasulullah Muhammad saw

Rasulullah saw wafat pada hari Senin, 12 Rabi’ul Awwal. Berita wafatnya Rasulullah saw tidak pelak lagi menyebabkan kegemparan di kalangan kaum Muslim. Anas meriwayatkan, ‘Aku belum pernah menyaksikan suatu hari yang lebih baik atau lebih cerah dibandingkan dengan hari dimana Rasulullah saw datang kepada kami; dan aku juga belum pernah menyaksikan hari yang lebih buruk atau lebih kelabu daripada hari dimana Rasulullah saw wafat’.

Setelah Rasulullah saw wafat, masalah genting yang dihadapi umat Islam adalah siapa yang akan dipilih untuk menggantikan kedudukan beliau saw sebagai pimpinan pemerintahan. Kaum Anshar mengadakan sebuah pertemuan di antara mereka di Saqifah Bani Saidah untuk mendiskusikan siapa yang akan menggantikan kedudukan Rasulullah saw sebagai kepala negara. Mendengar informasi bahwa tidak ada perwakilan kaum Muhajirin yang ikut serta, maka Abu Bakar ra, Umar ra, dan Abu Ubaidah ra bergegas mendatangi pertemuan tersebut. Terjadi perdebatan yang sengit di antara mereka dan kalangan Anshar. Kaum Anshar berpendapat bahwa mereka adalah bagian terbesar penduduk Madinah dan kaum yang menolong agama Allah, sehingga lebih berhak atas kepemimpinan tersebut. Kemudian Abu Bakar ra memberikan tanggapan atas pernyataan kaum Anshar tersebut. Beliau mengatakan bahwa masalah pemilihan seorang Khalifah pengganti Rasulullah saw dan pemimpin umat merupakan masalah yang genting, yang bisa jadi mendatangkan kemudharatan, khususnya bagi bangsa-bangsa Arab yang belum terbiasa tunduk kepada kabilah lain, selain kepada suku Quraisy –yang menjadi penguasa di Makkah. Oleh karena itu kaum Muhajirin berpendapat bahwa pemimpin yang dipilih sebaiknya berasal dari orang Quraisy.

Kaum Muhajirin berusaha mengakhiri pertemuan sebelum dicapai kesepakatan, dengan maksud agar masalah ini diserahkan sepenuhnya kepada seluruh kaum Muslim. Tetapi, salah seorang pemuka Anshar, Hubab bin Mundzir bin al-Jamuh, ketika melihat bahwa semua orang sepakat dengan usulan Abu Bakar dan bahwa pertemuan itu akan diakhiri tanpa proses bai’at kepada seorang Khalifah dari kalangan Anshar, segera berdiri dan berkata, ‘Wahai kaum Anshar, kalian harus memegang urusan kalian dengan orang-orang yang ada dalam kabilah kalian. Sebab, tak seorang pun yang berani menentang kalian. Orang-orang tidak akan sekali-kali mengeluarkan pendapat selain mengikuti pandangan kalian. Kalian adalah kaum yang terhormat dan berpengaruh. Jumlah kalian banyak dan memiliki keteguhan, pengalaman, keuletan, dan suka menolong kaum lain. Bangsa-bangsa lain selalu memperhatikan apa yang kalian lakukan. Janganlah saling berselisih pendapat sehingga suara kalian terpecah, lalu urusan kalian ini menjadi lemah. Jangan hiraukan mereka, selain dari apa yang telah kalian dengarkan ini. Kitalah yang berhak menjadi pemimpin dan bukan dari kalangan mereka’.

Begitu Hubab bin Mundzir selesai berbicara, Umar bin Khaththab berdiri dan berkata, ‘Tidak mungkin ada dua pemimpin dalam satu kurun waktu. Demi Allah, orang-orang Arab tidak akan ridha untuk menyerahkan kepemimpinan kepada kalian, padahal sudah jelas bahwa Nabi saw tidak berasal dari kalangan kalian. Namun orang-orang Arab tidak berkeberatan menyerahkan urusan mereka kepada orang-orang yang sukunya menurunkan kenabian. Maka kami berhak untuk mengurusi urusan ini atas orang-orang yang mengabaikan argumentasi yang jelas, serta bukti yang nyata dari orang-orang Arab. Siapakah yang dapat berselisih dengan kami tentang kekuasaan dan kepemimpinan Muhammad; dan kami adalah kaumnya dan pengikutnya, kecuali jika ada orang yang hendak melontarkan kebatilan, atau memperturutkan hawa nafsu, atau ingin mendapatkan kebinasaan’.

Ketika Hubab mendengar pernyataan ini, ia berdiri dan berkata, ‘Wahai kaum Anshar, kuasailah diri kalian dan jangan dengarkan perkataan orang ini dan kaumnya, karena mereka hendak menghilangkan peran kalian dalam masalah ini. Bila mereka tidak menghiraukan tuntutan kalian, maka usirlah mereka dari negeri ini, kemudian kalian memimpin urusan ini atas diri mereka. Karena demi Allah, kalian lebih berhak dalam urusan ini daripada mereka, karena pedang-pedang kalianlah yang membuat orang-orang bersedia masuk Islam. Akulah yang menjadi tempat berlindungnya, dan tempat melindungi kemuliaannya. Demi Allah, kalau kalian mau, pasti kita akan mengembalikannya dengan utuh’.

Mendengar pernyataan ini, Umar menjadi marah, dan berkata, ‘Jika demikian, semoga Allah membinasakanmu’. Hubab pun menjawab, ‘Tidak, justru engkau yang akan dibinasakan (oleh Allah)’, sembari menarik pedangnya. Akan tetapi Umar lebih dulu memukul tangannya, sehingga membuat pedang Hubab terjatuh, dan kemudian Umar berhasil merebut pedang tersebut. Pada saat yang genting tersebut, Abu Ubaidah bin Jarrah memintai kedua belah pihak saling menahan diri. Setelah keduanya diam, beliau berdiri dan kemudian berkata kepada kaum Anshar, ‘Wahai kaum Anshar, kalian adalah orang-orang yang pertama kali menjadi pelindung dan penolong (Nabi dan agamanya), maka janganlah kalian menjadi kaum yang pertama kali berubah dan berpaling’.

Kata-kata bijak dari Abu Ubaidah ini membuat kaum Anshar tergerak hatinya, kemudian Basyir bin Sa’ad –salah seorang pemuka Khazraj– berdiri dan berkata, ‘Demi Allah, sekalipun kita adalah kaum yang paling berjasa dalam jihad melawan kaum musyrikin, dan termasuk golongan yang paling dahulu memeluk agama ini, namun kita tidak mempunyai kepentingan apa pun selain ridha Allah, dan ketaatan kepada Nabi kita, serta berusaha menekan kepentingan diri pribadi kita. Maka kita tidak bermaksud mempersulit perkara ini terhadap seluruh manusia, dan kita tidak menghendaki sesuatu pun dari dunia ini. Karena, Allah adalah Maha Pemberi segala kenikmatan kepada kita. Muhammad adalah berasal dari Quraisy, dan dalam hal ini kaumnya lebih berhak dan lebih utama (dalam perkara ini). Dan aku tidak tidak ingin Allah melihatku berselisih dengan mereka (kaum Muhajirin) dalam hal ini sekalipun. Maka bertakwalah kalian kepada Allah, dan janganlah kalian menentang dan mengambil kepemimpinan dari tangan mereka’.

Kata-kata Basyir ini berhasil menenangkan suasana, dan orang-orang Khazraj pun sepakat dengan pernyataan ini. Pada kesempatan itu Abu Bakar memegang tangan Umar dan Abu Ubaidah, kemudian berkata kepada orang-orang Anshar, ‘Ini Umar dan ini Abu Ubaidah. Kalian bisa membai’at salah seorang di antara mereka yang kalian kehendaki’. Kemudian beliau menyeru kepada mereka untuk tetap bersatu dan mengingatkan agar jangan berpecah belah.

Melihat suasana yang rawan konflik, Umar khawatir terjadi perselisihan lagi. Oleh karena itu beliau meninggikan suaranya dan menyeru, ‘Ulurkan tanganmu wahai Abu Bakar’. Abu Bakar pun mengulurkan tangannya; Umar memegang tangan Abu Bakar, kemudian membai’at beliau seraya berkata, ‘Wahai Abu Bakar, bukankah Rasulullah saw selalu menyuruh engkau memimpin kaum Muslim dalam shalat? Maka engkau adalah Khalifah (pengganti) Rasulullah saw. Kami semua berbai’at kepadamu karena mengikuti sebaik-baik orang yang lebih dicintai Rasulullah saw daripada kami semua’. Kemudian Abu Ubaidah mengulurkan tangannya, dan membai’at Abu Bakar sambil berkata, ‘Engkau adalah orang yang terbaik dari kalangan Muhajirin, dan menjadi orang kedua ketika menemani Rasulullah saw di dalam gua; engkau adalah Khalifah (pengganti) Rasulullah saw (untuk menjadi imam) dalam shalat; dan engkaulah orang yang paling baik agamanya. Lalu siapa lagi yang lebih berhak untuk melebihi engkau, atau yang lebih berhak memimpin urusan ini daripada engkau?

Segera Basyir bin Sa’ad bangkit dan berbai’at kepada Abu Bakar. Usaid bin Hudhair –pemuka suku Aus– memandangi kaumnya yang menyaksikan tindakan Basyir bin Sa’ad, kemudian berkata kepada mereka, ‘Demi Allah, meskipun suku Khazraj telah memutuskan, namun mereka masih menaruh harapan kepada kalian. Mereka sama sekali tidak bertindak atas nama kalian. Maka, bangkitlah dan berbai’atlah kepada Abu Bakar’. Kemudian orang-orang Aus pun berdiri dan berbai’at kepada Abu Bakar. Akhirnya, semua orang bangkit berdiri dan memberikan bai’at kepada Abu Bakar, sehingga Saqifah Bani Sa’idah penuh dengan kerumunan orang.

Demikianlah, bai’at di Saqifah Bani Sa’idah pun berhasil diselesaikan, sementara jenazah Rasulullah saw tetap berada di atas pembaringan, belum dikuburkan. Begitu bai’at selesai dilakukan, orang-orang keluar dari tempat pertemuan. Pada hari berikutnya, Abu Bakar duduk di masjid bersama kaum Muslim. Umar bangkit berdiri dan berkata kepada para jama’ah. Pertama-tama beliau memohon maaf atas perbuatannya beberapa hari sebelumnya, ketika beliau bersikeras menolak berita wafatnya Rasulullah saw. Kemudian Umar kembali memberikan bai’at kepada Abu Bakar dan menyeru kepada para jama’ah untuk berbai’at kepada beliau. Lalu seluruh jama’ah berbai’at kepada Abu Bakar, sampai seluruh prosesi bai’at itu selesai.

Setelah itu Abu Bakar bangkit berdiri dan berpidato di depan kaum Muslim; inilah khutbah pertama Abu Bakar dalam kedudukan beliau sebagai Khalifah:

Wahai manusia, aku telah diserahi amanat untuk memimpin kalian, padahal aku bukanlah yang terbaik di antara kalian. Untuk itu, jika aku berbuat baik maka bantulah aku; dan bila aku berbuat buruk, maka luruskanlah aku. Jujur itu adalah amanat, sedangkan dusta itu khianat. Orang yang lemah di antara kalian itu (di depanku adalah) kuat hingga aku berikan haknya sebagaimana yang Allah kehendaki; sedangkan orang yang kuat di antara kalian (di depanku) adalah lemah hingga aku mengambil hak darinya, insya Allah. Tidaklah suatu kaum yang meninggalkan jihad di jalan Allah, kecuali pasti Allah akan menimpakan kehinaan kepada mereka; dan tidak ada kekejian yang menyebar di suatu kaum, kecuali Allah akan menimpakan bencana yang dirasakan oleh semuanya. Taatilah aku selama aku menaati Allah dan Rasul-Nya. Jika aku bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya, maka kalian tidak perlu menaatiku. Tegakkanlah shalat kalian, niscaya Allah akan mengasihi kalian’.

Demikianlah secara singkat riwayat pengangkatan Abu Bakar ra sebagai Khalifah serta pemberian bai’at kaum Muslim kepadanya. Perselisihan yang terjadi di antara kalangan Muhajirin dan Anshar seputar masalah Khalifah hanya tentang kandidat atau calon Khalifah; bukan tentang perlu tidaknya seorang Khalifah. Bai’at pertama yang terjadi di Saqifah merupakan bai’at in’iqad atau bai’at pengangkatan Khalifah, sedangkan bai’at yang dilakukan di masjid pada hari berikutnya adalah bai’at taat.

Pelajaran dari Peristiwa di Saqifah Bani Sa’idah

Konsep ijma’ sahabat –khususnya dalam masalah Khalifah– telah ditunjukkan di Saqifah Bani Sa’idah. Para ulama Islam telah menjadikan ijma’ atau kesepakatan para sahabat Nabi Muhammad saw sebagai sumber hukum yang mengikat. Oleh karena itu, bila suatu hukum atau aturan tidak ditemukan di dalam sumber hukum yang primer, yaitu al-Qur’an dan al-Hadits, maka bisa ijma’ sahabat bisa digunakan untuk menggalinya.

Mengenai peristiwa yang terjadi di Saqifah Bani Sa’idah, sesungguhnya kaum Muslim mempunyai kewajiban untuk segera menguburkan jenazah Rasulullah saw. Urusan kenegaraan juga perlu diatur dan dilaksanakan. Pasukan Usamah bin Zaid ra telah diberangkatkan dan tengah bersiap-siap menunggu perintah selanjutnya. Ternyata, di tengah berbagai permasalahan yang rumit tersebut, para sahabat dari kalangan Muhajirin dan Anshar justru mengadakan diskusi untuk memilih pemimpin (amir) bagi seluruh kaum Muslim. Para sahabat itu tentu memiliki pengetahuan dan kompetensi untuk melakukan koreksi jika mereka merasakan atau melihat adanya suatu kemunkaran. Ternyata tidak seorang pun di antara mereka yang bertindak demikian, namun mereka justru melakukan diskusi yang hangat –bahkan cenderung panas– untuk memilih Khalifah. Ini menunjukkan bahwa memilih seorang Khalifah merupakan suatu perkara yang wajib. Proses pemilihan sampai dengan pembai’atan yang memakan waktu sampai tiga hari dua malam menunjukkan indikasi bahwa pengangkatan seorang amir merupakan masalah krusial yang harus bisa diselesaikan dalam jangka waktu tersebut.

Perlu dicatat pula bahwa perselisihan yang terjadi di antara kedua kelompok itu bukan berkenaan dengan perlu tidaknya mengangkat seorang Khalifah, tetapi berkenaan dengan siapa yang akan diangkat menjadi Khalifah. Kalangan Anshar sebenarnya sudah memilih Sa’ad bin Ubadah sebagai Khalifah sebelum perwakilan Muhajirin ikut serta dalam diskusi tersebut. Perdebatan yang terjadi kemudian berkaitan dengan kepantasan dan kelayakan kandidat Khalifah yang terpilih dari kalangan Anshar. Abu Bakar memandang bahwa kabilah-kabilah Quraisy akan sulit menerima kepemimpinan seorang Khalifah dari kalangan di luar Quraisy. Dengan demikian perdebatan yang berlangsung hangat itu hanya berkenaan dengan pertimbangan-pertimbangan politis mengenai karakteristik pengganti Nabi saw.

Pragmatisme, pertimbangan-pertimbang jangka pendek, serta hal-hal seperti itu bukan merupakan faktor dalam proses penyelesaian masalah. Niat yang kuat untuk membahas dan menyelesaikan masalah vital, yang menentukan hidup dan matinya umat Islam, adalah mentalitas yang dimiliki kaum Muslim pada masa itu; dan mentalitas inilah yang sangat dibutuhkan kaum Muslimin pada saat ini. Keputusan hukum dalam perkara pengangkatan Khalifah bersumber pada ijma’ sahabat. Batas waktu yang amat singkat untuk memilih seorang Khalifah, yakni tiga hari dua malam, menunjukkan pentingnya perkara ini. Pada dasarnya hukum pengangkatan Khalifah adalah fardhu kifayah, namun berubah menjadi fardhu ‘ain karena tugas ini belum bisa terwujud hingga lebih 70 tahun.

KESIMPULAN

]هُوَ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدَى وَدِينِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ وَلَوْ كَرِهَ الْمُشْرِكُونَ[

Dia-lah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar agar Dia memenangkannya di atas segala agama-agama meskipun orang musyrik membenci. (TQS. ash-Shaff [61]: 9)

Abu Hurairah ra meriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda:

Dahulu para Nabilah yang mengurus Bani Israil. Apabila wafat seorang Nabi, diutuslah Nabi berikutnya. Tetapi tidak ada lagi Nabi sesudahku. Akan ada para Khalifah, dan jumlahnya akan banyak.

Para sahabat kemudian bertanya, ‘Apa yang engkau perintahkan kepada kami?’ Maka Rasulullah saw pun menjawab:

Penuhilah bai’at yang pertama dan yang pertama itu saja. Berikanlah kepada mereka haknya, karena Allah nanti akan menuntut pertanggungjawaban mereka terhadap rakyat yang dibebankan urusannya kepada mereka’. (HR. Muslim)

Rasulullah saw adalah seorang kepala negara. Ketika menyampaikan risalah Islam, beliau saw bebas dari kesalahan. Islam adalah din yang sempurna, dan wahyu yang diberikan kepada beliau saw terjaga kemurniannya. Ke-Rasulan telah berakhir, seiring dengan wafatnya beliau saw. Namun Islam tidak berakhir pada saat itu juga. Cahaya Islam terus berlanjut melalui cahaya Negara Islam Madinah yang dipimpin oleh para Khulafa ar-Rasyidin.

Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, seluruh kaum Muslim telah mendapatkan wahyu yang datang kepada Rasulullah saw. Tugas menyampaikan wahyu kepada generasi-generasi yang akan datang kini berada di pundak seluruh kaum Muslim. Kini, al-Qur’an telah dibukukan, dan hadits-hadits pun telah dikumpulkan. Ucapan dan pendapat para sahabat pun telah berhasil dikumpulkan. Gambaran tentang bagaimana mereka memerintah dan bagaimana mereka menyelesaikan permasalahan telah juga telah berhasil dibukukan. Seluruh bagian dari Islam telah disampaikan, disebarluaskan, dan dijelaskan kepada kita semua oleh kelompok yang unik ini, yaitu para sahabat.

]وَالسَّابِقُونَ اْلأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَاْلأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ[

Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah. (TQS. at-Taubah [9]: 100)

Allah Swt memuji secara kolektif para sahabat. Allah Swt menyebut mereka sebagai pejuang Islam di garda yang paling depan. Allah Swt juga berjanji bahwa Dia Swt akan melindungi dan menjaga (kemurnian) al-Qur’an. Allah Swt berfirman:

]إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ[

Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan al-Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya. (TQS. al-Hijr [15]: 9)

Para sahabat merupakan salah satu wahana yang dipilih Allah Swt untuk memelihara Kitabullah. Merekalah yang menjadi tumpuan harapan dakwah Islam pada masa Rasulullah saw. Mereka pula yang mengikatkan diri dengan al-Qur’an sepeninggal Rasulullah saw. Merekalah yang mengajarkan al-Qur’an kepada umat manusia; mereka yang menjadikan al-Qur’an sebagai pedoman hidup; mereka pula yang menunjukkan kepada kita contoh yang gamblang dalam mengamalkan al-Qur’an. Mereka merupakan contoh hidup yang menjadi pedoman bagi kita dalam mengatur kehidupan pribadi dan bermasyarakat.

Allah Swt menggambarkan para sahabat dengan pujian yang sangat mulia di dalam al-Qur’an. Sementara itu, Rasulullah saw memuji mereka dalam berbagai haditsnya. Abdullah Ibn Mughfal meriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda:

Allah! Allah! Di kalangan sahabatku tidak terjadi pertentangan. Barangsiapa mencintai mereka, maka sama saja mencintaiku; barangsiapa membenci mereka maka sama saja membenci diriku; dan barangsiapa menghina mereka, maka sama saja mereka menghina diriku; dan barangsiapa menghina diriku sama saja menghina Allah, dan semoga Allah menghukumnya.

Abdullah bin Mas’ud meriwayatkan bahwa Rasulullah saw juga bersabda:

Yang terbaik dari kalangan umatku adalah mereka yang saat ini bersama diriku.

Allah Swt mengajari para sahabat, sebagaimana Dia Swt juga mengajari diri kita. Dalam al-Qur’an Allah Swt berfirman:

]فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً[

Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul-Nya, jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama dan lebih baik akibatnya. (TQS. an-Nisaa’ [4]: 59)

Pada dasarnya, para sahabat adalah suatu generasi yang berpegang teguh pada prinsip yang tercantum pada ayat di atas. Dalam melakukan setiap perbuatannya, para sahabat selalu merujuk pada ketentuan Allah Swt dan keputusan Rasulullah saw. Mereka bertanya tentang berbagai perkara kepada Rasulullah saw. Kemudian Rasulullah saw akan menunggu turunnya wahyu sebelum memberikan jawaban kepada mereka, karena Rasulullah saw bukanlah seorang yang bertindak sesuai dengan kehendak dan keinginannya. Setelah Rasulullah saw wafat, satu-satunya jalan untuk mengembalikan urusan kepada Allah dan Rasul-Nya adalah dengan kembali kepada dalil-dalil, yaitu ayat-ayat al-Qur’an maupun teks-teks Sunnah. Pada masa-masa akhir kehidupan beliau, Rasulullah saw memberi wasiat kepada kaum Muslim tentang bagaimana caranya menyelesaikan berbagai pertentangan dan permasalahan.

Irbad bin Sariya ra berkata, ‘Rasulullah saw seringkali memberikan nasihat-nasihat yang membuat hati kami penuh rasa takut, sehingga air mata kami meleleh’. Maka kami berkata, ‘Ya Rasulullah, ini seakan-akan khutbah yang terakhir, maka berilah kami wasiat.’ Maka kemudian Rasulullah saw bersabda:

Aku berwasiat kepadamu agar bertakwa kepada Allah ‘azza wa jalla, agar mendengar, taat, dan patuh meskipun pemimpinmu seorang (mantan) budak. Barangsiapa di antara kamu hidup panjang umur, maka dia akan melihat banyak silang sengketa. Berpeganglah pada sunnahku dan sunnah-sunnah khulafa yang mendapat petunjuk dan hidayah (sesudahku). Gigitlah kuat-kuat dengan gigi gerahammu. Waspadalah terhadap berbagai ciptaan persoalan-persoalan baru. Sesungguhnya tiap-tiap bid’ah mengandung kesesatan, dan tiap kesesatan (menjurus) ke neraka. (HR. Tirmidzi)

Wasiat yang diberikan Rasulullah saw pada kesempatan tersebut ternyata sangat menyentuh, sehingga menyebabkan berlinangnya air mata para pengikutnya. Gambaran yang diberikan Rasulullah saw dalam wasiat itu sangat menyentuh, sehingga wasiat tersebut memberikan kesan yang sangat mendalam di hati para pengikutnya. Muatan yang terkandung dalam wasiat itu adalah peringatan kepada para sahabat agar berpegang teguh kepada Islam pada saat terjadi perselisihan.

Pesan yang terkandung dalam wasiat tersebut sangat penting kita pelajari saat ini. Melihat keadaan kaum Muslim saat ini, amat wajar kiranya bila air mata kita mengalir tiada henti. Maka penyelesaiannya pun menggunakan metode yang sama, yaitu ‘menggigit kuat-kuat’ alias berpegang teguh pada Sunnah Nabi dan sunnah-sunnah para Khulafa ar-Rasyidin.

Teks-teks Islam itu sangat banyak. Terbuka ruang yang sangat luas bagi terjadinya perbedaan penafsiran. Namun demikian, penafsiran yang tepat semestinya berlandaskan pada kaidah yang disusun oleh para sahabat. Apalagi dalam bidang politik, penafsiran yang tepat merupakan suatu perkara yang sangat penting. Banyak hal dalam masalah ibadah yang telah ditetapkan secara eksplisit di dalam hadits-hadits Rasulullah saw. Namun perkara bagaimana memimpin umat setelah wafatnya Rasulullah saw hanya dapat diketahui dari peristiwa-peristiwa yang terjadi semasa Khulafa ar-Rasyidin. Bagi kita sekarang ini, agar bisa hidup sesuai ketentuan Islam, maka tidak ada pilihan lain kecuali memahami model Khilafah ar Rasyidah.

Rasulullah saw bersabda:

Setiap dari kalian adalah pemimpin, dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinan itu. Seorang imam adalah pemimpin atas rakyat, dan akan dimintai pertanggungjawabannya atas rakyatnya. (HR. Bukhari dan Muslim)

Dalam hadits ini, kata râ’in digunakan untuk menyebut istilah pemimpin dalam hubungannya dengan pemeliharaan urusan umat. Sekali lagi ini adalah konsep yang dipegang teguh oleh para sahabat. Mereka tidak pernah mengabaikan tugas mereka sebagai pemimpin. Seluruh Khulafa ar-Rasyidin benar-benar menyadari pentingnya kedudukan mereka. Mereka sadar sepenuhnya dengan tanggung jawab yang diberikan Allah Swt kepadanya, yakni untuk memimpin secara adil. Lebih dari itu, mereka juga paham bahwa tatacara kepemimpinan mereka akan menjadi rujukan generasi-generasi berikutnya. Kita merupakan salah satu generasi yang menjadikan mereka sebagai teladan.

Para sahabat dipandang sebagai generasi yang unggul karena kefaqihan mereka dalam Islam, lebih dari generasi-generasi sesudahnya. Mereka menganggap Islam sebagai agama yang praktis. Islam juga bersifat dinamis, karena selalu dapat memberikan penyelesaian atas segala permasalahan dalam seluruh aspek kehidupan, sekalipun Rasulullah saw telah wafat.

Ketika Rasulullah saw wafat, terjadi kegoncangan di jalan-jalan kota Madinah. Beberapa orang tidak percaya bahwa Rasulullah saw telah wafat. Bahkan Umar bin Khaththab ra sendiri pada awalnya tidak dapat menerima wafatnya Rasulullah, hingga Abu Bakar ra membacakan ayat yang berbunyi:

]وَمَا مُحَمَّدٌ إِلاَّ رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُ أَفَإِنْ مَاتَ أَوْ قُتِلَ انْقَلَبْتُمْ عَلَى أَعْقَابِكُمْ[

Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang Rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang Rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik di atas tumit-tumit kamu (murtad)? (TQS. Ali Imran [3]: 144)

Abu Bakar ra memang berhasil mengatasi kegoncangan itu, namun masih ada masalah yang belum dapat diselesaikan. Pasukan Muslim di bawah kepemimpinan Usamah bin Zaid yang dikirimkan untuk berjuang melawan pasukan Romawi di Syam tengah menunggu perintah berikutnya. Menjelang wafatnya, Rasulullah saw bersabda:

Wahai manusia, teruskanlah pengiriman pasukan perang Usamah. Demi umurku, andaikata kalian mengkhawatirkan kepemimpinannya, sesungguhnya dulu kalian juga telah mengkhawatirkan kepemimpinan ayahnya. Sesungguhnya ia dan ayahnya pantas memimpin pasukan perang.

Selain itu, ada beberapa orang yang menyebut diri mereka sebagai nabi. Aswad al-Ansi dari Yaman, Thulaiha dari Bani Asad, Sajaah binti al Harits dari Bani Tamim, serta Musailamah al-Kadzdzab dari suatu kabilah di pedalaman Arab, menganggap diri mereka adalah nabi. Masing-masing nabi palsu tersebut membentuk pasukan dan mulai memerangi Daulah Islamiyah. Ada pula beberapa kabilah yang menolak membayar zakat.

Gubernur Bahrain meninggal dunia, dan kabilah Bani Bakar mulai memberontak. Maka meletuslah kekacauan di wilayah tersebut. Pemberontakan serupa juga terjadi di Oman, Mahra, dan Yaman. Demikianlah, kekacauan-kekacauan melanda sejumlah wilayah Daulah Islamiyah, sedangkan pasukan Romawi memberikan ancaman tersendiri dari luar negeri. Para sahabat, di tengah berbagai permasalahan yang menggelayuti pundak mereka, ternyata tetap berupaya mengembalikan segala permasalahan itu kepada Islam. Mereka bersepakat untuk memilih seorang kepala negara.

Ummul mukminan, Aisyah ra memberikan gambaran kondisi kaum Muslim setelah wafatnya Nabi saw sebagai berikut, ‘Ketika Rasulullah saw wafat, banyak orang Arab yang murtad, orang-orang Yahudi dan Nasrani pun mulai berani bersikap arogan, dan tumbuh benih-benih kebencian. Kaum Muslim menjadi layaknya seekor domba yang tersiram hujan di tengah malam pada saat musim dingin, karena kehilangan nabinya. Sampai kemudian Allah Swt menyatukan mereka di bawah kepemimpinan Abu Bakar’.

Para sahabat berhasil mengatasi masa-masa sulit itu memilih seorang pemimpin dari kalangan mereka. Di bawah kepemimpinannya dan para Khulafa ar-Rasyidin berikutnya kaum Muslim mampu menyebarluaskan Islam ke berbagai penjuru dunia. Di bawah kepemimpinan para Khulafa ar-Rasyidin, bangsa-bangsa di Timur Tengah dan Afrika Utara berhasil dibimbing keluar dari kegelapan menuju terang benderang, sebagaimana dinyatakan Allah Swt dalam al-Qur’an ‘min azh-zhulumât ila an-nûr’. Sebelum kedatangan Islam, bangsa-bangsa tersebut terpuruk dalam penyembahan berhala dan kejahiliyahan lainnya.

Pada saat-saat seperti sekarang inilah kita perlu melakukan refleksi atas berbagai kesulitan dan kehinaan yang tengah kita hadapi. Dunia hampir-hampir putus asa menanti datangnya petunjuk. Apa pun informasi yang dapat kita peroleh dari sirah Rasulullah saw, kita akan jumpai pesan utama yang harus kita pelajari lebih jauh, yaitu bahwa beliau saw hadir laksana sebuah ‘cahaya yang menerangi’ atau sirâjan munîr. Satu-satunya jalan untuk mengubah keadaan gelap gulita yang kini dialami umat manusia adalah dengan mengikuti segala sesuatu yang ditinggalkan Rasulullah saw kepada kita. Itulah Kitabullah, as-Sunnah, dan keputusan para Khulafa ar-Rasyidin. Cara ini hanya bisa ditempuh dengan menegakkan kembali negara Khilafah Islamiyah.

Setelah kaum Muslim mengalami masa-masa sulit sepeninggal Rasulullah saw, maka Allah Swt menganugerahi mereka kemuliaan dan kekuasaan atas seluruh Jazirah Arab. Kemuliaan dan kekuasaan ini diperoleh melalui tangan-tangan para sahabat. Islam adalah jalan orang-orang Arab untuk menyelamatkan diri mereka dan bangsa-bangsa lainnya. Teladan dalam diri seorang Umar bin Khaththab menunjukkan kekuatan karakter yang dapat menggantikan kesesatan. Sebelum menemukan Islam, beliau merupakan seorang musuh Islam yang sangat kejam. Demikian besar rasa permusuhan Umar terhadap Islam, sehingga salah seorang sahabat pernah berucap, ‘Seandainya keledai milik Umar masuk Islam, Umar tetap tidak akan bersedia (masuk Islam)’. Tetapi, ketika Umar mendengar ayat-ayat al-Qur’an dibacakan, memahami artinya, dan menyadari mukjizat yang terkandung di dalamnya, beliau ra berubah menjadi manusia yang sama sekali berbeda. Sebelumnya, Umar adalah orang yang sangat kejam, yang biasa membunuh bayi-bayi perempuan yang baru lahir; tetapi kemudian berubah menjadi seorang pemimpin Muslim yang besar lagi penuh kasih sayang. Begitu beliau ra mendengar firman Allah Swt:

]وَإِذَا الْمَوْءُودَةُ سُئِلَتْ%بِأَيِّ ذَنْبٍ قُتِلَتْ[

Dan apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya, karena dosa apakah dia dibunuh. (TQS. at-Takwir [81]: 8-9)

Dan menyadari kebenaran yang terkandung dalam ayat tersebut, maka beliau segera menghentikan perbuatan buruknya. Ketika beliau mendengar bahwa Rasulullah saw bersabda:

Seorang imam adalah pemimpin atas rakyat, dan akan dimintai pertanggungjawaban atas (urusan) rakyatnya.

Maka beliau pun kemudian berpandangan bahwa kepemimpinan bukan merupakan suatu kehormatan, tetapi tanggung jawab. Oleh sebab itulah beliau berkata, ‘Andaikata ada seekor keledai yang terpeleset di sebuah jalan, aku khawatir Allah akan menanyaiku, ‘mengapa engkau tidak meratakan jalan tersebut?’ Demikian pula ketika beliau mendengar bahwa al-Qur’an menyatakan:

]وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلاَّ رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ[

Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk menjadi rahmat bagi semesta alam. (TQS. al-Anbiya [21]: 107)

Maka beliau pun berupaya sebaik-baiknya untuk menyampaikan Islam dengan bukti-bukti yang jelas kepada orang-orang kafir. Jika ada penguasa tiran yang berupaya mencegah dakwah yang disampaikan, tanpa ragu beliau akan segera memeranginya. Agar dengan demikian, orang-orang kafir dapat menyaksikan dengan jelas keunggulan dan keadilan Islam yang dibawakan oleh para penganutnya. Sehingga diharapkan orang-orang kafir itu tanpa ragu-ragu lagi bersedia masuk Islam, sebagaimana diri beliau sebelumnya.

Islam merupakan sebuah kekuatan yang luar biasa, yang mampu memberikan dorongan yang amat besar bagi orang-orang yang meyakininya, karena Islam adalah din yang berasal dari Sang Maha Pencipta. Allah Swt mengutus Rasulullah saw untuk menyampaikan risalah Islam kepada umat manusia, agar mereka mampu keluar dari kegelapan sistem jahiliyah menuju cahaya Islam yang terang benderang; dari penyembahan kepada makhluk menuju penyembahan kepada Sang Khalik semata; dari kezhaliman hukum-hukum buatan manusia menuju keadilan dan keunggulan hukum-hukum Allah Swt.

Islam menunjukkan jalan kepada manusia untuk memahami persoalan yang mereka hadapi, sekaligus jalan untuk menyelesaikan persoalan tersebut, berikut cara untuk menerapkan solusi itu. Karena, Islam adalah din dari Yang Maha Agung untuk seluruh umat manusia, yang mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhannya, dengan dirinya sendiri, dan dengan orang lain. Penerapan Islam secara paripurna akan bermuara pada kebahagiaan umat manusia. Allah Swt telah mengubah kondisi orang-orang yang tinggal di Jazirah Arab, dan Allah Swt juga dapat mengubah keadaan yang kita alami sekarang ini. Akhirnya semua terpulang kepada kita, apakah kita akan kembali kepada Islam sebagai pandangan hidup, dan memiliki keyakinan bahwa Allah Swt akan menganugerahkan kebaikan di dunia maupun di akhirat.

Demikianlah, kami menyeru kepada anda untuk menuju cahaya yang terang benderang, yakni cahaya Islam. Kami menyeru kepada anda untuk berjuang menegakkan negara Khilafah Islamiyah, karena kegelapan yang melanda umat manusia saat ini telah tersebar luas, menembus segala aspek kehidupan, sehingga tidak dapat dihitung lagi jumlah kemaksiatan yang telah terjadi dan dosa-dosa yang telah menggunung. Maka berjuanglah, dan Allah Swt dan Rasul-Nya akan menyaksikan perjuangan anda.

]وَقُلِ اعْمَلُوا فَسَيَرَى اللهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُولُهُ وَالْمُؤْمِنُونَ وَسَتُرَدُّونَ إِلَى عَالِمِ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ[

Dan Katakanlah: ‘Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mu’min akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan’. (TQS. at-Taubah [9]: 105)

SERUAN HIZBUT TAHRIR INGGRIS

Allah Swt, dengan rahmat dan kasih-Nya, telah menjadikan umat Islam sebagai umat yang paling unggul di antara umat-umat yang lain di dunia. Allah Swt telah menganugerahkan kemurahan-Nya kepada kita, dengan memberikan sebuah din yang lengkap dan jelas. Allah Swt telah mengutus seorang Rasul, yang kebenaran dan kedudukannya telah dikenal semua orang. Maka, tanpa sebersit keraguan sedikit pun, kita akan yakin dengan berita yang disampaikan oleh beliau:

Roda penggilingan Islam tengah berputar, maka berputarlah kemana pun ia berputar.

Wahai kaum Muslim! Roda penggilingan Islam tengah berputar semakin cepat dari hari ke hari. Pihak-pihak yang hendak menyimpangkan seruan yang mulia ini akan menggunakan seluruh cara dan memanfaatkan setiap kesempatan untuk mencapai tujuan mereka. Oleh sebab itulah menjadi tugas kita untuk menyatukan kekuatan di pihak yang haq untuk melawan kemunkaran yang melanda seluruh dunia.

Allah Swt berfirman:

]يُرِيدُونَ أَنْ يُطْفِئُوا نُورَ اللهِ بِأَفْوَاهِهِمْ وَيَأْبَى اللهُ إِلاَّ أَنْ يُتِمَّ نُورَهُ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ[

Mereka berkehendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut mereka, dan Allah tidak menghendaki selain menyempurnakan cahaya-Nya, walaupun orang-orang yang kafir tidak menyukai. (TQS. at-Taubah [9]: 32)

Wahai kaum Muslim! Sejak Inggris dan negara-negara Barat menghancurkan negara Khilafah Islamiyah pada tanggal 3 Maret 1924, umat ini tidak lagi pernah menikmati masa-masa yang membahagiakan. Wilayah kita dikerat-kerat, leluhur kita dihinakan, saudara-saudara kita dipatahkan harapannya, dan ibu-ibu serta saudari-saudari kita dilecehkan kehormatannya. Mereka semua menanti penuh harap datangnya imam mereka; seorang Khalifah, yang telah lama tidak mereka miliki, sebagai pelindung dan pemelihara kehidupan mereka.

Rasulullah saw bersabda:

Imam itu bagaikan perisai; dari belakangnya umat berperang dan dengannya umat berlindung. (HR. Muslim)

Belum pernah kaum Muslim mengalami keadaan yang demikian parah. Belum pernah mereka terpecah belah seperti sekarang ini. Belum pernah mereka membiarkan orang-orang kafir mengambil alih kedudukan mereka dan menyebarkan kerusakan (fasad) di atas permukaan bumi. Padahal Allah Swt menggambarkan umat Islam sebagai saksi atas seluruh umat manusia, sebagaimana firman-Nya:

]وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا وَمَا جَعَلْنَا الْقِبْلَةَ الَّتِي كُنْتَ عَلَيْهَا إِلاَّ لِنَعْلَمَ مَنْ يَتَّبِعُ الرَّسُولَ مِمَّنْ يَنْقَلِبُ عَلَى عَقِبَيْهِ وَإِنْ كَانَتْ لَكَبِيرَةً إِلاَّ عَلَى الَّذِينَ هَدَى اللهُ وَمَا كَانَ اللهُ لِيُضِيعَ إِيْمَانَكُمْ إِنَّ اللهَ بِالنَّاسِ لَرَءُوفٌ رَحِيمٌ[

Dan demikian Kami telah menjadikan kamu sebagai umat yang adil dan pilihan, agar kamu menjadi saksi atas manusia dan agar Rasul menjadi saksi atas kamu. Dan Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu melainkan agar Kami mengetahui siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. Dan sungguh itu terasa amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah; dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia. (TQS. al-Baqarah [2]: 143)

Oleh karena itu, kami menyeru anda semua wahai kaum Muslim, kepada suatu perjuangan yang paling mulia, yaitu perjuangan untuk menegakkan kembali Khilafah Islamiyah. Kami menyeru anda pada suatu kewajiban yang paling besar; yaitu kewajiban untuk mengembalikan lagi hukum-hukum Islam dalam kehidupan umat manusia; kewajiban untuk melanjutkan kehidupan Islam di dunia. Kami menyeru anda, dengan seruan yang penuh kehangatan, untuk berjuang sekuat tenaga mengembalikan lagi negara kita melalui satu-satunya metode yang diterima dari Allah Swt, yaitu metode Rasulullah Muhammad saw.

Sungguh, kedudukan yang paling mulia saat ini adalah kedudukan sebagai pengemban dakwah Islam yang sejati; yaitu pengemban dakwah yang kata-katanya mampu menggetarkan hati pemuka-pemuka suku Quraisy di Makkah dan dapat membangkitkan harapan orang-orang mukmin yang tulus.

Wahai kaum Muslim! Sebagai bagian dari makar untuk membuat umat ini terpecah belah dan tak berdaya, orang-orang kafir telah membuat batas-batas palsu di antara saudara se-akidah dan menciptakan identitas-identitas semu di kalangan kaum Muslim. Alih-alih menyatukan diri sebagai satu umat di bawah satu bendera, yang muncul malah negara-negara bangsa dan identitas-identitas golongan. Kita dibiasakan untuk menyebut diri kita sebagai orang Yordania, orang Mesir, orang Pakistan, atau orang Inggris. Dengan demikian, mereka telah menjebak kita dalam perjuangan-perjuangan yang murahan dengan tujuan-tujuan yang terbatas, sehingga justru menjauhkan diri kita dari permasalahan yang mendasar, yang menentukan hidup dan matinya Islam. Padahal Rasulullah saw bersabda:

Perumpamaan kaum mukmin dalam hal kasih sayang dan rahmat adalah bagaikan satu tubuh. Jika satu bagian (tubuh) menderita, maka menjalarlah penderitaan itu ke seluruh bagian (tubuh) lainnya, hingga tidak dapat tidur dan demam. (HR. Bukhari Muslim)

Bukankah telah sampai waktunya bagi kita untuk menyingkirkan sekat-sekat di antara kita kaum Muslim? Bukankah kita harus mulai berjuang bersama-sama untuk meraih tujuan yang mulia ini? Hari ini kami menyampaikan kepada anda semua, bahwa Khilafah akan kembali sesuai janji Allah Swt kepada kita semua. Putra-putri umat ini telah banyak berkorban untuk mengembalikannya. Kami, para syabâb (pemuda) Hizbut Tahrir berani menyatakan bahwa kembalinya (negara) Khilafah merupakan suatu keniscayaan. Ketika saat itu tiba, maka kaum Mukminin akan menyaksikan hari-hari yang penuh kebahagiaan dan kesejahteraan. Mereka akan memuliakan Islam dan mencemooh kekufuran. Sehingga kalimat-kalimat Allah Swt akan mendapatkan kedudukan yang tinggi, sedangkan orang-orang kafir akan dihinakan.

Rasulullah saw bersabda:

 

Perkara ini (sangat jelas) seperti malam dan siang. Allah tidak akan meninggalkan satu pun rumah yang terbuat dari batu (perkotaan) atau kulit binatang (pedesaan), kecuali Allah akan menjadikan Islam masuk ke dalam rumah-rumah tersebut dengan (cara) yang mulia atau hina. Kemuliaan yang dijadikan Allah untuk mengokohkan Islam, dan kehinaan yang akan merendahkan kekufuran. (HR. Ibnu Hibban, dishahihkan oleh al-Miqdad bin al-Aswad)

Kita harus menegakkan kembali (negara) Khilafah, apa pun yang terjadi, karena kita senantiasa berharap agar Allah Swt berkenan memandang kita dengan penuh ridla dan kasih sayang. Oleh karena kami mencintai anda sekalian sebagaimana kami mencintai diri kami sendiri, maka kami mengajak anda dan seluruh kaum Muslim untuk berjuang secara ikhlas dan bersungguh-sungguh, mendayagunakan segala kemampuan yang kita miliki; bersama-sama dengan para pejuang yang ikhlas dan serius, yang bertujuan menegakkan kembali Khilafah, dan mengembalikan mutiara yang hilang, sehingga kita bisa meraih kembali kedudukan yang layak di antara umat-umat yang lain, yaitu sebagai pembawa kebahagiaan, sebagai pembawa petunjuk, dan sebagai saksi atas seluruh umat manusia. Inilah kehormatan di dunia dan di akhirat. Hendaknya tidak ada seorang pun di antara anda yang mengabaikan kewajiban ini, dan jadilah pewaris terbaik dari kaum pendahulu yang terbaik. Maka bulatkan tekad anda, dan bangkitkan rasa hormat anda terhadap agama dan umat anda. Jangan biarkan tumpukan kepalsuan berikut pengaruh buruk yang ditimbulkan membuat anda cemas, karena tahap perjuangan ini hampir berakhir. Barisan orang-orang yang berjuang untuk menegakkan Khilafah semakin hari semakin bertambah, dengan tingkat pertumbuhan yang luar biasa, dan langkah-langkah mereka dalam menuju kemenangan semakin hari semakin dekat. Kita sungguh-sungguh yakin kepada Allah Swt; dan harapan kita kepada kemenangan yang Dia janjikan sama sekali tidak dicemari meski hanya oleh setitik keraguan. Dan Allah Swt berkuasa penuh atas urusan-Nya, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. Dan Maha Besar Allah, yang berfirman:

]وَعَدَ اللهُ الَّذِينَ ءَامَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي اْلأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَى لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِنْ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا

Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa; dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. (TQS. an-Nur [24]: 55)

 Dan terakhir, kami ingin menutup buku ini dengan seuntai doa yang kami haturkan kepada Allah Swt:

Ya Allah! Kami memohon kepadamu iman yang tak tergoyahkan; dan keberanian yang tak bisa dimundurkan; dan hasrat yang tak bisa dikalahkan; dan tekad yang tak bisa patahkan; serta keteguhan yang tak bisa diganggu-gugat.

Ya Allah! Tetapkanlah diri kami dalam agama-Mu dan dalam aktivitas dakwah hingga saat dimana kami bertemu dengan Mu.

Ya Allah! Tolonglah kami dengan orang-orang mukmin yang memiliki kekuatan. Tolonglah kami dengan orang-orang mukmin yang budiman.

Ya Allah! Tolonglah kami dengan orang-orang yang bersedia berdakwah bersama kami, serta menanggung kesusahan, kecemasan, dan tanggung jawab bersama kami.

Ya Allah! Berilah kami pertolongan dan perlindungan. Siapkanlah orang-orang yang akan menolong kami menerima kekuasaan di Yordania, Suriah, Irak, Mesir, Turki, dan negeri-negeri Muslim lainnya. Bukalah hati mereka agar dapat menerima seruan kami.

Ya Allah! Berilah kemampuan kepada kami untuk menegakkan Khilafah Islamiyah; untuk mengibarkan râyah (panji-panji kaum Muslim); serta untuk menerapkan syariat Islam.

Ya Allah! Berilah kami kekuatan untuk menyingkirkan hukum-hukum dan sistem kufur dari negeri-negeri kaum Muslim. Dan berilah kekuatan untuk menghancurkan Israel dan negara-negera kafir yang menjajah negeri-negeri kaum Muslim.

Ya Allah! Berilah kami kekuatan untuk menyatukan seluruh wilayah kaum Muslim ke dalam Daulah Khilafah.

Ya Rabb al-‘âlamîn. Allahumma amîn.

DAFTAR PUSTAKA

As-Sirah al-Nabawiyyah, Imam Abu al-Fida Ismail ibnu Katsir

As-Sirah al-Rasulullah, Muhammad ibnu Ishaq

At-Tarikh al-Rusul wa al-Muluk, Abu Ja’far Muhammad bin Jarir al-Thabari

Ar-Rahiq al-Makhtum, Safi’ ur-Rahman Mubarakpuri

Ad-Daulah al-Islamiyyah, Taqiyuddin an-Nabhani

An-Nizham al-Hukmiy, Taqiyuddin an-Nabhani

Terjemahannya

Arabnya

Sesungguhnya Islam datang dalam keadaan asing, dan akan kembali menjadi asing; namun berbahagialah orang-orang yang asing. (HR. Muslim)

«بَدَأَ اْلإِسْلاَمُ غَرِيْبًا وَسَيَعُوْدُ غُرِيْبًا كَمَا بَدَأَ فَطُوْبَى ِلْلغُرَبَاءِ»

Perumpamaan kaum mukmin dalam hal kasih sayang dan rahmat adalah bagaikan satu tubuh. Apabila satu bagian (tubuh itu) menderita (sakit), maka menjalarlah penderitaan itu ke seluruh (bagian) tubuh lainnya, hingga tidak dapat tidur dan demam. (HR. Bukhari Muslim)

«مَثَلُ الْمُؤْمِنِيْنَ فِيْ تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ مَثَلُ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى»

Tidak beriman seseorang di antara kalian hingga mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri. (HR. Bukhari Muslim)

«لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ ِلأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِه»

Barangsiapa yang memiliki sebidang tanah, maka hendaklah dia menanaminya, atau (jika tidak) hendaklah dia berikan kepada saudaranya. (HR. Bukhari)

«مَنْ كَانَتْ لَهُ أَرْضٌ فَلْيَزْرَعْهَا أَوْ لِيَمْنَحْهَا أَخَاهُ»

Manusia itu berserikat dalam tiga hal, yaitu air, padang gembalaan, dan api.

«اَلْمُسْلِمُوْنَ شُرَكَاءُ فِيْ ثَلاَثٍ: فِي اْلمَاءِ وَالْكَلاَءِ وَالنَّارِ»

Allah akan menghimpun seluruh dunia hingga aku bisa melihat bagian Timurnya dan bagian Baratnya. Dan Allah akan menjadikan kekuasaan umatku atas seluruh dunia. (HR. Muslim)

«إِنَّ اللهَ زَوَى لِي اْلأَرْضَ فَرَأَيْتَ مَشَارِقَ وَ مَغَارِبَهَا وَسَيَبْلُغُ مُلْكُ أُمَّتِي مَا زَوَى لِي مِنْهَا»

Allah akan menghimpun seluruh dunia hingga aku bisa melihat bagian Timurnya dan bagian Baratnya. Dan Allah akan menjadikan kekuasaan umatku atas seluruh dunia. (HR. Muslim)

«إِنَّ اللهَ زَوَى لِي اْلأَرْضَ فَرَأَيْتَ مَشَارِقَ وَ مَغَارِبَهَا وَسَيَبْلُغُ مُلْكُ أُمَّتِي مَا زَوَى لِي مِنْهَا»

Dahulu para Nabilah yang mengurus Bani Israil. Apabila wafat seorang Nabi, diutuslah Nabi berikutnya. Tetapi tidak ada lagi Nabi sesudahku. Akan ada para Khalifah, dan jumlahnya akan banyak.

Para sahabat kemudian bertanya, ‘Apa yang engkau perintahkan kepada kami?’ Maka Rasulullah saw pun menjawab:

Penuhilah bai’at yang pertama dan yang pertama itu saja. Berikanlah kepada mereka haknya, karena Allah nanti akan menuntut pertanggungjawaban mereka terhadap rakyat yang dibebankan urusannya kepada mereka’. (HR. Muslim)

«كَانَتْ بَنُوْ إِسْرَائِيْلَ تَسُوْسُهُمُ اْلأَنْبِيَاءُ، كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ، وَأَنَّهُ لاَ نَبِيَّ بَعْدِيْ، وَسَتَكُوْنُ خُلَفَاءُ فَتَكْثُرُ، قَالُوْا: فَمَا تَأْمُرُنَا ؟ قَالَ: فُوْا بِبَيْعَةِ اْلأَوَّلِ فَالأَوَّلِ، وَأُعْطُوْهُمْ حَقَّهُمْ فَإِنَّ اللهَ سَائِلُهُمْ عَمَّا اسْتَرْعَاهُمْ»

Setiap dari kalian adalah pemimpin, dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinan itu. Seorang imam adalah pemimpin atas rakyat, dan akan dimintai pertanggungjawabannya atas rakyatnya. (HR. Bukhari dan Muslim)

«كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ اْلإِمَامُ رَاعٍ وَهُوَ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ»

Imam itu bagaikan perisai; dari belakangnya umat berperang dan dengannya umat berlindung. (HR. Muslim)

«إِنَّمَا اْلإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ»

Perumpamaan kaum mukmin dalam hal kasih sayang dan rahmat adalah bagaikan satu tubuh. Jika satu bagian (tubuh) menderita, maka menjalarlah penderitaan itu ke seluruh bagian (tubuh) lainnya, hingga tidak dapat tidur dan demam. (HR. Bukhari Muslim)

«مَثَلُ الْمُؤْمِنِيْنَ فِيْ تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ مَثَلُ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى»

Perkara ini (sangat jelas) seperti malam dan siang. Allah tidak akan meninggalkan satu pun rumah yang terbuat dari batu (perkotaan) atau kulit binatang (pedesaan), kecuali Allah akan menjadikan Islam masuk ke dalam rumah-rumah tersebut dengan (cara) yang mulia atau hina. Kemuliaan yang dijadikan Allah untuk mengokohkan Islam, dan kehinaan yang akan merendahkan kekufuran. (HR. Ibnu Hibban, dishahihkan oleh al-Miqdad bin al-Aswad)

«لَيَبْلُغَنَّ هَذَا اْلأَمْرِ مَا بَلَغَ الَّيْلُ وَالنَّهَارُ وَلاَ يَتْرُكُ اللهُ بَيْتَ مَدَرٍ وَلاَ وَبَرٍ إِلاَّ أَدْخَلَهُ اللهُ هَذَا الدِّيْنَ بِعِزِّ عَزِيْزٍ أَوْ بِذُلِّ ذَلِيْلٍ عِزَّ يُعِزُّ اللهُ بِهِ الإِسْلاَم وَذُلَّ يُذِلُّ اللهُ بِهِ الْكُفْرَ»

Perkara ini (sangat jelas) seperti malam dan siang. Allah tidak akan meninggalkan satu pun rumah yang terbuat dari batu (perkotaan) atau kulit binatang (pedesaan), kecuali Allah akan menjadikan Islam masuk ke dalam rumah-rumah tersebut dengan (cara) yang mulia atau hina. Kemuliaan yang dijadikan Allah untuk mengokohkan Islam, dan kehinaan yang akan merendahkan kekufuran. (HR. Ibnu Hibban, dishahihkan oleh al-Miqdad bin al-Aswad)

 

Tinggalkan komentar