Sejarah Islam Indonesia (Periode Awal Masuk Islam)

SEJARAH ISLAM TANPA MISI ?

 “Bisa kita singkirkan gagasan bahwa agama baru itu dibawa ke Asia Tenggara lewat kegiatan dakwah. Kata “Dakwah” itu sendiri menyesatkan. Sampai tahun-tahun terakhir, ajaran-ajaran Nabi tidak pernah disebarkan lewat kegiatan meng-Islamkan orang secara terorganisasi. Pedagang-pedagang dari Gujarat yang datang ke Indonesia pastilah tidak datang dengan tujuan menyebarkan agama mereka. Dalam beberapa kasus, perpindahan agama disebabkan keyakinan, dalam kasus lain disebabkan oleh motif-motif kepentingan tersembunyi dan non-religius”[1].

Paragraf diatas adalah cuplikan dari Buku “Nusantara Sejarah Indonesia” karangan Bernard H.M.Vlekke seorang Ilmuwan Orientalis Belanda yang edisi pertama-nya diterbitkan pada tahun 1943, buku ini diterjemahkan dan dicetak ulang tahun 2008 oleh Grup Gramedia dan Freedom Institute.

Bernard H.M.Vlekke adalah pendukung kuat “teori Gujarat” teori tentang tempat asal Islam di Nusantara yang digagas oleh J.P. Moquette yang melanjutnya gurunya C.Snouck Hurgronje yang menyakatan Islam datang ke Indonesia berasal dari wilayah Malabar dan Coromandel di sekitar abad ke-12 yang berargumen dari “teori batu nisan” . Beberapa sarjana lain yang mendukung teori ini antara lain; R.A. Kern, R.O.Winstedt, J.Gonda dll. Arah dari “teori Gujarat” ini jelas bahwa Sejarah Islam ke Indonesia adalah tanpa misi. Islamisasi Indonesia bukan merupakan proses dakwah yang menjadi misi dari Risalah Nabi Muhammad SAW.

Anehnya teori-teori ini menjadi rujukan bagi sejarawan Indonesia, yang artinya sebuah anomali (kekecualian) yang terjadi terhadap sejarah Islam di Indonesia terhadap sejarah-sejarah Islam lainnya. Bila para Khalifatur Rosul Rasyidiyah mengembangkan dominasi Islam sampai ke wilayah Eropa yaitu Andalusia (Spanyol), maka tidak demikian dengan Indonesia atau Asia Tenggara. Beliau-beliau luput atau tidak care atau masa bodoh dengan umat manusia wilayah Timur yang sebelum Masa Rosululloh SAW telah menjadi jalur sutra perdagangan.

Lalu bagaimanakah dengan misi Risalah bahwa Rosul Muhammad pemimpin seluruh umat manusia? Sebagai mana proklamasi Risalah dalam Al-Qur’an surat Al-A’raf ayat 158.

Katakanlah: “Hai manusia sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua, yaitu Allah yang mempunyai kerajaan langit dan bumi; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, Yang menghidupkan dan mematikan, maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul Nya, Nabi yang ummi yang beriman kepada Allah dan kepada kalimat-kalimat-Nya (kitab-kitab-Nya) dan ikutilah dia, supaya kamu mendapat petunjuk”. (7:158)

Berdirinya beberapa negara Islam di kepulauan Indonesia-Melayu merupakan satu bukti kuat yang tak bisa terbantahkan. Islam Indonesia telah membentuk institusi politik paling awal pada abad ke 13. Meskipun, institusi politik Islam di beberapa daerah tidak sama. Di Sumatera, ada beberapa diantaranya yang telah mengalami perkembangan dalam abad ke 14 dan 15. Abad ke 16 menjadi saksi munculnya negara-negara Islam baru di medan sejarah terutama di Jawa.

Adanya fakta tersebut menunjukan sejarah Islam di Indonesia tidak sekedar sejarah “teori batu nisan” tetapi sejarah perjuangan penegakan Islam, sejarah membangun peradaban baru peradaban Islam. Tegaknya institusi politik Islam di bumi Nusantara bukan dengan politik “bim sala bim”. Tetapi oleh tekad kuat melaksanakan misi penegakan Islam yang dimulai dengan jalan DAKWAH.

Proyek dakwah, bukan proyek iseng dari para pedagang entah yang datang dari Gujarat, Persia, Cina atau Arab. Mereka adalah para Saudagar juga Ulama. Para Da’i yang mengemban misi Nabi.

Ekonomi dan Politik Sebagai Bandul Sejarah

Penulisan sejarah konvensional sangat identik dengan sejarah politik. Sesungguhnya, peristiwa sejarah tidak hanya berkaitan dengan kisah para raja, peperangan-peperangan atau jatuh bangun suatu pemerintahan (dinasti atau kerajaan) sebagaimana dalam sejarah konvensional. Sebaliknya sejarah merupakan rekonstruksi masa lalu yang berhubungan dengan totalitas pengalaman manusia.

Sejarah dapat diartikan sebagai politik masa lalu, ekonomi masa lalu, masyarakat sosial masa lalu, atau sains masa lalu. Pendeknya, sejarah adalah segala sesuatu yang terjadi pada masa lalu.

Namun, mustahil untuk mengkaji sebuah sejarah dalam locus (ruang) dan tempus (waktu) yang begitu luas dengan menghadirkan seluruh aspek kehidupan manusia yang terjadi pada masa lalu. Penulisan sejarah hanya merekam sebagian kecil peristiwa yang dialami manusia. Karenanya, peristiwa sejarah terbagi menjadi dua : sejarah sebagai peristiwa itu sendiri (objektif) dan sejarah sebagai peristiwa yang dikisahkan oleh sejarawan (subjektif).

Bila kita telusuri tulisan-tulisan sejarah, maka kita akan menemukan tiga aspek yang menonjol dalam sejarah yaitu sosial, ekonomi dan politik. Aspek sosial dalam sejarah pasti ditemukan karena objek dan subjek sejarah adalah manusia, sejarah adalah berkenaan dengan hidup dan kehidupan manusia, perkembangan peradaban manusia. Hidup manusia tidak terlepas dari Struggle of life upaya mempertahankan hidup maka yang muncul dalam sejarah adalah aspek ekonomi, karena ekonomi memberikan peran penting bagi keberlangsungan hidup manusia.

Itu sebabnya kenapa pembahasan sejarah semisal tentang Indonesia tidak akan terlepas pada aspek ekonomi. Islam datang ke Indonesia dengan beragam teori apakah “Teori India”, Teori Persia”, Teori Arab” atau “Teori Cina”  memiliki kesamaan latar yaitu mereka adalah para Saudagar Muslim. Pertumbuhan Islam berlangsung signifikan secara kuantitatif dan berhasil membangun masyarakat bermula berada di kota-kota pelabuhan sebagai lalu-lintas perdagangan.

Para Saudagar Muslim adalah Sender pembawa pesan wahyu, pesan Risalah, pesan Nabi, pesan para pemimpin Islam untuk mendakwahkan keyakinan yang dianutnya bahwa Islam Rahmatan Lil Alamin. Sebagai contoh dalam Sejarah Melayu tentang kisah masuk Islamnya Raja Malaka. Raja bermimpi bahwa Nabi menampakan diri kepadanya, mengajarinya cara mengucapkan dua kalimat Syahadat, memberinya nama baru Muhammad, dan memberitahukannya bahwa pada hari berikutnya akan tiba sebuah kapal dari negeri Arab yang mengangkut seorang Ulama yang harus dipatuhinya. Setelah terjaga, raja itu mendapatinya telah di khitan secara ghaib. Kemudian kapal pun tiba, dan dari kapal itu turun Sayid Abdul Azis untuk sholat di tepi pantai. Penduduk terheran-heran dan menanyakan arti dari gerakan ritual itu. Raja memberitahu bahwa kesemuanya itu sama seperti yang ada dalam mimpinya. Sesudah itu pejabat istana mengikutinya memeluk Islam. Selanjutnya Raja itu menyandang gelar Sultan Muhammad Syah dan memerintahkan seluruh rakyatnya memeluk Islam. Sayid Abdul-Azis sendiri kemudian menjadi guru raja. Dari kisah dalam Sejarah Melayu menunjukan perjalanan perdagangan oleh Saudagar Muslim dari Arab tidak hanya semata-mata yang berdatangan dalam satu kapal itu adalah pedagang saja tetapi juga para Ulama.

Kenyataan ini yang dibantah oleh para penulis Orientalis, padahal hal yang sama dilakukan oleh Imperialisme Eropa, kedatangan Portugis ataupun Belanda dengan VOC-nya selalu menyertakan para Misionaris Kritiani dengan misi Gospel-nya.

Aspek selanjutnya yang menjadi pokok penulisan sejarah adalah aspek politik. Sejarah tidak bisa dilepaskan dari masalah politik. “History is past politics”.

Ekonomi dan politik adalah bandul sejarah. Tidak ada ekonomi dan atau politik maka tidak ada yang direkam sebagai peristiwa sejarah. Berbicara ekonomi sebagai hajat hidup manusia tidak akan terekam sebagai sejarah manakala tidak melekat pada kepentingan politik. Lalu apa yang melekatkan ekonomi dan politik sehingga terjadi peritiwa-peristiwa besar yang pada akhirnya terekam menjadi sebuah sejarah?. Hanya ada satu yaitu Ideologi. Hanya saja Ideologi menjadi “tersembunyi” atau “disembunyikan” dalam rekaman peristiwa sejarah atau Historiografi penulisan sejarah.

Fase Islamisasi Bumi Nusantara

Islamisasi merupakan suatu proses yang sangat penting dalam sejarah Islam di Indonesia yaitu sejarah tentang berdirinya kekuasaan sosio politik Islam di bumi Nusantara. Proses penting ini diselimuti ke tidak jelasan diantaranya terletak pada pertanyaan kapan Islam datang, dari mana Islam berasal, dan siapa yang menyebarkan Islam di Indonesia pertama kali dan sebagainya. Paling tidak ada empat teori tentang awal mula Islamisasi dan perkembangan Islam di Indonesia yaitu “Teori India”, “Teori Arab”, “Teori Persia” dan “Teori Cina” .

Dari ke empat teori awal mula Islam di Indonesia, diupayakan adanya sintesis dari perbedaan pendapat yang ada dengan membuat fase-fase atau tahapan Islamisasi di Indonesia, yaitu ;

1. Tahap permulaan kedatangan Islam terjadi pada abad ke- 7 M pada masa Khulafa’ur Rasyidin . Tahap ini berlangsung sampai abad ke-13 M dengan para pembawa Islam adalah orang-orang Muslim dari Arab, Persia dan India (Gujarat, Bengal) yang notabene pada pedagang atau saudagar. Inilah tahap dakwah Islamiyah yang melahirkan terbentuknya masyarakat Islam di Nusantara. Tetapi masyarakat Islam di Nusantara masih dalam kondisi minoritas dan berada dalam kekuasaan politik hindis-budhis.

2. Tahap selanjutnya adalah terbentuknya Kerajaan Islam pada abad ke-13 sebagai kerajaan Islam pertama (Negara Basis) di Indonesia diantaranya Samudra Pasai dan Malaka di daerah utama Sumatera. Fase terbentuknya kerajaan Islam berlangsung antara abad ke-13 sampai abad ke-16 M.

3. Akhir abad ke-16 dan abad ke-17 adalah Fase Kekuasaan Politik Islam Dominan di bumi Nusantara khususnya di Tanah Jawa. Fase ini ditandai dengan runtuhnya kerajaan-kerajaan besar seperti Kerajaan Majapahit, Kerajaan Padjadjaran dan Kerajaan Sriwijaya di Sumatera. Peran Sentral Wali Sanga khususnya di Tanah Jawa dalam melakukan akselerasi dakwah dan membangun kekuatan politik yang handal menjadi “icon” perjuangan Islam di Indonesia.

Akhirnya, mari disimak beberapa simpulan yang dikemukakan oleh Azyumardi Azra berikut ini: “Pertama, Islam dibawa langsung dari Arabia; kedua, Islam diperkenalkan oleh para murabi dan penyiar “professional” /dai– yakni mereka yang memang secara khusus bermaksud menyebarkan Islam; ketiga, yang mula-mula masuk Islam adalah para penguasa; dan keempat, kebanyakan para penyebar Islam “professional” ini datang ke Nusantara pada abad ke-12 dan ke-13.” Jadi dengan mempertimbangkan berbagai uraian di atas, dapat dinyatakan bahwa benar Islam memang telah diperkenalkan awal mula sejak abad-abad pertama Hijriyah (sekitar abad ke-7 M), namun akselerasi persebaran Islam secara nyata baru terjadi sekitar abad ke-12 M dan masa-masa selanjutnya.

SALURAN-SALURAN DAKWAH ISLAM

Sejak masuk dan berkembangnya, Islam di Indonesia memerlukan proses yang sangat panjang dan melalui saluran-saluran Dakwah Islam yang beragam, seperti perdagangan, perkawinan, tarekat (tasawuf), pendidikan dan kesenian. Saluran dakwah tersebut tentu bukan suatu kebetulan, bersifat situasional atau sekedar iseng, tetapi tentunya sebuah skenario cerdas dalam membuat stategi dakwah. Pengalaman dakwah dari generasi ke generasi mulai sahabat, tabi’in dan tabi’it memberikan pendidikan dakwah yang luar biasa bagi penegakan Khilafah fil Ardi. Jadi sangatlah dangkal apabila proses dakwah di Indonesia adalah sebuah kebetulan disebabkan oleh para saudagar Islam. Harusnya bisa dilihat bahwa umat Islam sejak jaman Rosululloh adalah para Tentara perang yang tangguh di medan laga sekaligus para pedagang yang handal di bidang ekonomi, siapa yang tidak kenal pada sahabat Abdurrahman bin Auf yang telah memberikan pondasi ekonomi yang kuat di yastrib saat awal pembentukan Madinatul Munawwarah, maka Abdurrahman bin Auf lainnya telah melanglang buana hingga di bumi nusantara, mereka adalah para Utusan Allah dengan perbekalan ekonomi yang kuat dan ilmu Dieniyah yang kokoh.  Pada tahap awal dakwah, saluran perdagangan sangat dimungkinkan. Hal ini sejalan dengan kesibukan lalu lintas perdagangan jalur sutera abad ke-7 sampai abad ke-16 M. Para pedangan dari Arab, Persia, India dan China ikut ambil bagian dalam aktivitas perdagangan dengan masyarakat di Asia: Barat, Timur dan Tenggara.

Saluran Dakwah Islam dengan media perdagangan sangat menguntungkan. Hal ini disebabkan karena dalam Islam tidak ada pemisahan antara aktivitas perdagangan dengan kewajiban mendakwahkan Islam kepada pihak-pihak lain. Selain itu, dalam kegiatan perdagangan ini, golongan raja dan kaum bangsawan lokal umumnya terlibat di dalamnya. Tentu saja ini sangat menguntungkan, karena dalam tradisi lokal apabila seorang raja sudah terdakwahi dan menerima Islam, maka dengan sendirinya akan diikuti oleh mayoritas rakyatnya. Ini terjadi karena kuatnya penduduk pribumi memelihara prinsip-prinsip yang sangat diwarnai hierarki tradisional.

Perkawinan antara pedagang atau saudagar Muslim dengan perempuan lokal juga menjadi bagian yang erat hubungannya dengan proses dakwah Islam.  Dakwah melalui proses ini merupakan yang paling mudah. Ikatan perkawinan itu sendiri merupakan ikatan lahir batin. Dengan berkeluarga, mereka menjadi inti masyarakat. Dari perkawinan ini, terbentuklah pertalian kekerabatan yang lebih besar antara pihak laki-laki (suami) dengan keluarga perempuan (istri).

Saluran perkawinan atau keluarga memegang peranan penting dalam proses internalisasi ajaran Islam di Indonesia. Dengan perkawinan tersebut, selain akan membentuk generasi-generasi baru Islam, juga akan besar pengaruhnya terhadap proses dakwah selanjutnya.

Saluran Islamisasi melalui perkawinan akan lebih menguntungkan jika terjadi antara saudagar Muslim, Ulama, atau golongan lain dengan perempuan raja, bangsawan, atau anak pejabat kerajaan lainnya.

Sebagai contoh Raden Rahmat yang dikenal selanjutnya dengan Sunan Ampel menikah dengan putri Tumenggung Wilwatikta yang bernama Ni Gede Manila, mendapat kepercayaan menjadi dari Raja Majapahit untuk memimpin wilayah Ampel Denta dengan membawahi 30.000 orang yang selanjutnya menjadi binaan Sunan Ampel.

Pendidikan juga mempunyai andil besar dalam proses Islamisasi di tanah Jawa. Sesuai kebutuhan Zaman, mereka perlu tempat atau lembaga yang menampung anak-anak mereka aga bisa meningkatkan dan memperdalam Ilmu agamanya. Daro lembaga pendidikan yang dikembangkan oleh juru dakwah atau para wali, lahir generasi pelajut yang memiliki komitmen kuat terhadap perjuangan Islam.

Proses Islamisasi yang berlangsung sejak abad ke-7 melahirkan kota-kota yang didominasi oleh Umat Islam terutama di daerah pantai di kepulauan Nusantara seperti Samudra Pasai, Pidie di Aceh, Palembang, Malaka, Jambi, Demak, Gresik, Tuban, Cirebon, Banten, Ternate, Tidore, Gowa, Makasar, Banjarmasin dan sebagainya. Selanjutnya diantara kota-kota tersebut ada yang berfungsi sebagai pusat kerajaan, ada yang berfungsi sebagai kota Kadipaten (Kabupaten),

SAMUDRA PASAI NEGARA ISLAM PERTAMA

Di Masa Khalifah ketiga ‘Ustman (644 – 656), utusan-utusan dakwah dari Tanah Arab mulai tiba di istana Cina. Kontak-kontak antara cina dan dunia Islam terpelihara terutama lewat jalur laut melalui perairan Indonesia. Karena itu tak aneh bila orang-orang Islam tampak memainkan peran penting dalam urusan-urusan negara-perdagangan yang besar di Sumatera yang beragama Budha, Kerajaan Sriwijaya. Antara tahun 904 M sampai pertengahan abad XII, utusan-utusan dari Sriwijaya ke istana Cina memiliki nama Arab (Muslim). Inilah yang menjadi jejak-jejak telah munculnya peran umat Islam dalam bidang ekonomi-politik meskipun dalam sistem pemerintahan Sriwijaya yang Budha.
Petunjuk pertama tentang muslim Indonesia berkaitan dengan bagian utara Sumatera. Di pemakaman Lamreh ditemukan nisan Sultan Sulaiman bin Abdullah bin Al-Bashir yang wafat tahun 608 H/ 1211 M. Ini merupakan petunjuk pertama tentang keberadaan kerajaan Islam di wilayah Indonesia.
Hikayat Raja-Raja Pasai, merupakan salah satu sumber tentang cerita masuknya Islam ke Samudra. Dalam cerita ini disebutkan bahwa Khalifah di Mekah mendengar tentang adanya Samudra dan memutuskan untuk mengirim sebuah kapal ke sana untuk memenuhi harapan forcasting Nabi Muhammad SAW bahwa suatu hari nanti akan ada sebuah kota besar di timur yang bernama Samudra, yang akan menghasilkan orang suci. Kapten kapal itu, Syekh Ismail, singgah dulu di India untuk menjemput seorang sultan yang telah mengundurkan diri karena ingin menjadi da’i. Penguasa Samudra, Merah Silau (atau Silu), bermimpi bahwa Nabi menampakan diri kepadanya, mengalihkan secara gaib pengetahuan tentang Islam kepadanya dengan cara meludah ke dalam mulutnya, dan memberinya gelar Sultan Malik As-Salih. Setelah terbangun, sultan yang baru ini mendapati bahwa dia dapat membaca Qur’an walaupun dirinya belum pernah diajar, dan bahwa dia telah dikhitan secara gaib. Dapat dimengerti bahwa para pengikutnya merasa takjub atas kemampuan sultan mengaji dalam bahasa Arab. Kemudian kapal dari Mekah tadi tiba. Ketika Syekh Ismail mendengar pengucapan dua kalimat syahadat Malik As-Salih, maka dia pun melantiknya menjadi penguasa dengan tanda-tanda kerajaan dan jubah-jubah kenegaraan dari Mekah. Syekh Ismail terus mengajarkan dua kalimat Syahadat. Syekh Ismail kemudian meninggalkan Samudra, sedangkan da’i yang berkebangsaan India tetap tinggal untuk menegakan Islam secara lebih kokoh di Samudra. Sultan Malik As-Salih meninggal pada tahun 1297 M.
Dibawah pemerintahan Sultan Muhammad Malik al-Zahir (1297 – 1326), kerajaan Samudra Pasai mengeluarkan mata uang emas yang beridentitas ketuhanan. Mata uang tersebut, sampai saat ini, dianggap sebagai mata uang emas tertua yang pernah di keluarkan oleh sebuah kerajaan Islam di Asia Tenggara.

Sejarah Islam Tanah Jawa

Situasi Tanah Jawa Awal Abad ke-15

Seorang Muslim Cina yang mengikuti perjalanan ke-7 Laksamana Cheng Ho ke Jawa yang berlangsung antara tahun 1431- 1433 M menuturkan tentang situasi perilaku sosial masyarakat Jawa saat itu, bahwa di Jawa ketika itu terdapat tiga golongan penduduk.

Golongan yang pertama adalah penduduk Islam dari barat yang telah menjadi penduduk setempat. Pakaian dan makanan mereka bersih serta pantas. Golongan kedua adalah orang-orang Cina yang lari dari negerinya dan menetap di Jawa. Pakaian dan makanan mereka baik dan banyak di antara mereka yang sudah masuk Islam serta taat melaksanakan amal ibadahnya. Sedangkan golongan ketiga adalah penduduk asli yang sangat jorok dan hampir tidak berpakaian. Rambut mereka tidak disisir, kaki telanjang dan mereka sangat memuja roh.

Kebangkrutan Majapahit

Episode sejarah tanah Jawa mulai kurun awal masehi sampai abad ke-15 adalah episode tumbuh dan jatuhnya kekuasaan kerajaan-kerajaan yang didominasi oleh keyakinan hindis dan budhis. Ideologisasi jawanisme ditandai dengan munculnya tokoh penuh ambisi politik dan kekuasaan yang bernama Ken Arok. Dia dari seorang biasa menjadi raja yang menguasai Singosari-Kediri. Ambisi Ken Arok yang menghalalkan segala cara untuk menduduki singgasana kerajaan melahirkan “karma” Mpu Gandring bahwa keserakahan kekuasaan akan membawa pada kebangkrutan dan kehancuran. Pada kenyataannya kejayaan Singosari tergantikan oleh kekuasaan Majapahit yang dirintis oleh Raden Wijaya mantan Senapati Singosari. Singosari Sirna Ing Bumi.

Dominasi tanah Jawa dilanjutkan oleh dinasti Raden Wijaya  dalam kekuasan kerajaan Majapahit, dominasi Majapahit di tanah Jawa dimulai pada masa Tribuanatungga Dewi (1328- 1350) dan puncak kemegahan kerajaan Majapahit tercapai pada zaman kekuasaan prabu Hayam Wuruk (1350 – 1389). Dibawah pimpinan patih amangku bumi Gajah Mada sejak pemerintahan Tribuana, tahun 1336 timbul gagasan untuk memperluas wilayah Nusantara di bawah kepemimpinan Majapahit. Patih Gajah Mada mengumumkan program politiknya yang dikenal dengan sebutan “Sumpah Nusantara” atau “ Sumpah Palapa”. Diantara sumpahnya berbunyi : “Lamun huwus kalah nusantara, insun amukti palapa” artinya “ kalau nusantara telah tunduk, saya baru akan istirahat”. Pada tahun 1339, Adityawarman ditugaskan oleh Majapahit untuk memimpin pasukan melakukan ekspansi ke Sumatera. Tentara Majapahit berhasil merebut kesultanan Kuntu/Kampar, kerajaan Haru, kerajaan Batak/Karo, kesultanan Aru/Baruman (semua di wilayah  Jambi, Palembang, Toba, Kampar dll di Sumatera), tetapi ekspedisi Majapahit dipimpin Gajah Mada untuk melakukan penyerbuan ke wilayah Sumatera Utara yang saat itu telah berdiri Negara Islam Samudera Pasai ternyata gagal. Selanjutnya tidak banyak cerita apakah ekspansi juga di lakukan ke wilayah lain di Nusantara seperti Kalimantan dan Sulawesi. Artinya Majapahit sebenarnya tidak pernah menguasai seluruh Nusantara.

Setelah patih Gajah Mada meninggal tahun 1364, sejarah Majapahit mulai suram, kebesarannya mulai pudar. Realisasi gagasan Nusantara yang dilakukan dengan susah payah dan berkat jerih payah Gajah Mada yang memberikan kegemilangan kepada Majapahit mulai layu. Prabu Hayam Wuruk dan para patihnya tidak mampu membina keagungan Majapahit. Lambat-laun kesatuan Nusantara itu pecah berantakan, akibat perebutan kekuasaan antara para ahli waris kerajaan dan perongrongan dari luar.

Awal tahun 1400-an terjadi perang antara Majapahit dengan Blambangan hampir dua tahun terus menerus, perang ini disebut dengan perang Paregreg. Perang perebutan hak kekuasaan antara putra mahkota dengan putra dari selir yang menyebabkan disintegrasinya Negara Kasatuan Republik Majapahit buatan Perdana Menteri Gajah Mada.

Kebangkrutan yang berakhir dengan keruntuhan Majapahit bukan saja dalam persoalan politik kekuasaan, tetapi juga dalam kehidupan sosial dan ekonomi. Situasi sosio politik tanah Jawa yang didominasi Kerajaan Majapahit telah mengalami kemunduran yang sangat drastis, diantaranya disebabkan :

Pertama, sejak terjadinya perang paregreg, keberadaan Majapahit sebagai negara maritim mengalami kemunduran, armada Majapahit tidak lagi efektif untuk di gerakan ke wilayah-wilayah di luar pulau Jawa.

Kedua, kekuasaan Majapahit sudah kehilangan pengaruh di luar Jawa. Ini terbukti dengan terbaginya inti kekuasaan menjadi sembilan wilayah protorat dengan pusat kerajaan di Trowulan. Sembilan wilayah kekuasaan Majapahit itu adalah Kahuripan, Daha, Wengker, Lasem, Matahun, Pajang, Pamanahan, Wirabhumi dan Trowulan.

Ketiga, tumbuhnya kekuatan baru dari para pedagang muslim yang menggantikan kedudukan para pedagang non-muslim. Para pedagang muslim ini memberikan kontribusi bagi terbentuknya komunitas muslim yang kondusif di wilayah-wilayah seperti Gresik, Demak, Jepara, Tuban yang dikembangkan oleh para wali.

Keempat, Falsafah Linggaisme sebagai hasil Singkretis agama Syiwa-Budha yang terpengaruh oleh ajaran Yoga-Tantra dari sekte Sachta berkembang luas di kawasan pedalaman, telah merusak pranata sosial. Gambaran Ajaran Yoga-Tantra yaitu Ma-lima, ia harus memakan lauk pauk dari daging (Mamsha) dan ikan (Matsya), sesudah itu minum-minuman keras (Madya)   sampai mabuk, dalam keadaan mabuk itulah orang harus bersetubuh (Maithuna), setelah nafsunya terlampiaskan, seterusnya kemudian ia melakukan semedi (mudra). Para penganut Yoga-Tantra meyakini dengan cara demikianlah mereka akan memperoleh kesaktian-kesaktian.

Dalam situasi kebangkrutan Majapahit inilah timbul secercah fajar dari timur yang bukan hanya memberikan harapan baru tetapi kenyataan hidup yang labih baik……. (bersambung)

Dakwah Islam di Tanah Jawa

Pada 1258, kota Baghdad yang selama lima abad menjadi pusat peradaban Islam dibawah kekuasaan Dinasti Abbasiyah ditaklukan oleh bangsa Tartar, Mongol di bawah pimpinan Hulagu Khan, kekuasaan Islam Baghdad digantikan oleh Dinasti Mongolia yang beragama Kristen Nestoria. Hal ini yang menyebabkan kepemimpinan Islam bergeser di tangan para Ulama. Para Ulama kemudian bergerak keluar kota Baghdad menuju wilayah Asia Selatan, Asia Timur dan Asia Tenggara, diantara mereka banyak yang menjadi Saudagar Islam. Daerah Turkestan, Bokhara dan Samarakand adalah pusat perkembangan Islam (Maulana Malik Ibrahim berasal dari Samarakand). Pada masa ini terjadi kelahiran ulama-ulama terkenal diantaranya Imam Bukhori dari Samarakand. Persilangan pernikahan antara keturunan Arab, Cina dengan India telah menjadikan “kerumitan” sejarah dalam menentukan asal-muasal Islam datang ke Indonesia. “Teori Arab” merujuk kepada diantara silsilah para wali dari jalur laki-laki yang menunjukan Trah Nabi Muhammad SAW, sementara “Teori Cina” merujuk kepada silsilah para wali dari garis perempuan.

Meskipun sejak tahun 674 M, di Pantai Barat Sumatera sudah ada koloni-koloni saudagar yang berasal dari negeri Arab, meningkatnya keramaian perdagangan di pelabuhan-pelabuhan pesisir pantai Sumatera dan Jawa terjadi pada kurun abad ke-13 dan 14. Sejalan dengan itu, abad ke-13 dalam sejarah Islam di Indonesia merupakan gelombang kedua dari dakwah Islam yang telah pelopori sebelumnya pada pada abad ke-7 atau masa Khalifah Rasyidiyah.

Intensitas dakwah Islam di tanah Jawa, memiliki beberapa fase perkembangan dinataranya;

Pertama, Dakwah Islam dilakukan oleh para pedagang Muslim dari Arab, India dan Cina kepada komunitas masyarakat biasa di pesisir utara pantai Jawa.

Kedua, Dakwah Islam dilakukan secara Akseleratif oleh para Ulama yang terkenal dengan sebutan “Wali Sanga”.

Ketiga, Dakwah yang dilakukan secara Institusional oleh Negara Islam yaitu Negara Islam Demak dan Negara Islam Cirebon. Kedua negara ini berhasil meluluh lantahkan dua kerajaan yang dominan yaitu Majapahit dan Padjadjaran (Sunda dan Galuh).

Maulana Magribi Da’i Pelopor di Tanah Jawa

Pada batu nisan dari makam Maulana Malik Ibrahim terdapat inskripsi sebagai berikut : “ Inilah makam Almarhum Al-Maghfur yang mengharap rahmat Allah, kebanggaan pangeran-pangeran, sendi sultan dan menteri-menteri, penolong para fakir dan miskin, yang berbahagia lagi syahid, cemerlangnya simbol agama dan negara, Malik Ibrahim yang terkenal dengan nama Kaki Bantal, Allah meliputinya dengan rahmat dan keridhaan-Nya, dan dimasukan ke dalam Syurga. Telah wafat pada hari Senin, 12 Rabiul Awal tahun 822 H” (Sajed Alwi, 1957). Inskripsi ini memberikan tanda terhadap kiprah Sunan Maulana Malik Ibrahim sebagai Utusan Allah di Tanah Jawa yang menghantarkan kepada terbentuknya Kerajaan Islam Tanah Jawa yang beribukota di Demak sebagai Madinah-Jawa.

Dikalangan Wali Sanga, Maulana Malik Ibrahim disebut-sebut sebagai wali paling populer dan senior, alias wali pertama. Ada sejumlah versi tentang asal-usul Syekh Magribi, sebutan lain dari Sunan Gresik itu. Ada yang mengatakan ia berasal dari Turki, Arab Saudi, dan Gujarat. Sumber lain menyebutkan ia lahir di Campa (Kamboja). Maulana Malik Ibrahim bisa disebut sebagai bapaknya para Wali.

Wali Sanga berarti sembilan orang wali. Nama suatu Dewan Dakwah yang selanjutnya merupakan Majelis Syuro di Kesultanan Demak pada abad ke-15 sampai 16 M. Sebenarnya jumlah para wali bukan sembilan, tetapi jika ada anggota yang meninggal dunia, maka diganti dengan wali yang baru. Angka sanga atau sembilan bagi orang Jawa, adalah angka yang dianggap paling tinggi. Majelis Syuro itu dibuat sembilan, angka yang ganjil diduga dengan maksud apabila ada voting dalam menentukan suatu fatwa tidak terjadi kesamaan suara, sehingga keputusan syuro mudah diambil.

Diantara Wali Sanga yang terkenal di kalangan masyarakat sampai sekarang adalah Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Drajad, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Muria, serta Sunan Gunung Jati. Mereka tidak hidup pada saat yang persis bersamaan. Namun satu sama lain memiliki keterikatan yang erat baik dalam ikatan darah nasab terutama ikatan aqidah dengan hubungan guru – murid.

Maulana Malik Ibrahim adalah yang tertua. Sunan Ampel anak Maulana Malik Ibrahim. Sunan Giri adalah keponakan Maulana Malik Ibrahim yang berarti juga sepupu Sunan Ampel. Sunan Bonang dan Sunan Drajat adalah anak Sunan Ampel. Sunan Kalijaga adalah sahabat sekaligus murid Sunan Bonang. Sunan Muria anak Sunan Kalijaga. Sunan Kudus murid Sunan Kalijaga. Sunan Gunung Jati adalah sahabat para sunan lain kecuali Maulana Malik Ibrahim yang lebih dahulu meninggal.

Mereka tinggal di Pantai Utara Jawa dai awal abad 15 hingga pertengahan abad 16, di tiga wilayah penting poros Jawa yakni Surabaya – Gresik – Lamongan di Jawa Timur, Demak – Muria – Kudus – di Jawa Tengah, serta Cirebon – Banten di Jawa Barat. Mereka adalah para intelektual yang menjadi pembaharu masyarakat pada masanya. Mereka mengenalkan berbagai peradaban baru : mulai dari kesehatan, bercocok tanam, niaga, kebudayaan, kesenian, kemasyarakatan dan yang paling pokok memberikan tonggak pada sistem pemerintahan Islam yang menggantikan sistem pemerintahan hindis dan budhis.

Era Wali Sanga adalah era berakhirnya dominasi Hindu-Budha dalam budaya Nusantara untuk digantikan dengan Kebudayaan Islam. Wali Sanga adalah simbol penyebaran Islam di Indonesia, khususnya di Jawa. Orientasi perjuangan Wali Sanga adalah Idharul Islam yang melahirkan tatanan sosial politik baru yaitu tatanan sosial politik Islam dengan berdirinya Kerajaan Islam di Tanah Jawa.

Sebelum datangnya Maulana Malik Ibrahim di Gresik, di Tanah Jawa sudah banyak perkampungan Islam, terutama di daerah Leran. Akan tetapi belum berkembang secara besar-besaran. Baru sejak kedatangan Maulana Malik Ibrahim, Islam di Gresik khususnya tumbuh berkembang bagaikan cendawan di musim hujan. Maulana Malik Ibrahim menetap di Gresik sejak 1401 M (ada yang menyebutkan 1404 M), di Gresik, Maulana Malik Ibrahim merasa perlu membuat bangunan tempat menimba Ilmu bersama. Model belajar seperti inilah yang kemudian dikenal dengan nama pesantren.

Dalam mendakwahkan Islam, Syekh Maulana Magribi berdakwah dengan cara diplomasi yang ulung yang bisa diterima oleh akal pikiran masyarakat. Dalam mengajarkan ilmu Syekh Maulana Magribi memiliki kebiasaan yang khas yaitu meletakan Al-Qur’an atau kitab Hadist di atas bantal, karena itu ia kemudian dijuluki “Kakek Bantal”. Maulana Malik Ibrahim wafat pada tahun 1419 M.

Sunan Ampel Pengkader Para Pejuang

Dewan Wali Sanga berikutnya adalah Sunan Ampel. Lahir pada tahun 1401 M, nama kecilnya adalah Raden Rahmat, beliau adalah putera dari Syekh Maulana Malik Ibrahim bapak para wali tanah Jawa dari ibu seorang puteri Raja Campa (Kamboja). Raden Rahmat melanjutkan perjuangan bapaknya dalam menegakan Islam di Tanah Jawa.

Raden Rahmat seusia muda sebelum 20 tahun tinggal dengan Ibunya di Campa (Kamboja). Kedatangan Raden Rahmat ke Jawa, sebelumnya singgah dulu di Palembang selama 2 bulan saat Raden Rahmat berusia 20 tahun dan berhasil mengislamkan Arya Damar Raja di Palembang. Kemudian melanjutkan pelayaran ke Majapahit dengan singgah di Gresik sekitar tahun 1421/1422 M (jadi setelah Bapaknya Maulana Malik Ibrahim wafat) mengunjungi Syekh Jumadil Kubra.

Raden Rahmat menetap di Ampel Denta (Surabaya), menurut penuturan Babad Gresik, Raden Rahmat berhasil menjadikan daerah Ampel Denta yang semula berair dan berlumpur menjadi daerah yang makmur. Di sini beliau mendirikan pesantren, sehingga Ampel menjadi pusat dakwah Islam, sehingga Raden Rahmat digelari Sunan Ampel.

Intensitas perjuangan penegakan Islam di tanah Jawa lebih akseleratif  dan terorganisir dimulai sejak kepemimpinan Sunan Ampel yaitu dengan merintis tanah Ampel Denta sebagai basis dakwah sekitar tahun 1422 M, sampai kejatuhan Kerajaan Majapahit tahun 1478 M atau sekitar 56 tahun.

Kita kadang membayangkan Sunan Ampel atau para Walisanga  lainnya adalah orang yang sudah tua renta yang memiliki kesaktian yang madraguna, tetapi kalau kita telusuri secara waktu meskipun banyak perdebatan dan ketidakpastian penulisan sejarah berkenaan dengan waktu dan usia, tapi bisa dipastikan bahwa Sunan Ampel berkiprah bagi perjuangan penegakan Islam adalah seorang tokoh muda yang berprestasi. Hitungannya pendirian pesantren Ampel Denta yang didirikan setelah menikah dengan putri Tumenggung Wilwatikta pada usia sekitar 25 Tahun, ini berarti Sunan Ampel adalah da’i muda belia yang menjadi pelopor dakwah tanah Jawa.

Pesantren Ampel Denta oleh Sunan Ampel dan didaerah Giri oleh Sunan Giri adalah dua institusi pendidikan tempat pengkaderan pejuang-pejuang Islam paling penting di masa itu. Pesantren Ampel Denta Surabaya melahirkan kader Sunan Ampel diantaranya : Raden Patah (Raja Demak), Sunan Kalijaga (Menantu), Raden Paku (Sunan Giri), Raden Makdum (Sunan Bonang), Syarifudin (Sunan Drajat) dan Maulana Ishaq (Blambangan), Dari Giri Akselerasi dakwah Islam berkembang ke seluruh wilayah timur Nusantara diantaranya Sulawesi, Maluku, Ternate, Tidore.

Melalui pesantren yang terus di bina sungguh-sungguh, Sunan Ampel berhasil menelurkan orang-orang yang ahli agama dan menguasai ajaran Islam serta mempunyai dedikasi yang tinggi dalam mengamalkan dan memperjuangkan Islam.

Ada aspek strategis Ampel sebagai pusat dakwah Islam yang dikomandani oleh Raden Rahmat (Sunan Ampel), sebab Ampel (Surabaya saat itu) merupakan pintu gerbang utama kerajaan Majapahit. Dengan adanya pusat dakwah di Ampel sebagai pintu gerbang Majapahit, maka pengaruh dakwah Islam yang sebelumnya berasal dari Gresik (yang dirintis oleh Sunan Gresik atau Syekh Maulana Malik Ibrahim bapak-nya Sunan Ampel) menjadi lebih gencar dan menusuk jantung Ibukota Majapahit.

Perkembangan Ampel Denta sebagai suatu komunitas di Surabaya yang dihuni oleh Umat Islam pada giliranya menjadi sentra pengkaderan Islam yang paling berpengaruh di Jawa pada pertengahan abad ke-15.

Sunan Ampel telah menjadikan pusat Majapahit sebagai sasaran dakwah utama (wilayah basis target dakwah). Langkah yang ditempuhnya adalah dengan membagi wilayah inti Majapahit sesuai hirarki pembagian wilayah negara bagian saat itu kedalam beberapa wilayah yang masing-masing wilayah di koordinir oleh para kader Ampel Denta dan sahabat Sunan Ampel, diantaranya ;

1. Raden Ali Murtadho saudara tua Sunan Ampel, diberi gelar Raden Santri ditetapkan menjalankan tugas untuk memperkuat basis pertahanan Islam di daerah Gresik.

2. Raden Burereh (Abu Hurairah) ditempatkan di Majagung dengan gelar Pangeran Majagung.

3. Maulana Ishak ditempatkan di Blambangan dengan gelar Syekh Maulana Ishak.

4. Maulana Abdullah dikirim ke daerah Pajang dengan gelar Syekh Suta Maharaja.

5. Usman Haji ditentukan memasuki kerajaraan Matahun dan bertempat di Ngudung dengan gelar Pangeran Ngudung.

6. Kafilah Husen ditempatkan di Madura dan bergelar Kafilah Husen.

7. Kiyai Bah Tong (Kakek Raden Fatah) ditempatkan di wilayah Lasem dengan gelar Syekh Bentong.

8. Raden Rahmat atau Sunan Ampel sendiri mengembangkan dakwahnya di wilayah penting ibukota kerajaan di Trowulan, serta pelabuhan-pelabuhan penting Majapahit yaitu Surabaya, Canggu dan Jedong.

Program selanjutnya adalah pengiriman kader-kader dakwah ke berbagai negara bawahan Majapahit untuk gelombang ke dua dengan wilayah target dakwah sudah lebih ke arah pedalaman Jawa. Kader-kader Ampel Denta Angkatan kedua yang mayoritas dari kalangan muda, kader dakwah  tersebut diantaranya :

1. Raden Hamzah (Putra Sunan Ampel yang menurut cerita tradisi Syekh Kambilah) ditempatkan di Tumapel dengan gelar Pangeran Tumapel.

2. Raden Makdum Ibrahim (Sunan Bonang) di tempatkan di Daha dengan gelar Pangeran Anyakrawati.

3. Raden Mahmud (dalam cerita Babad disebut Syekh Mahmud) ditempatkan di sepanjang Kahuripan dengan gelar Pangeran Kahuripan.

4. Syekh Maulana Ishak ditempatkan di Pasuruan dan mengawini Rarasatari, putri Bupati Pasuruan yang tak lama kemudian pindah ke Pandan Arang.

5. Raden Husin (Anak Arya Damar) ditempatkan di Ibukota Majapahit.

6. Usman Haji ditempatkan di Ngudung-Matahun dengan gelar Pangeran Ngudung.

7. Syekh Suta Maharaja tetap ditempatkan di Pajang.

8. Raden Hasan (Raden Fatah) ditempatkan di Glagah Wangi Bintara, yang termasuk wilayah Lasem, untuk menggantikan kakeknya Syekh Bentong dan mendapat gelar Pangeran Bintara. Raden Hasan juga melakukan koordinasi dan memperkuat dakwah Islam di kawasan Surabaya, Canggu dan Jedong.

Berbagai halangan, rintangan dan pengalaman pahit terjadi dalam upaya dakwah di negara-negara bagian Majapahit, tetapi Sunan Ampel mampu mengkoordinasikan dengan baik dalam wadah Dewan Walisanga (Dewan Dakwah Sembilan Penjuru[2]) dan melakukan pendekatan-pendekatan dakwah yang dinamis dan fleksible.

Sunan Ampel meninggal pada tahun 1478 M dengan memberikan karya besar yaitu :

1. Lahirnya basis-basis personal yang tauhidi dan bermental jihadi menjadi roh bagi perjuangan penegakan Islam menyongsong futuh Islam di Tanah Jawa.

2. Ampel Denta (Surabaya) menjadi pusat dakwah Islam di Tanah Jawa yang selanjutnya terjadi penyebaran hampir di seluruh wilayah negara bagian Majapahit.

3. Para Kader Dakwah Ampel Denta menjadi pelopor perjuangan futuh Islam di Tanah Jawa dengan menjadi koordinator-koordinator dakwah di sembilan wilayah inti kekuasaan Majapahit yaitu Trowulan (Ibu Kota Majapahit), Kahuripan, Daha, Wengker, Matahun, Pajang, Pamanahan, Wirabumi, dan Lasem. Lasem tepatnya wilayah Bintara yang dikoordinir oleh Raden Fatah alias Pangeran Bintara selanjutnya menjadi pusat penyerangan Negara Islam Demak terhadap Majapahit.

4. Sunan Ampel meninggal dunia 1478 M (tahun yang sama runtuhnya Majapahit) setelah menghantarkan berdirinya Negara Islam Demak dengan meruntuhkan kerajaan Majapahit.

Geneologi Para Wali

Semua para wali yang menjadi aktor pejuang penegakan Islam di tanah Jawa memiliki ikatan darah dan aqidah yang satu. Semua wali bersatu darah dengan Syekh Jumadil Kubro, yang merupakan keturunan Nabi Muhammad SAW. Syekh Jumadil Kubro adalah putra dari Zainal Khusain putra dari Zainal Kubra putra dari Zainal Aliem putra dari Zaenal Abidiin putra dari Sayidina Husain putra dari Ali bin Abi Thalib (Suami Fatimah putri Nabi Muhammad). Syekh Jumadil Kubro adalah ayah dari Maulana Malik Ibrahim, yang menurunkan wali-wali : Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Drajat, Sunan Kalijaga dan Sunan Muria. Sedangkan Maulana Ishaq menurunkan Sunan Gunung Jati, Sunan Giri dan Sunan Kudus. Maulana Ishak dikenal dengan Syekh Wali Lanang atau Syekh Awalul Islam adalah saudara Maulana Malik Ibrahim.

Dari khasanah naskah ajaran para Wali hanya naskah Sunan Bonang yang kini baru terungkap. Ajaran Sunan Bonang yang tertuang dalam Het Boek Van Bonang, yakni teks primbon wejangan Sunan Bonang sebagai bahan disertasi DR.B.J.O Schrieke dan yang tertuang dalam Een Javanche Geschrift nit 16 de Eeuw bahan disertasi DR.J.G.H. Gunning. Dua naskah ini diakui secara ilmiah sebagai yang memuat ajaran yang berlaku luas abad ke-16, masa ketika Sunan Bonang Hidup.

Sunan Bonang adalah putra dan murid Sunan Ampel, teman sealmamater Sunan Giri dan Sunan Drajat yang bersama-sama telah berguru pada Maulana Ishak Syekh Awalul Islam di Pasai. Syekh Maulana Ishak pernah menjadi koordinator dakwah yang ditunjuk oleh Sunan Ampel di wilayah Pasuruan yang selanjutnya kembali menetap di Pasai. Sunan Bonang adalah guru pertama Sunan Kalijaga. Sementara Sunan Gunung Jati adalah murid dari Maulana Ishak. Sehingga meskipun yang menjadi bukti ajaran Islam yang berkembang abad ke-16 adalah wejangan dari Sunan Bonang, bisa dipastikan seluruh para wali memiliki pandangan dan keyakinan yang sama terhadap Aqidah Islamiyah.

Adapun kitab yang dikirakan sebagai sumber ajaran Sunan Bonang adalah :

  1. Ihya Ulumuddin dari al-Ghazali
  2. Tahmid dari Abu Syukur bin Su’aib-as-Salami.
  3. Talkis al-Minhad dari Nawawi
  4. Qutb al-Qulub dari Abu Thalib al-Maki
  5. Risalah al-Makiyyah fi Thariq al-Sad al-Sufiyah dari al-Tamami
  6. Al-Anthaki dari Dawud al-Anthaki
  7. Hayatul Auliya dari Abu Nu’aim al-Isfahani.

Dari penelusuran wejangan Sunan Bonang disimpulkan bahwa Sunan Bonang berpegang pada ajaran Ahli Sunnah dan berjalan pada garis Sunnah Rosululloh SAW. Maka demikian pula seluruh para Wali ada dalam garis aqidah yang satu yaitu aqidah Ahli Sunnah.

Pesan Dakwah Walisanga

Pesan dakwah walisanga yang pertama dan urgent adalah Penanaman Aqidah yang benar dan murni. Salah satu upaya para Walisanga dalam rangka menanamkan aqidah Islam dengan “de-dewanisasi” dengan sarana mitologi hindu yang berkembang di masyarakat, lalu di reinterpretasi yang berupa cerita-cerita yang berkait dengan kelemahan dan kekurangan dewa sebagai sesembahan manusia selanjutnya remitologi pembuatan mitos baru. Salah satu contohnya dari kasus ini adalah timbulnya cerita Hyang Manik Maya (Batara Guru) dan Hyang Ismaya (Semar). Munculnya kisah-kisah kalangan Ulama yang disisipi aqidah Islam dan diikuti pula berkembangnya nilai-nilai Islam di masyarakat maka orientasi perang Ideologi para ulama semakin jelas mengarah ke perombakan setting budaya dan tradisi keagamaan yang ada.

Kedua, Hijrah Hukmiyah; Ketaatan dan ketundukan pada Hukum. Salah satu upaya para wali dengan menyebarluaskan nilai-nilai Islam kepada masyarakat agar mematuhi hukum syariat Islam dengan membentuk nilai tandingan bagi ajaran Yoga-Tantra yang berasaskan Ma-Lima. Bila dikalangan penganut Yoga-Tantra, Ma-Lima berarti penyempurnaan bathin, maka para Ulama Walisanga justru menetapkan bahwa Ma-Limaadalah perbuatan yang merusak jiwa. Konsep Ma-Lima versi Walisanga adalah : Madat (Candu), Main (Judi), Maling (Mencuri), Minum (Minuman keras), dan Madon (berzinah).

Ketiga,Hijrah Wijhah; Penanaman nilai-nilai Akhlaq terpuji. Para wali dalam dakwah Islam di tanah Jawa ditempuh dengan cara-cara bijak dan adiluhung.

Strategi Dakwah Walisanga

Hakekat strategi adalah usaha-usaha untuk menguasai dan mendayagunakan segala sumber daya untuk mencapai tujuan. Tujuan dakwah walisanga adalah tegaknya Islam di tanah Jawa pada khususnya dan bumi Nusantara pada umumnya dengan kata lain futuh islam fi Nusantara. Dalam cerita tradisional diungkapkan bahwa para wali itu kaya akan ilmu kesaktian, jaya kawijayan. Mereka wicaksana, sugih srana lan waksita marang agal alus, itu semua merupakan bukti kelihaian dan kepandaian mereka dalam mengatur siasat dan strategi serta pengorganisasiannya.

Diantara yang menonjol dalam strategi dakwah walisanga adalah dalam mengimplementasikan gerakan dakwah versi Rosul yang berdaya politik. Upaya tersebut diantaranya: Pertama, membangun kader basis personal tauhidi; bidikan dakwah Sunan Ampel khususnya adalah generasi muda yang dikader sejak dini sehingga tangguh akidah dan ideologinya, mereka ada dalam lapisan trah bangsawan yang memiliki visi intelektual yang mumpuni. Diantara mereka adalah Raden Fatah keturunan Raja Brawijaya. Kedua, membangun basis teritorial, keadaan Majapait yang rawan diistegrasi memberikan situasi kondusif bagi dibangunnya wilayah basis target dakwah. Basis teritorial dakwah walisanga berada pada sembilan wilayah negara bagian Majapahit. Kegigihan Raden Fatah membuat pedukuhan baru di Bintara Demak yang sebelumnya hutan belantara sebagai buktinya. Ketiga, melakukan dakwah persuasif ke masyarakat.

Dukungan rakyat sangat dibutuhkan dalam upaya penegakan Islam. Pendekatan dakwah wali melahirkan simpati dari rakyat diantaranya lewat kesenian seperti wayang dan nyanyian.

Wali Songo itu Para Pemuda

setiap biografi para wali, terdapat beberapa versi tentang asal-usul mereka, tahun kelahiran, sampai usia hidup mereka. Meskipun demikian ada beberapa patokan yang bisa menjadi ukuran pada usia berapa mereka berkiprah dalam perjuangan penegakan Islam di Tanah Jawa.

Tokoh sentral yang menjadi pencetak generasi futuh Islam adalah Sunan Ampel. Dari beberapa literatur Raden Rahmat yang kemudian dikenal dengan Sunan Ampel lahir pada tahun 1401 M besar dengan ibunya di Campa sampai usia 20 tahun yang selanjutnya datang ke Jawa setelah singgah selama dua bulan di Palembang dengan berdakwah kepada Arya Damar Raja Palembang (bapak tiri Raden Fatah). Artinya Sunan Ampel datang ke Jawa sekitar tahun 1421, setelah di Jawa dia menikah dengan putri dari Tumenggung Wilatikta (Keturunan Ranggalawe) dan menetap di Ampel Denta. Bila perintisan pusat pengkaderan Ampel Denta sekitar tahun 1422 M direntangkan dengan runtuhnya kerajaan Majapahit dan berdirinya Negara Islam Demak pada tahun 1478 M maka gerakan Islam para wali secara akseleratif mencapai futuh berlangsung selama 56 Tahun. Ini sebuah pencapaian yang fantastis…Subhanallah….Allohu Akbar.

Siapa para penyokong gerakan Ampel Denta ? mereka tiada lain adalah kader-kader yang disiapkan sejak kecil oleh Sunan Ampel. Tokoh-tokoh yang berperan besar bagi tegak berdiri Negara Islam Demak diantaranya : Raden Paku atau Jaka Samudra menantu Sunan Ampel (Sunan Giri), Raden Makdum Ibrahim putra Sunan Ampel (Sunan Bonang), Raden Qosim putra Sunan Ampel (Sunan Drajat), Jafar Sodiq (Sunan Kudus), Raden Sahid menantu Sunan Ampel (Sunan Kalijaga), dan Raden Hasan putra Raja Brawijaya yang menjadi anak tiri Arya Damar dan menantu Sunan Ampel (Raden Fatah).

Meskipun mereka tidak dalam usia yang sama, bisa dipastikan mereka berkiprah dalam kancah dakwah dan perjuangan penegakan Islam di tanah Jawa pada usia yang masih muda. Sunan Giri yang dituakan dan menjadi pimpinan Dewan Walisanga oleh para wali yang lain setelah Sunan Ampel wafat 1478 M tepat dengan runtuhnya Majapahit adalah murid Sunan Ampel yang seangkatan dengan Sunan Bonang putra pertama Sunan Ampel. Sunan Giri dan Sunan Bonang memiliki perjalanan pendidikan dan pengkaderan dalam satu angkatan, selain menerima pendidikan di Ampel Denta, Sunan Ampel mengirim Sunan Bonang dan Sunan Giri ke Mekah dan selanjutnya ke Negeri Pasai untuk mendapatkan pendidikan dari Syekh Awalul Islam Maulana Ishak bapak dari Sunan Giri. Kedua-duanya juga mendapat pelajaran sejumlah ulama besar di Pasai yang berasal dari Baghdad, Mesir dan Iran.

Jaka Samudra atau Raden Paku atau Sunan Giri lahir sekitar tahun 1443 dan wafat pada tahun 1506 M pada usia 63 tahun. Ini berarti pada saat runtuhnya kerajaan Majapahit 1478 M, Sunan Giri masih berusia 35 tahun. Yang berarti pula usia para wali yang lainnya usia sekitar 35-an bahkan ada yang lebih muda dari itu.Luar biasa…

Sunan Giri ; Aktor Berdirinya Negara Islam Demak

Nama kecil Sunan Giri adalah Jaka Samudra ayahnya Maulana Ishak Syekh Awalul Islam dari Pasai, Ibunya Sekardadu, putri Raja Blambangan Lahir sekitar 1443 M, Masa kecilnya mengenyam pendidikan di Pesantren Ampel Denta, setelah menginjak remaja bersama Raden Makdum Ibrahim (Sunan Bonang) ditugaskan Sunan Ampel belajar ke Mekkah dan selanjutnya menempuh pedidikan di Negara Islam Pasai oleh Bapaknya Maulana Ishak.

Setelah selesai menempuh pendidikan di Pasai, Raden Paku (Gelar yang diberikan oleh Sunan Ampel) melaksanakan pesan dari ayahnya, Syekh Maulana Ishak untuk mendirikan pusat dakwah Islam di wilayah Gresik (Sepertinya Syekh Maulana Ishak ingin anaknya melanjutkan dakwah Syekh Maulana Malik Ibrahim di Gresik), tapi ia diminta oleh Syekh untuk mencari tanah yang sama persis dengan tanah yang di berikan Syekh dalam bungkusan. Di kisahkan selama 40 hari ia bertafakur meminta petunjuk dari Allah SWT, selesai bertafakur ia pergi mengembara. Di sebuah perbukitan di Desa Sidomukti, Kebomas, ia kemudian mendirikan Pesantren Giri. Sejak itu Raden Paku dikenal dengan Sunan Giri. Dalam bahasa Sansakerta, “giri” berarti Gunung. Syahdan, pesantren Giri terkenal ke seluruh penjuru Jawa, bahkan sampai ke Madura, Lombok, Kalimantan, Sulawesi dan Maluku. Menurut Babad Tanah Jawi murid Sunan Giri menyebar sampai ke Cina, Mesir, Arab dan Eropa.

Di daerah Gresik dan sekitarnya, Kewalian Giri Kedhaton sangat dihormati dan ditaati. Bahkan untuk urusan politik pun diserahkan kepada kewalian Giri Kedhaton, sehingga disana juga berdiri sebuah komunitas yang “mirip kerajaan”. Pada masa Majapahit, Kewalian Giri Kedhaton merupakan oposisi yang merisaukan para penguasa Majapahit. Kewalian Giri mendapat sokongan dari para pedagang di sepanjang Pantai Utara Jawa. Tak urung, Majapahit melakukan penyerangan ke Kewalian Giri sebanyak dua kali. Namun kedua serangan itu kandas alias gagal.

Nama Sunan Giri tidak bisa dilepaskan dari proses pendirian Negara Islam Demak. Ia adalah aktor yang menjadi bagian dalam merencanakan berdirinya Negara Islam serta terlibat dalam penyerangan ke Majapahit sebagai penasihat militer.

Dalam Babad Demak dikisahkan, ketika panglima bala tentara Islam Sunan Ngudung syahid dalam peperangan dengan Majapahit, suasana memprihatinkan melanda seluruh balatentara Islam. Sunan Bonang yang bertindak sebagai Panglima tertinggi Angkatan Perang Islam memilih Sunan Kudus, putra Sunan Ngudung, sebagai panglima perang menggantikan ayahandanya. Dalam penunjukan itu Sunan Bonang berkata kepada Sunan Kudus bahwa ia akan didampingi oleh Sunan Giri dalam penyerangan ke Majapahit beserta para wali lainnya.

Tidak hanya Sunan Giri yang menyertainya tetapi seluruh kekuatan Laskar Giri Kedhaton juga ikut serta. Sunan Giri tidak saja mengirimkan pasukannya tetapi juga dialah yang memerintahkan Bupati Sumenep, Pamekasan, Balega dan Panaraga agar mengerahkan tentaranya ikut dalam barisan Islam. Dalam peperangan itu pasukan Islam mendapat kemenangan besar. Masa Hindu berlalu kemudian tergantikan dengan Islam.

Ketika Kerajaan Majapahit runtuh 1478 M, para wali memproklamasikan berdirinya Negara Islam Demak dan diputuskan Bintoro sebagai pusatnya. Sunan Giri dipercaya untuk meletakan dasar-dasar negara masa perintisan selama 40 hari. Setelah 40 hari, Sunan Giri memangku jabatan, ia menyerahkan tampuk kepemimpinan Islam kepada Raden Fatah, putera Raja Majapahit, Brawijaya Kertabhumi.

Ketika Sunan Ampel ketua para Wali wafat, Sunan Giri diangkat sebagai penggantinya. Atas usulan Sunan Kalijaga, ia diberi gelar Prabu Satmata.

Menurut De Graff, lahirnya berbagai kerajaan Islam seperti Demak, Pajang dan Mataram, tidak lepas dari peranan Sunan Giri dan penerus Giri Kedaton. Pengaruhnya, kata sejarawan Jawa itu, melintas sampai ke luar Pulau Jawa seperti Makasar, Hitu dan Ternate. Konon, seorang raja barulah sah kerajaanya kalau sudah direstui oleh Sunan Giri.

Sunan Bonang; Panglima Tentara Demak

Raden Makhdum atau Raden Maulana Makhdum Ibrahim selanjutnya dikenal dengan Sunan Bonang adalah putera Sunan Ampel dan seperti yang sudah dituliskan di atas dalam sejak kecil mendapat pendidikan dan pengkaderan seangkatan dan seperjalanan dengan Sunan Giri.

Yang terkenal sampai dengan sekarang warisan dari Sunan Bonang adalah Syi’iran Tamba Ati (Tombo Ati-nya Opick). Pada masanya Sunan Bonang menyanyikan Tombo Ati sebagai media dakwah untuk mengajak masyarakat menerima Islam Kaffah.

Pulang menuntut ilmu, Sunan Bonang ditugaskan oleh Sunan Ampel berdakwah di Tuban, Pati, Pulau Madura dan Pulau Bawean di utara Pulau Jawa. Sama seperti sahabatnya Sunan Giri, yang mendirikan pusat dakwah di Gresik, Sunan Bonang mendirikan pesantren sebagai pusat dakwah di Tuban. Sunan Bonang termasuk da’i yang sukses mengemban amanah dakwah dengan pendekatan-pendekatan yang kreatif diantaranya melalui kesenian.

Sunan Bonang termasuk aktor utama futuh Islam di tanah Jawa. Ia terlibat dalam mendirikan Masjid Demak dan menjadi Panglima Tertinggi Angkatan Perang Islam Demak. Dialah yang mengangkat Sunan Ngudung sebagai Panglima Tentara Islam Demak yang melakukan penyerangan ke Majapahit dan selanjutnya di gantikan oleh puteranya Sunan Kudus setelah Sunan Ngudung Syahid.

Raden Fatah alias Al-Fatah; Sang Pemimpin Muda

Dalam Babad Tanah Jawi dikisahkan, tentang silisilah Raja-raja Majapahit. Prabu Adining Kung berputra Hayam Wuruk. Hayam Wuruk berputra Lembu Amisani, patihnya bernama Deming Wular. Lembu Amisani berputra Bra Tanjung. Bra Tanjung berputra Raden Alit, setelah menjadi raja bergelar Brawijaya, patihnya Gajah Mada.

Sang Prabu Brawijaya beristrikan puteri raja dari Campa. Raja Campa ini memiliki dua putri, putri pertama nikah dengan Brawijaya sementara putri bungsunya menikah dengan Makdum Brahim Asmara alias Maulana Malik Ibrahim ayah dari Sunan Ampel (ini berarti Prabu Brawijaya Raja Majapahit adalah ‘Ua dari Sunan Ampel). Alkisah sang Prabu Brawijaya beristri lagi dan memperoleh putri dari Cina. Istri tua dari Cempa sangat kecewa tidak rela di madu dengan putri dari Cina.

Karena besar kasihnya terhadap istri pertama, Prabu Brawijaya sanggup memulangkan putri Cina itu. Sang Raja lalu memanggil Patih Gajah Mada untuk diutus menyerahkan putri Cina itu kepada Arya Damar (Sebelumnya Jaka Dilah yang karena pengabdian dan karyanya bagi Majapahit, Jaka Dilah diangkat kedudukannya menjadi Raja di Palembang dengan gelar Arya Damar). Patih Gajah Mada berangkat membawa putri Cina itu dan bertemu dengan Arya Damar di Gresik, melaksanakan perintah raja serta menyerahkan surat. Bunyi surat, “ Putri Cina dilengserkan jadi istri Arya Damar, tetapi berhubung baru mengandung tidak diizinkan untuk menidurinya, tunggulah sampai melahirkan”. Arya Damar bersedia. Arya Damar segera berangkat, selamat sampai Palembang lalu menjadi Raja.

Alkisah putri Cina yang diserahkan kepada Arya Damar sudah melahirkan seorang anak laki-laki, bernama Raden Hasan yang selanjutnya dijuluki Raden Fatah atau Al-Fatah. Setelah dewasa Arya Damar berharap Raden Fatah menggantikannya menjadi Raja Palembang tetapi Raden Fatah menolaknya. Bersama adiknya  (anak Arya Damar) Raden Husen sepakat pergi meninggalkan Palembang ke Jawa untuk mengabdi ke Brawijaya di Majapahit dengan menumpang kapal para saudagar dan berhenti di Sura Pringga. Disitu keduanya turun ke darat berhenti di Ampel Denta. Mereka selanjutnya berguru kepada Sunan Ampel di Pesantren Ampel Denta. Lama menetap di Ampel Denta, Raden Fatah menikah dengan putri Sunan Ampel, Asyikah.

Dalam tulisan sebelumnya, program akselerasi dakwah Sunan Ampel di wilayah Majapahit menempatkan Raden Hasan (Raden Fatah) menjadi koordinator dakwah di wilayah Lasem menggantikan kakeknya Syekh Bah Tong atau Syekh Bentong. Berpusat di Glagah Wangi Bintara dan mendapat gelar Pangeran Bintara. Sementara Raden Husen saudara seibu Raden Hasan (anak Arya Damar) di tempatkan di ibukota Majapahit, oleh Prabu Brawijaya Kertabumi, Raden Hasan diterima sebagai abdi kerajaan dan mendapat gelar Adipati Terung. Daerah Bintara inilah yang selanjutnya menjadi pusat pemerintahan Negara Islam Demak.

Prabu Brawijaya Kertabumi mendengar berita bahwa ada orang yang bertempat tinggal di hutan Bintara, terkenal dimana-mana tentang besaran pedukuhan dan kesaktiannya. Raja memanggil para menteri untuk menanyakan benar-tidaknya kabar itu. Adipati Terung menjawab memang benar bahwa yang tinggal di sana adalah saudara tuanya (Adipati Terung tidak mengungkapkan asal usul mereka berdua). Sang Prabu lalu memberi perintah untuk memanggilnya. Singkat cerita Raden Fatah tiba di kerajaan Majapahit menghadap Prabu Brawijaya, Sang Prabu sangat gembira, jatuh hatinya kepada Raden Fatah sebab rupanya sangat mirip Sang Prabu. Lalu diaku sebagai putera, diangkat menjadi Adipati Bintara. Selanjutnya Raden Fatah kembali ke pedukuhan Bintara yang selanjutnya dikenal pula dengan nama Demak dengan membawa satu laksa abdi (10.000 tentara), serta di beri gajah, kapal, tandu dan pedati. Lama-lama pedukuhan Demak  menjadi makin gemah-ripah.

Raden Fatah berhasil merubah Bintara yang asalnya hutan belantara yang tumbuh pohon yang wangi sehingga dikenal dengan pedukuhan Glagah Wangi Bintara menjadi kawasan yang ramai dan terkenal. Letaknya geografisnya yang sangat menguntungkan untuk perdagangan dan pertanian. Dari hutan belantara berubah menjadi gudang padi dan kota pelabuhan yang berdatangan kapal-kapal dagang yang berlayar lewat pantai utara Jawa menuju Maluku. Bintara Demak juga menjadi penghubung antara Jawa Tengah dengan Jawa Timur. Seperti dalam Badab Tanah Jawi sebelum runtuhnya Majapahit, Demak Bintara sudah merupakan Negeri yang gemah ripah.

Proklamasi Berdirinya Negara Islam Demak

Dalam Babad Tanah Jawi dikisahkan, Raja Brawijaya ingat akan puteranya yang tinggal di Bintara. Sabdanya kepada Adipati Terung, “ bagaimana kakakmu sudah sekian lama tidak pernah menghadap.

Janjinya setiap tahun akan menghadap, ini sudah tiga tahun tidak datang kesini. Apakah sudah mulia, lalu lupa pada saya. Kalau begitu, pergilah ke Bintara tanyakan pada kakakmu apa sebeb tidak menghadap sang raja?”.

Adipati terung segera ke Bintara diiringi sepuluh ribu pasukan. Sesudah ketemu dengan kakaknya serta menyampaikan panggilan sang Raja. Raden Fatah menjawab,” Terima kasih sungguh sangat besar anugerah kasih sayang sang Prabu. Adapun sebab tidak sowan, adalah begitu besar pantangan agama, yang tidak mengizinkan umat Islam untuk mengabdi kepada orang kafir. Serta sudah ditakdirkan bahwa di Bintara akan berdiri kerajaan yang menjadi awal orang Jawa beragama Islam”.

Pernyataan Raden Fatah menunjukan sikap aqidah Islamiyah yang telah tertanam dalam hati sanubarinya. Keyakinan akan wajibnya menegakan perjuangan Islam dengan Pola Furqon, yaitu sikap buro’ah berlepas diri, menjauhi sampai memerangi orang-orang kafir hatta mereka beriman dan berislam.

Adipati Terung tanggap dalam hatinya, takut kembali ke Majapahit jika tidak bersama dengan kakaknya. Ia lalu menyuruh Raden Fatah segera melaksanakan niatnya. Adipati Terung akan membantu dalam peperangan. Mereka kemudian berunding bersama, umat Islam di kumpulkan lengkap beserta senjata-senjatanya di Bintara. Bupati di Madura, Arya Teja di Cirebon, Bupati di Sura Pringga serta Sunan Giri juga sudah berkumpul di Bintara dengan bala-pasukannya. Apalagi para wali dan para mukmin sudah juga sudah berkumpul. Semuanya lalu bersama berangkat ke Majapahit. Banyak barisan tak terhitung, kota Majapahit dikepung. Orang-orang Majapahit banyak takluk kepada Adipati Bintara, tak ada yang berani menyambut perang. Adipati Bintara, Adipati Terung lalu masuk ke alun-alun. Adipati Bintara duduk di dampar yang ada di pagelaran di hadapan para prajurit.

Patih Gajah Mada memberitahu Sang Prabu, kedatangan musuh dari Bintara dan sekarang Adipati Bintara berada di pagelaran. Prabu Brawijaya setelah mendengar puteranya ada di sana lalu naik ke panggung untuk melihat putranya itu. Setelah tahu bahwa putranya betul-betul ada di pagelaran, beliau gaib bersama bala-pasukan yang setia dengan rajanya.

Adipati Bintara lalu masuk ke istana. Bukan main herannya ketika tidak dijumpai seorangpun di situ. Sang Adipati menangis dalam hatinya. Ia lalu keluar istana kembali ke Bintara dengan semua pengawal dan prajuritnya. Setibanya di Bintara, Sunan Ampel Denta berkata kepada Adipati Bintara supaya menjadi raja di Majapahit yang telah menjadi warisannya.

Seperti sudah dituliskan sebelumnya Sunan Giri menjadi peletak dasar-dasar negara Islam selama 40 hari, dalam istilah Babad Tanah Jawi,”ia memantrai agar hilang bekasnya raja kafir”.

Tahun 1478 M berdirilah Negara Islam yang beribukota di Demak dan menguasai seluruh tanah Jawa dengan Rajanya Raden Fatah yang bergelar Senapati Jin Bun Ngabdur Rahman Panembahan Palembang Sajidin Panatagama. Ki Wana Pala diangkat patih bernama Patih Mangkurat. Sementara posisi para wali menempati Majelis Syuro dan Dewan Fatwa yang diketuai oleh Sunan Giri setelah wafatnya Sunan Ampel.

Senapati adalah gelar kesatria tertinggi panglima militer,  ini bisa dipahami karena negara yang dibentuk pada situasi kondisi perang dimana pemimpin negara pada masa perang dipimpin oleh Panglima Tertinggi Angkatan Perang, Jin Bun adalah nama kecil dari Raden Fatah yang merupakan keturunan putri raja dari Cina dan cucu dari Syekh Bah Tong (Syekh Bentong), Panembahan Palembang menunjukan masa kecil yang dididik oleh Arya Damar bapak tirinya Raden Fatah yang merupakan Raja di Palembang. Gelar utama pimpinan Negara Islam Demak ini adalah Ngabdur Rahman dan Sajidin Panatagama. Ngabdur Rahman menunjukan pada status di hadapan Allah bahwa beliau adalah Ibadur Rahman, dan Sajidin Panatagama menunjukan pada fungsi perannya sebagai pemelihara, pelaksana, penata Ad-Dien atau pembawa Ad-Dien artinya beliau adalah pelanjut fungsi peran Rosul sebagai pembawa Huda dan Dien.

Proses Pelembagaan Islam : Dari Dakwah ke Negara

Penting di cermati di dalam pelembagaan Islam yaitu proses terbentuknya Institusi Sosio Politik Islam dalam bentuk Negara Islam Demak, Dakwah Walisanga yang menjadi tokoh sentral  perjuangan, menggunakan beberapa tahapan, yaitu : Pertama , Mendirikan Masjid. Masjid di dalam bahasa Arab ialah isim makan dari fi’il sajada yang artinya bersujud. Sebagai isim makan (kata benda tempat) maka masjid berarti tempat bersujud. Mendirikan masjid berarti membangun tempat sujud. Apa yang dilakukan para wali ini mengushwah dari apa yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW, proses hijrah dari Mekah ke Yatrib yang selanjutnya menjadi Madinah-ibukota Islam, Beliau terlebih dahulu mendirikan Masjid Nabawi yang menjadi pusat sujud nya umat Islam. Sujudnya seorang hamba Allah adalah dengan meninggikan Kalimat Allah Subhana Rabbi’al A’la. Mengsucikan Allah Rabb yang Maha Tinggi, Dia-lah Al-Malikul Haqqul Mubin . Pusat sujudnya umat Islam berarti pula pusat komando perjuangan penegakan Kalimat Allah. Maka para wali mendirikan masjid, bukan hanya berfungsi sebagai tempat ritual ibadah Shalat akan tetapi menjadi tempat pengkajian, ta’lim, tarbiyah, tempat musyawarah, koordinasi dakwah dan lainnya. Dari masjidlah da’wah Islam dimulai.

Tahapan kedua, mendirikan pesantren. Secara etimologis, pengertian pesantren memang debatable. Perdebatan itu terjadi terutama menyangkut dari mana asal kata pesantren itu muncul. Akar katanya tentu saja santri, namun bisa saja ia berasal dari Persi atau India, yakni shastri yang berarti orang yang sedang belajar. Ada kemungkinan kata shastri tersebut kemudian dibahasa jawakan menjadi santri, sehingga tempat yang dihuni oleh santri kemudian disebut pesantren, yang berarti tempat belajar.

Setiap wali memiliki pesantren yang dinisbahkan dengan nama dimana wali tersebut berada. Pesantren Ampel, pesantren Bangkuning, pesantren Drajat, pesantren Giri dan sebagainya. Lembaga-lembaga pesantren itulah yang paling menentukan watak keislaman dari kerajaan-kerajaan Islam, dan yang memegang peranan paling penting bagi dakwah Islam sampai pelosok-pelosok. Pesantren telah menjadi oven tempat pembakaran ruh jihadi yang menggelora bagi setiap pemuda, melahirkan kader-kader pejuang Islam yang terus menerus sehingga tidak ada lost generation bagi keberlangsungan dakwah.

Puncak pelembagaan Islam adalah dengan didirikannya kerajaan Islam sebagai institusi sosio politik Islam yang menjadi basis bagi dominasi Islam.

Sunan Kalijaga; Politikus Empat Zaman

Sunan Kalijaga hidup dalam empat dekade pemerintahan. Yakni masa Majapahit (sebelum 1478), Kesultanan Demak (1481 – 1546), Kesultanan Pajang (1546-1568), dan awal pemerintahan Mataram (1580-an).

Di antara anggota Dewan Wali, Sunan Kalijaga merupakan wali yang paling populer di mata orang Jawa. Ketenaran wali ini adalah karena ia seorang ulama yang cerdas. Ia juga seorang politikus yang “mengasuh” para raja beberapa kerajaan Islam. Selain itu Sunan Kalijaga jiga dikenal sebagai budayawan yang santun dan seniman wayang yang hebat.

Nama kecilnya adalah Raden Sahid, diperkirakan lahir 1430-an, dihitung dari tahun pernikahan Kalijaga dengan putri Sunan Ampel. Ketika itu Sunan Kalijaga diperkirakan berusia 20-an. Sunan Ampel yang diyakini lahir 1401 menikahkan putrinya  dengan Sunan Kalijaga, berusia 50-an. Raden Sahid adalah putera Tumenggung Wilwatikta, Adipati Tuban (mertua Sunan Ampel) adalah keturunan Ranggalawe yang sudah menjadi muslim dan berganti nama Raden Sahur. Bila perkiraan itu benar, maka saat jatuhnya kerajaan Majapahit dan berdirinya Negara Islam Demak, usia Sunan Kalijaga sekitar 48 tahun.

Bila para wali lain seperti Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Drajat mendapat pendidikan dan pengkaderan Islam sejak kecil oleh Sunan Ampel. Maka Sunan Kalijaga tergolong berbeda karena masa mudanya tergolong “anak kolong” anak pejabat yang “brandal”.  Konon Raden Sahid ini suka mencuri dan merampok meskipun hasilnya suka dibagikan kepada rakyat jelata, solidaritas yang tinggi sehingga ia tak segan-segan masuk dan bergaul ke dalam lingkungan rakyat jelata. Raden Sahid adalah seorang yang sangat sakti. Karena saktinya beliau mendapat julukan Berandal Lokajaya.

Raden Sahid selanjutnya menjadi kaderan Sunan Bonang, konon pernah menjadi da’i di desa Kalijaga di wilayah Cirebon sehingga dikenal dengan Sunan Kalijaga. Menurut catatan Husein Jayadiningrat, Kalijaga berdakwah hingga ke Palembang, Sumatera Selatan. Kalijaga tiba di kawasan Cirebon setelah berdakwah dari Palembang.

Dalam Babad Cirebon dikisahkan Sunan Kalijaga menetap beberapa tahun di Cirebon, persisnya di Desa Kalijaga, sekitar 2,5 kilometer arah selatan kota. Pada awal kedatangannya, Kalijaga menyamar dan bekerja sebagai pembersih Masjid Kraton Kasepuhan. Disinilah Sunan Kalijaga bertemu dengan Sunan Gunung Jati.

Setelah beberapa tahun menetap di Cirebon, Kalijaga kembali ke Demak di wilayah Kadilangu dan melanjutkan misi dakwahnya di daerah pesisir Demak hingga daerah-daerah pedalaman. Peran dakwah Sunan Kalijaga bersama-sama Raden Fatah adalah menjadikan Demak sebagai wilayah kondusif sebagai basis Negara Islam. Selanjutnya Sunan Kalijaga dikenal dengan guru spiritul rakyat Jawa.

Cirebon; Gerbang Dakwah Islam Jawa Barat

Pada tahun 1416 M, armada angkatan laut Cina mengadakan pelayaran keliling, atas perintah Kaisar Cheng-Hu atau Kaisar Yunglo, Kaisar Dinasti Ming yang ketiga. Armada angkatan laut tersebut dipimpin oleh Laksamana Cheng Ho alias Sam Po Tay Kam seorang muslim. Dalam rombongan armadanya, terdapat seorang Ulama Islam bernama Syekh Hasanudin berasal dari Campa, bermaksud berdakwah di Jawa. Dalam pelayaran menuju Majapahit, armada Cheng Ho singgah di Pura, Karawang. Ketika armada Cheng Ho singgah di Pura Karawang, Syekh Hasanudin dan pengiringnya turun, di antara pengiringnya adalah putranya yang bernama Syekh Bentong alias Kiyai Bah Tong alias Tan Go Wat.

Syekh Bentong selanjutnya tinggal di Gresik  menjadi Saudagar dan da’i. Dari istrinya Siu Te Yo, ia mempunyai seorang puteri diberi nama Siu Ban Ci, puteri ini yang diperistri oleh Prabu Brawijaya Kertabumi Raja Majapahit. Dari perkawinannya dengan Siu Ban Cin, memperoleh putera yang diberi nama Jin Bun oleh Kakeknya. Jin Bun alias Praba alias Raden Hasan alias Raden Fatah selanjutnya menjadi Senapati Jin Bun Ngabdur Rahman Panembahan Palembang Sajidin Panatagama ( lihat pembahasan sebelumnya)

Kembali ke Syekh Hasanudin, setelah beberapa lama tinggal di Pura Karawang, berjodoh dengan Ratna Sondari, puteri penguasa daerah Pura Karawang, yaitu Ki Gedeng Karawang. Dari perkawinannya memperoleh putera yang kemudian dikenal sebagai Syekh Ahmad yang menjadi penghulu (na’ib) pertama di Karawang.

Seijin Ki Gedeng Karawang, juga atas ijin Sang Mahaprabu Niskala Wastu Kancana penguasa kerajaan Sunda Padjadjaran, Syekh Hasanudin beserta pengiringnya mendirikan pesantren yang diberi nama Pondok Quro (diberi nama demikian karena mengutamakan pendidikan Al-Qur’an), sehingga ia pun dikenal dengan Syekh Quro. Pondok Quro menjadi pesantren tertua di Jawa Barat.

Dari kedatangan Syekh Hasanudin di Pura Karawang sekitar tahun 1416 M, dan perjalanan Syekh Bentong yang menjadi bagian gerakan dakwah Sunan Ampel. Bisa disimpulkan gerakan dakwah di wilayah Jawa Timur dan Wilayah Jawa Barat berada pada satu masa yang sama.

Pesantren tertua lainnya terletak di kaki Bukit Amparan Jati yang disebut Pondok Quro Amparan Jati, yang didirikan oleh Syekh Datuk Kahfi. Syekh Datuk Kahfi adalah Cucu dari Syekh Maulana Ishak yang bergelar Syekh Awalul Islam alias Syekh Wali Lanang.  Syekh Datuk Kahfi datang ke Cirebon hampir bersamaan waktunya dengan Syekh Hasanudin yaitu sekitar tahun 1400-an. Di antara murid Pondok Quro yang menuntut Ilmu yaitu Pangeran Walangsungsang dan adiknya Rara Santang cucu Ki Gedeng Tapa, penguasa Kerajaan Singapura Muara Jati Cirebon. Oleh Syekh Datuk Kahfi, Pangeran Walangsungsang diberi nama panggilan baru Samadullah.

Atas perintah gurunya Samadullah ditugaskan untuk membuka perkampungan baru untuk mengsyi’arkan Islam. Selanjutnya Samadullah pada tahun 1445 M dengan dibantu oleh 52 orang penduduk, membuka perkampungan baru di hutan pantai kebon pesisir yang diberi nama Cirebon Larang atau Cirebon Pesisir. (sekarang tempat itu dikenal dengan desa Lemahwungkuk, Kodia Cirebon) Samadullah terpilih menjadi Pangraksabumi dengan julukan Ki Cakrabumi dijuluki pula Pangeran Cakrabuana.

Selanjutnya Samadullah menunaikan ibadah haji dan bermukim di Mekah selama 3 bulan berguru kepada Syekh Abdul Yazid, syekh ini memberi nama baru Haji Abdullah Iman. Sekembalinya ke Cirebon Haji Abdullah Iman terpilih menjadi kuwu kedua di Cirebon Larang dan mendirikan keraton yang diberi nama Keraton Pakungwati, serta membentuk tentara kerajaan. Cirebon Larang dengan Keraton Pakungwati menjadi kerajaan Islam pertama di wilayah Kerajaan Padjadjaran, dengan Haji Abdullah Iman sebagai raja daerah dengan gelar Sri Mangana. Pada saat Pangeran Cakrabuana alias Ki Samadullah, Keraton Pakungwati Cirebon masih dalam kekuasaan Padjadjaran.

Siapa Laksamana Cheng Ho ?

Dalam sejarah Indonesia, Laksamana Sam Po Kong dikenal dengan nama Zheng He, Cheng Ho, Sam Po Toa Lang, Sam Po Thay Jien, Sam Po Thay Kam, dan lain-lain. Laksamana Sam Po Kong berasal dari bangsa Hui, salah satu bangsa minoritas Tionghoa. Laksamana Cheng Ho adalah sosok bahariawan muslim Tionghoa yang tangguh dan berjasa besar terhadap pembauran, penyebaran, serta perkembangan Islam di Nusantara. Cheng Ho (1371 – 1435) adalah pria muslim keturunan Tionghoa, berasal dari propinsi Yunnan di Asia Barat Daya. Ia lahir dari keluarga muslim taat dan telah menjalankan ibadah haji yang dikenal dengan haji Ma.

Konon, pada usia sekitar 10 tahun Cheng Ho ditangkap oleh tentara Ming di Yunnan. Pangeran dari Yen, Chung Ti, tertarik melihat Cheng Ho kecil yang pintar, tampan, dan taat beribadah. Kemudian ia dijadikan anak asuh. Cheng Ho tumbuh menjadi pemuda pemberani dan brilian. Di kemudian hari ia memegang posisi penting sebagai Admiral Utama dalam angkatan perang.

Pada saat kaisar Cheung Tsu berkuasa, Cheng Ho diangkat menjadi admiral utama armada laut untuk memimpin ekspedisi pertama ke laut selatan pada tahun 1406. Sebagai admiral, Cheng Ho telah tujuh kali melakukan ekspedisi ke Asia Barat Daya dan Asia Tenggara. Selama 28 tahun (1405 – 1433 M) Cheng Ho telah melakukan pelayaran muhibah ke berbagai penjuru dunia dengan memimpin kurang lebih 208 kapal berukuran besar, menengah, dan kecil yang disertai dengan kurang lebih 27.800 awak kapal. Misi muhibah pelayaran yang dilaksanakan oleh Laksamana Cheng Ho bukan untuk melaksanakan ekspansi, melainkan melaksanakan misi perdagangan, diplomatik, perdamaian, dan persahabatan. Ini merupakan pelayaran yang menakjubkan, berbeda dengan pengembaraan yang dilakukan oleh pelaut Barat seperti Cristopherus Colombus, Vasco da Gamma, atau pun Magelhaes.

Sebagai bahariawan besar sepanjang sejarah pelayaran dunia, kurang lebih selama 28 tahun telah tercipta 24 peta navigasi yang berisi peta mengenai geografi lautan. Selain itu, Cheng Ho sebagai muslim Tiong Hoa, berperan penting dalam menyebarkan agama Islam di Nusantara dan kawasan Asia Tenggara.

Pada perjalanan pelayaran muhibah ke-7, Cheng Ho telah berhasil menjalankan misi kaisar Ming Ta’i-Teu (berkuasa tahun 1368 – 1398), yaitu misi melaksanakan ibadah haji bagi keluarga istana Ming pada tahun 1432 – 1433. Misi ibadah haji ini sengaja dirahasiakan karena pada saat itu, bagi keluarga istana Ming menjalankan ibadah haji secara terbuka sama halnya dengan membuka selubung latar belakang kesukuan dan agama.

Untuk mengesankan bahwa pelayaran haji ini tidak ada hubungannya dengan keluarga istana, sengaja diutus Hung Pao sebagai pimpinan rombongan. Rombongan haji itu tidak diikuti oleh semua armada dalam rombongan ekspedisi ke-7. Rombongan haji ini berangkat dari Calleut (kuli, kota kuno) di India menuju Mekkah (Tien Fang).

Demikianlah misi perjuangan dan misi rahasia menunaikan ibadah haji yang dijalankan Cheng Ho, dan misi tersebut berhasil. Akan tetapi Cheng Ho merasa sedih karena tidak bisa bebas berlayar menuju tanah leluhurnya, Mekkah, untuk beribadah haji dan berziarah ke makam Nabi Muhammad SAW. Sebelumnya, pada ekspedisi ke-5, armada Cheng Ho telah berhasil mencapai pantai timur Afrika dalam waktu tiga tahun. Dalam kesempatan tersebut, armada Cheng Ho berkunjung ke kerajaan di Semenanjung Arabiah dan menunaikan panggilan Allah ke Mekkah.

Sejarah tentang perjalanan muhibah Cheng Ho, hingga saat ini masih tetap diminati oleh berbagai kalangan, baik kalangan masyarakat Indonesia pada umumnya, maupun masyarakat keturunan Tionghoa. Chneg Ho telah menjadi duta pembauran negeri Tiongkok untuk Indonesia yang diutus oleh kaisar Dinasti Ming pada tahun Yong Le ke-3 (1405). Dalam tujuh kali perjalanan muhibahnya ke Indonesia, Laksamana Cheng Ho berkunjung ke Sumatera dan Pulau Jawa sebanyak enam kali.

Kunjungan pertama adalah ke Jawa, Samudera Pasai, Lamrbi (Aceh Raya), dan Palembang. Sebagian besar daerah yang pernah dikunjungi Cheng Ho menjadi pusat dagang dan dakwah, diantaranya Palembang, Aceh, Batak, Pulau Gresik, Semarang (di sekitar Gedong Batu), Surabaya, Mojokerto, Sunda Kelapa, Ancol, dan lain-lain. Gerakan dakwah pada masa itu telah mendorong kemajuan usaha perdagangan dan perekonomian di Indonesia.

Dalam perjalanan muhibahnya, setiap kali singgah di suatu daerah ia banyak menciptakan pembauran melalui bidang perdagangan, pertanian, dan peternakan.

Misi muhibah yang dilakukan Cheng Ho memberikan mamfaat yang besar bagi negeri yang dikunjunginya.***

(Sumber : Majalah Percikan Iman No. 9 Tahun II September 2001)

Syarif Hidayatullah; Sunan Gunung Jati

Pangeran Walangsungsang yang selanjutnya bergelar Sri Manggana raja pertama daerah Cirebon Larang, memiliki adik bernama Rara Santang. Ketika Walangsungsang menunaikan ibadah Haji, Rara Santang juga ikut serta untuk berhaji. Diceritakan ketika sampai di pelabuhan Jedah, Samadullah alias Walangsungsang dan Rara Santang bertemu dengan Syarif Abdullah, penguasa (walikota) di negeri Mesir. Syarif Abdullah adalah keturunan Bani Hasyim yang pernah berkuasa di tanah Palestina. Di kota Mekah, Rara Santang dipersunting oleh Syarif Abdullah yang selanjutnya setelah menunaikan ibadah Haji, Rara Santang diboyong ke negeri Mesir. Dari perkawinan Syarif Abdullah dan Rara Santang (Hajjah Syarifah Muda’im) di karuniai seorang putera bernama Syarif Hidayatullah, lahir tahun 1448 M.

Pada masa remajanya Syarif Hidayatullah berguru kepada Syekh Tajudin al-Kubri dan Syekh Ataullahi Sadzili di Mesir, kemudian ia ke Baghdad untuk belajar Tasawuf. Pada usia 20 tahun, Syarif Hidayatullah pergi ke Mekah untuk menuntut Ilmu.

Ketika Rara Santang (Hajjah Syarifah Muda’im) kembali ke Cirebon 1475 M, ia disertai suaminya dan puteranya Syarif Hidayatullah tinggal dan menetap di Cirebon Larang yang telah diperintah oleh pamannya Pangeran Cakrabuana alias Haji Abdullah Iman.

Sebelum menjadi Susuhunan Jati, Syarif Hidayatullah melakukan kegiatan Dakwah di Banten Pesisir yang saat itu dirajai oleh Sang Surasowan. Menurut cerita lain sebelum ke Banten Pesisir, Syarif Hidayatullah pergi ke Demak menemui Sunan Ampel untuk bersilaturahmi, dimungkinkan perginya Syarif Hidayatullah ke Banten Pesisir atas perintah dari Sunan Ampel. Untuk kepentingan dakwahnya, Syarif Hidayatullah menikahi Nyi Ratu Kawunganten putri Sang Surasowan penguasa Banten Pesisir. Ia diakuniai dua orang putra-putri yaitu Hasanuddin yang selanjutnya menjadi pelanjut dakwah ayahnya di Banten dan Ratu Winahon alias Ratu Ayu yang dinikahkan kepada Fachrullah Khan alias Fadhillah Khan alias Faletehan seorang Panglima perang tentara Demak.

Empat tahun kemudian atau 1479 M (setahun setelah berdirinya Negara Islam Demak) Pangeran Cakrabuana mengalihkan kekuasaanya kepada Syarif Hidayatullah (saat usia 31 th),  sebelumnya menikahkan Syarif Hidayatullah dengan putrinya Ratu Pakungwati.

Atas dukungan para wali, Syarif Hidayatullah memutuskan Cirebon menjadi Negara Islam yang merdeka terlepas dari pemerintahan pusat Pakuan Padjadjaran.

Upacara penobatan Syarif Hidayatullah yang bergelar Susuhunan Jati, di hadiri oleh Dewan Wali dan Pasukan Demak yang dipimpin langsung oleh Raden Fatah. Ketika Raden Fatah pulang ke Demak, sebagian pasukannya ditinggalkan untuk menjadi pengawal dan melindungi Susuhunan Jati.

Posisi Syarif Hidayatullah yang selanjutnya dikenal dengan Sunan Gunung Jati bukan hanya sebagai Susuhunan Jati Negara Islam Cirebon, tetapi dalam Dewan Wali menempati posisi yang sentral. Beliau memangku jabatan Khatib Agung Masjid Demak. Pada masa pemerintahan Demak beralih kepada  Pangeran Treggono (setelah  Raden Fatah wafat digantikan Pati Unus lalu Pangeran Trenggono), Sunan Bonang memerintahkan Sultan Demak baru untuk mengunjungi Sunan Gunung Jati, pada kesempatan itu Sunan menganugrahkan gelar kepada Pangeran Trenggono sebagai Sultan Ahmad Abdul-Arifin. Pemberian gelar tersebut mengandung arti legitimasi bagi Pangeran Trenggono untuk memimpin Negara Islam Demak. Perintah Sunan Bonang kepada Pangeran Trenggono untuk menemui Sunan Gunung Jati memberikan petunjuk pada posisi Sunan Gunung Jati saat itu sebagai ketua Dewan Wali setelah Sunan Ampel dan Sunan Giri wafat.

Metode Dakwah Para Wali di Jawa Barat

Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. (Qs. 16:125)

Hasil sukses yang diperoleh Walisanga dalam program dakwah Islam di tanah Jawa tidak bisa terlepas dari metode dakwah yang dipakai kala itu. Apa yang dilakukan oleh semua para wali berpijak dari landasan metode yang sama menurut Al-Qur’an dan tuntunan Sunnah Rosululloh SAW.

Dari bukti penelusuran sejarah, maka kita akan menemukan pola yang sama antara dakwah yang dikembangkan di wilayah Jawa bagian Timur mulai Syekh Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel beserta kadernya dengan dakwah yang dikembangkan di wilayah Jawa bagian Barat oleh Syekh Hasanudin alias Syekh Quro, Syekh Datuk Kahfi, Ki Samadullah alias Pangeran Cakrabuana, Syarif Hidayatullah alias Sunan Gunung Jati dan para keder selanjutnya, secara inspiratif mencontoh gerakan dakwah Nabi Muhammad SAW.

Pertama, mereka berdakwah melalui jalur keluarga/kerabat. Apa yang dilakukan oleh Sunan Ampel  dengan pengkaderan anak-anaknya dan menantunya pada akhirnya meretas jalan menuju tegak berdirinya Negara Islam Demak, dan semua kader-kadernya yang notabene anak mantunya memiliki peran sentral dalam perjuangan ini. Begitu pula dengan yang dilakukan oleh Syekh Quro dan Syekh Datuk Kahfi mampu menerobos pintu kerajaan Padjadjaran dengan mengkader trah keturunan raja Padjadjaran diantaranya Pangeran Walangsungsang dan Rara Santang yang kemudian melahirkan generasi Susuhunan Jati.

Kedua, dengan menerapkan proses Tarbiyah, Tazkiyah, Ta’lim secara kontinu dalam wahana pendidikan Islam. Bila di Jawa bagian Timur menyebar pesantren-pesantren sebagai pusat kaderisasi Islam, maka di Jawa bagian Barat berdiri Pondok Quro atau Pondok Al-Qur’an tempat membina generasi Qur’ani. Syekh Hasanudin mendirikan Pondok Quro di Pura Karawang, Syekh Datuk Kahfi mendirikan Pondok Quro di Amparan Jati Cirebon, Syekh Bayanullah adik Syekh Datuk Kahfi mendirikan Pondok Quro di Sidapura Kuningan. Pondok-pondok inilah yang mengsyi’arkan dakwah Islam di wilayah pantai utara (Pantura) Jawa Barat. Baik pesantren maupun pondok dilihat dari fungsi dan perannya adalah upaya cerdas para da’i dalam mengushwah As-Suffah yang berdiri pada masa Nabi Muhammad.

Ketiga, dengan melakukan Revolusi Budaya, sebuah perubahan yang cerdas yang dilakukan oleh para wali. Islam merambah pada tataran seni, budaya, adat istiadat yang sebelumnya di dominasi oleh kebudayaan Hindi-Budhis. Revolusi Budaya yang tidak menimbulkan gejolak, revolusi yang dilakukan secara arif dan bijak. Bisa dibayangkan kelompok masyarakat asli yang baru setengah berpakaian, dekil, dengan rambut gimbal berubah menjadi masyarakat yang berpakaian bersih, dengan pola hidup yang teratur.

Keempat, dengan melakukan perbaikan ekonomi masyarakat. Para wali menyumbangkan pemikiran dan karya bagi kehidupan yang lebih baik. Sunan Kalijaga menciptakan Bajak dan Cangkul, Sunan Majagung bertindak sebagai menteri ekonomi turun tangan memikirkan hal-hal yang menurut ukuran sekarang sepele, tetapi saat itu sebuah revolusi kebiasaan seperti masak-memasak, mengolah makanan, membuat perabot dapur dll. Sunan Drajat menyumbangkan pemikiran tentang kesempurnaan alat transportasi, sementara Sunan Gunung Jati menyumbangkan pemikiran tentang pemindahan penduduk (migrasi), melalui pembukaan hutan-hutan sebagai perluasan kediaman dan ekstensifikasi pemanfaatan alam serta hasil bumi.

Kelima, dengan melakukan Revolusi Politik Islam. Perjuangan dakwah para wali bukan untuk sekedar “Kudeta kekuasaan” dengan mengganti Raja yang bukan beragama Islam diganti oleh yang beragama Islam, tetapi hakikat perjuangan dakwah Islam adalah berorientasi pada tegaknya kekuasaan Allah di muka bumi artinya tegaknya Rububiyatulloh, Mulkiyatulloh dan Uluhiyatulloh. Sunan Giri seperti yang telah di tuliskan sebelumnya ketua Dewan Wali yang pada saat berdirinya Negara Islam Demak, dewan ini berperan untuk melakukan penataan negara. Sunan Giri tampil sebagai Negarawan, beliau menyusun peraturan-peraturan ketataprajaan dan pedoman tatacara keraton, Sunan Kudus bertugas menyusun perundang-undangan, peradilan dan mahkamah.

Jejak Lain Negara Islam Samudera Pasai

IBNU Battutah, musafir Islam terkenal asal Maroko, mencatat hal yang sangat berkesan bagi dirinya saat mengunjungi sebuah kerajaan di pesisir pantai timur Sumatera sekitar tahun 1345 Masehi. Setelah berlayar selama 25 hari dari Barhnakar (sekarang masuk wilayah Myanmar), Battutah mendarat di sebuah tempat yang sangat subur. Perdagangan di daerah itu sangat maju, ditandai dengan penggunaan mata uang emas. Ia semakin takjub karena ketika turun ke kota ia mendapati sebuah kota besar yang sangat indah dengan dikelilingi dinding dan menara kayu.

Kota perdagangan di pesisir itu adalah ibu kota Kerajaan Samudera Pasai. Samudera Pasai (atau Pase jika mengikuti sebutan masyarakat setempat) bukan hanya tercatat sebagai kerajaan yang sangat berpengaruh dalam pengembangan Islam di Nusantara. Pada masa pemerintahan Sultan Malikul Dhahir, Samudera Pasai berkembang menjadi pusat perdagangan internasional. Pelabuhannya diramaikan oleh pedagang-pedagang dari Asia, Afrika, Cina, dan Eropa.

Kejayaan Samudera Pasai yang berada di daerah Samudera Geudong, Aceh Utara, diawali dengan penyatuan sejumlah kerajaan kecil di daerah Peurelak, seperti Rimba Jreum dan Seumerlang. Sultan Malikussaleh adalah salah seorang keturunan kerajaan itu yang menaklukkan beberapa kerajaan kecil dan mendirikan Kerajaan Samudera pada tahun 1270 Masehi.

Ia menikah dengan Ganggang Sari, seorang putri dari kerajaan Islam Peureulak. Dari pernikahan itu, lahirlah dua putranya yang bernama Malikul Dhahir dan Malikul Mansyur. Setelah keduanya beranjak dewasa, Malikussaleh menyerahkan takhta kepada anak sulungnya Malikul Dhahir. Ia mendirikan kerajaan baru bernama Pasai. Ketika Malikussaleh mangkat, Malikul Dhahir menggabungkan kedua kerajaan itu menjadi Samudera Pasai.

Dalam kisah perjalanannya ke Pasai, Ibnu Battutah menggambarkan Sultan Malikul Dhahir sebagai raja yang sangat saleh, pemurah, rendah hati, dan mempunyai perhatian kepada fakir miskin. Meskipun ia telah menaklukkan banyak kerajaan, Malikul Dhahir tidak pernah bersikap jemawa. Kerendahan hatinya itu ditunjukkan sang raja saat menyambut rombongan Ibnu Battutah. Para tamunya dipersilakan duduk di atas hamparan kain, sedangkan ia langsung duduk di tanah tanpa beralas apa-apa.

Dengan cermin pribadinya yang begitu rendah hati, raja yang memerintah Samudera Pasai dalam kurun waktu 1297-1326 M ini, pada batu nisannya dipahat sebuah syair dalam bahasa Arab, yang artinya, ini adalah makam yang mulia Malikul Dhahir, cahaya dunia sinar agama.

Tercatat, selama abad 13 sampai awal abad 16, Samudera Pasai dikenal sebagai salah satu kota di wilayah Selat Malaka dengan bandar pelabuhan yang sangat sibuk. Bersamaan dengan Pidie, Pasai menjadi pusat perdagangan internasional dengan lada sebagai salah satu komoditas ekspor utama.

Saat itu Pasai diperkirakan mengekspor lada sekitar 8.000- 10.000 bahara setiap tahunnya, selain komoditas lain seperti sutra, kapur barus, dan emas yang didatangkan dari daerah pedalaman. Bukan hanya perdagangan ekspor impor yang maju. Sebagai bandar dagang yang maju, Samudera Pasai mengeluarkan mata uang sebagai alat pembayaran. Salah satunya yang terbuat dari emas dikenal sebagai uang dirham.

Hubungan dagang dengan pedagang-pedagang Pulau Jawa juga terjalin. Produksi beras dari Jawa ditukar dengan lada. Pedagang-pedagang Jawa mendapat kedudukan yang istimewa di pelabuhan Samudera Pasai. Mereka dibebaskan dari pembayaran cukai.

Impor dan ekspor

Selain sebagai pusat perdagangan, Pasai juga menjadi pusat perkembangan Islam di Nusantara. Kebanyakan mubalig Islam yang datang ke Jawa dan daerah lain berasal dari Pasai.

Eratnya pengaruh Kerajaan Samudera Pasai dengan perkembangan Islam di Jawa juga terlihat dari sejarah dan latar belakang para Wali Songo. Sunan Kalijaga memperistri anak Maulana Ishak, Sultan Pasai. Sunan Gunung Jati alias Fatahillah yang gigih melawan penjajahan Portugis lahir dan besar di Pasai. Laksamana Cheng Ho tercatat juga pernah berkunjung ke Pasai.

Situs Kerajaan Islam Samudera Pasai ini sempat sangat terkenal di tahun 1980-an, sebelum konflik di Aceh semakin memanas dan menyurutkan para peziarah. Menurut Yakub, juru kunci makam Sultan Malikussaleh, nama besar sang sultan turut mengundang rasa keingintahuan para peziarah dari Malaysia, India, sampai Pakistan. “Negara-negara itu dulunya menjalin hubungan dagang dengan Pasai,” tutur Yakub.

Sejarah Pasai yang begitu panjang masih bisa ditelusuri lewat sejumlah situs makam para pendiri kerajaan dan keturunannya di makam raja-raja itu. Makam itu menjadi saksi satu-satunya karena peninggalan lain seperti istana sudah tidak ada. Makam Sultan Malikussaleh dan cucunya, Ratu Nahrisyah, adalah dua kompleks situs yang tergolong masih terawat.

Makam Sultan Malikussaleh berada di mulut pintu masuk ke cagar budaya Samudera Pasai.

Sekitar setengah kilometer dari makam itu ada lokasi yang dulunya istana Kerajaan Pasai. Sayang sekali, wujud fisik bangunan yang berada persis di bibir pantai Lhok Seumawe itu tak lagi bisa dinikmati.

Kawasan itu sudah beralih fungsi menjadi lahan pertambakan. Menurut Yakub, bangunan istana kesultanan sebagian besar terdiri atas kayu. Bekas-bekas fondasi dari batu bata merah masih terlihat di atas tanah tempat berdirinya kerajaan.

Di atas tanah seluas lebih dari lima hektar itu, aura kebesaran kerajaan masih sangat terasa.

Di lokasi itu juga terdapat makam Peut Ploh Peut (44), ulama yang meninggal karena dieksekusi Raja Bakoi, salah satu raja di Pasai. Raja menganggap ke-44 ulama itu sebagai lawan politiknya dan memerintahkan agar mereka dibunuh. Akibat tindakannya yang sewenang-wenang, rakyat menjuluki dia Raja Bakoi, yang menurut masyarakat setempat berarti pelit.

Perjalanan berakhir di kompleks makam Ratu Nahrisyah. Di situs ini ada sebuah sumur tua yang menurut kepercayaan warga dasarnya berhubungan langsung dengan laut. Mereka mengatakan, pernah ada warga yang tak sengaja menjatuhkan timba ke dalam sumur itu dan menemukannya di pinggir pantai. “Sumur ini tak pernah kering, bahkan di musim kemarau sekalipun saat sumur kami sudah kelihatan dasarnya, sumur ini tetap saja penuh,” kata Azwan, warga Kampung Kuta Krueng.

Makam sang ratu dan suaminya terbuat dari marmer dengan ukiran bermotif flora. Marmer-marmer mewah berwarna coklat susu itu didatangkan khusus dari Gujarat untuk menghias tempat peristirahatan terakhir sang ratu. “Makam ini bisa dibongkar pasang, seperti lembaran papan yang bisa disusun ulang,” ucap Yakub.

sumber : kompas.com

Dari Cirebon ke Banten : Langkah Dakwah Sunan Gunung Jati

Putera Sri Baduga Maharaja Raja Padjadjaran (Sunda-Galuh) yaitu Sang Surasowan di angkat menjadi raja di daerah (bupati) Banten pesisir yang berkuasa atas pelabuhan perdagangan yang ramai. Sang Surasowan memiliki 2 anak yaitu Sang Arya Surajaya dan Nyi Kawunganten.

Pada masa pemerintahnnya, dakwah Islam berkembang yang mulai dikembangkan oleh seorang ulama muda dari Cirebon; Syekh Syarif Hidayatulloh. Sang Surasowan sangat toleran terhadap perkembangan Islam di daerahnya. Bahkan ketika Syekh Syarif Hidayatullah melamar puterinya Nyi Kawunganten, Sang Surasowan menerimanya dengan senang hati. Apalagi ia mengetahui, bahwa Syekh Syarif Hidayatullah adalah putera Rara Santang saudara seayahnya.

Dari pernikahan Nyi Kawunganten dengan Syekh Syarif Hidayatulloh, Sang Surasowan mempunyai cucu yang lahir pada tahun 1478 M. oleh Ayahnya diberi nama Hasanudin, sedangkan oleh kakeknya diberi gelar Pangeran Sebakingkin.

Ketika Sang Surasowan meninggal tahtanya diwariskan kepada puteranya Sang Arya Surajaya. Pada masa pemerintahan Arya Surajaya, Syekh Syarif Hidayatulloh sudah kembali ke Cirebon menjadi Susuhunan Jati.

Pangeran Sebakingkin melanjutkan misi dakwah ayahnya, mendirikan pesantren, yang selanjutnya lebih dikenal dengan Syekh Hasanudin. Ketenaran Syekh Hasanudin telah mengalahkan kharisma uwa-nya Arya Surajaya, sehingga hubungan dengan uwanya itu tidak harmonis. Syekh Hasanudin sering mengunjungi ayahnya di Cirebon untuk bersilaturahmi dan bertukar informasi.

Suatu ketika, Syekh Hasanudin sedang berada di Banten Pesisir, Syekh menerima informasi dari kurir ayahnya, bahwa pasukan gabungan Cirebon-Demak yang dipimpin Panglima Fadillah Khan sedang berlayar, ditugaskan untuk merebut Banten Pesisir.

Sebelum armada laut Cirebon-Demak tiba, Syekh Hasanudin mengerahkan santri-santrinya, mengadakan huru-hara terselubung di berbagai tempat. Sang Arya Surajaya mengerahkan pasukan untuk menumpas “pasukan misterius” yang tidak dapat dilacak identitasnya. “Gerilyawan” santri-santri Syekh Hasanudin, sempat membinasakan puluhan pasukan Sang Arya Surajaya.

Ketika Sang Arya Surajaya dan pasukannya disibukan oleh “pasukan gerilyawan misterius”, serangan mendadak pasukan gabungan Cirebon-Demak, secepat kilat membinasakan dan menduduki keraton Banten Pesisir.

Setelah Banten Pesisir berhasil direbut oleh Panglima Fadillah Khan dan pasukannya, pada saat itu juga , Syekh Hasanudin diangkat menjadi Bupati Banten Pesisir, pada usia 48 tahun.

Ketika Pangeran Hasanudin menjadi Bupati Banten Pesisir, wilayah Banten Girang yang mendukung “gerakan huru-hara” menggabungkan diri dengan Banten Pesisir. Maka Pangeran Hasanudin menjadi penguasa Banten Pesisir dan Banten Girang, dan hampir semua penduduk beralih keyakinan menjadi Islam. Ia dinobatkan menjadi Panembahan Hasanudin. Nama resmi kerajaan Islam di Banten ini adalah Negeri Surasowan (mengambil nama kakeknya yang menyayanginya)

Dari Cirebon Ke Sumedanglarang

Kerajaan Sumedanglarang didirikan oleh Praburesi Tajimalela, berkedudukan di Gunung Tembong Agung antara tahun 1340 – 1350.

Dakwah Islam di Sumedanglarang dilakukan oleh Maulana Muhammad (Pangeran Palakaran), putera Maulana Abdurahman (Pangeran Pananjung) atau cucu dari Syekh Datuk Kahfi perintis dakwah di Cirebon. Perkiraan mulai dakwah Pangeran Palakaran sejak masa awal Negara Islam Cirebon berdiri, ini dilihat dari telah menetapnya Pangeran Palakaran di Sumedanglarang sekitar tahun 1500-an. Dimungkinkan Pangeran Palakaran ditugaskan oleh Sunan Gunung Jati untuk berdakwah di wilayah ini.

Pada tahun 1504 M, Pangeran Palakaran menikah dengan seorang puteri Sindangkasih. Dari perkawinan tersebut lahir Ki Gedeng Sumedang atau dikenal dengan Pangeran Santri pada tahun 1505 M. Duapuluhlima tahun kemudian tepatnya 1530 M, Pangeran Santri berjodoh dengan Ratu Satyasih penguasa Sumedanglarang saat itu.

Pangeran Santri kemudian dinobatkan sebagai penguasa Sumedanglarang pada tahun 1530 M, ia menjadi penguasa Sumedanglarang berkedudukan sebagai bawahan Negara Islam Cirebon. Wilayah kekuasaan Sumedanglarang meliputi Sumedang, Garut, Tasikmalaya dan Bandung.

NEGARA ISLAM DI NUSANTARA

(Fakta Historis Islam Bernegara)

Negara Islam Maluku

Yang disebut Maluku pada awalnya hanya terdiri dari pulau-pulau Ternate, Tidore, Makian dan Bacan, di wilayah ini berdiri Kesultanan Ternate, Tidore, kesultanan Jailolo dan Bacan. Islam masuk ke Maluku seperti sejarah Islam di Nusantara lainnya, tidak bisa dipastikan secara jelas, hanya dari catatan Portugis yang pertama datang ke Maluku bahwa sultan pertama yang beragama Islam adalah Sultan Ternate yang bernama Gapi Baguna (1465 – 1486) yang setelah masuk Islam bernama Sultan Marhum.

Kesultanan Ternate. Gapi Baguna dan selanjutnya Sultan Marhum menerima seruan dakwah dari seorang murid Sunan Giri bernama Datu Maulana Husein, ia datang ke Ternate pada tahun 1466 M (atau sebelum berdirinya Negara Islam Demak). Konon tulisan-tulisannya tentang al-Qur’an manarik bagi orang-orang yang ingin tahu, “yang terpesona” oleh huruf-huruf yang misterius. Atas permintaan mereka Datu Maulana Husein mengajarkan huruf arab juga mengajarkan keimanan. Dengan cara ini sang Datu berhasil mengislamkan banyak orang. Setelah Sultan Marhum wafat kemudian digantikan oleh Sultan Zaenal Abidin sebagai sultan ke-19, sejak kecil Sultan Zaenal Abidin mendapat pendidikan Islam di tanah Jawa tepatnya di Pesantren Giri dan mendapat pendidikan langsung dari Prabu Satmata atau Sunan Giri. Sultan inilah yang benar-benar menjadikan kesultanan Ternate sebagai Negara Islam. Ketika Sultan Zaenal Abidin selesai melakukan pendidikan di Giri, beliau membawa serta Tuhulbahahul seorang da’i dari Giri untuk mendakwahkan Islam di Ternate. Dalam catatan sejarah raja-raja ternate disebutkan bahwa sultan-sultan yang memegang peranan penting dalan dakwah Islam dan mengahadapi Portugis adalah Sultan Zaenal Abidin, Sultan Bayanullah, Sultan Hairun dan Sultan Baabullah.

Kesultanan Tidore, Sultan Tidore yang pertama menerima seruan dakwah adalah sultan kesembilan bernama Cirililiyati, sultan ini didakwahi oleh seorang ulama yang berasal dari Arab bernama Syekh Mansur. Setelah masuk Islam sultan Cirililiyati berganti nama menjadi Sultan Jamaluddin.

Negara Islam Sulawesi

Islam masuk ke Sulawesi tidak terlepas dari para da’i dari Ternate, Tidore, maupun dari pesisir utara pulau Jawa seperti Demak, Tuban, Gresik dan lainnya. Islam bisa menerobos kerajaan Sulawesi sejak dekade pertama abad ke-17. Islam telah menyatukan dua kerajaan Gowa dan Tallo yang sebelumnya saling berseteru dalam satu kesultanan Makasar tahun 1605 yang dipimpin oleh Sultan Alauddin dan patih Sultan Abdullah. Pelanjutnya yang terkenal dalam menghadapi Belanda adalah Sultan Hasanuddin yang menjadi raja Makasar antara tahun 1653 – 1669. Pada masa Hasanuddin Negara Islam Makasar mencapai puncak kejayaannya dan bertarung mengusir Belanda.

Perjuangan Islam dengan Dakwah

(Fakta Empirik Dakwah Para Wali)

 

Suatu gerakan politik merupakan kelompok atau golongan yang ingin mengadakan perubahan-perubahan pada lembaga-lembaga politik atau ingin menciptakan suatu tata masyarakat yang baru sama sekali, dengan memakai cara-cara politik.

Satu daripada ciri-ciri Islam ialah bersifat “merubah.” La menolak cara menempel atau memperbaiki. Ia tidak rela dengan penyelesaian separuh-separuh atau sesuku-sesuku, atau ia tidak ingin mengharuskan hidup bersama jahiliah.
Dakwah berdaya politik bisa dipahami secara sederhana sebagai sebuah gerakan perubahan masyarakat dari keadaan syirik dan jahiliyah menjadi masyarakat Tauhid dan Islam.

Manhaj Rasulullah saw. dalam menghadapi jahiliah adalah bersifat ‘taghyir’ (merubah). Tatkala orang-orang Quraisy menemuinya untuk berkompromi supaya Rasulullah menyembah tuhan mereka selama sebulan dan sebagai balasan mereka akan menyembah tuhan Muhammad pula selama sebulan yang lain, Al-Quran secara tegas menurunkan ayat:

Katakanlah: “Hai orang-orang kafir. Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang Aku sembah. Dan Aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang Aku sembah. Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku.” (Qs. Al-Kafirun; 109 : 1-6)

Perubahan dalam Islam sebetulnya simpel tak tidak berbelit-belit. Cara pandang perubahan Islam secara ringkas terungkap dalam kata-kata Rubi’e bin ‘Amir kepada Rustam, ketua angkatan bersenjata Parsi, ketika ditanya sebab berperangnya orang-orang Islam, maka dijawab:

“Allah mendatangkan kami bagi mengeluarkan hamba-hamba (manusia-manusia) dari menjadi hamba kepada hamba (manusia) supaya menjadi hamba kepada Allah yang Maha Esa lagi Maha Perkasa. Dari kesempitan dunia kepada dunia yang lebih luas. Dari kezaliman beragama kepada keadilan Islam. Maka kami diutus dengan agama Allah kepada mahluk Nya untuk menyeru mereka kepada Allah. Maka barangsiapa yang menerima, kami menerima mereka dan tinggalah mereka di tanah air mereka dan siapapun yang enggan kami perangi sehinggalah kamu menerima seruan Allah yang dijanjikan (dengan ikrar).”

Perubahan Islam adalah pembebasan perbudakan manusia atas manusia menjadi hanya menjadi budak, hamba Allah. Pembebasan ini dalam al-Qur’an sebuah jalan yang mendaki lagi sukar.
“Tahukah kamu apakah jalan yang mendaki lagi sukar itu? (yaitu) melepaskan budak dari perbudakan,” (Qs. Al-Balad, 90 : 12-13)

Jalan yang mendaki, bila diibaratkan puncak gunung sebagai tujuan perjalanan maka kita harus melangkah tahap demi tahap meniti jalan yang terus meninggi. Pembebasan perbudakan manusia atas manusia dilakukan secara gradual/bertahap dari proses dakwah secara personal melahirkan personality yang tauhidi selanjutnya bertahap pada pembentukan keluarga yang tauhidi sebagai baiti jannati, selanjutnya bertahap pada pembentukan masyarakat islam dalam skup qoryah thoyyibah (pedukuhan, perkampungan, atau perkotaan yang tauhidi), selanjutnya baldah toyyibah warobbun ghofur dan puncak gunung itu adalah Khalifah fil Ardi. Jalan yang mendaki lagi sukar, menunjukan bahwa setiap tahap yang ditempuh tentu memiliki halangan, hambatan, dan rintangan yang bermacam-macam sesuai tingkatnya.

Ciri-ciri Perubahan Islam
Perubahan Islam mempunyai ciri-ciri aqidah dan akhlak yang berbeda dari aliran-aliran perubahan lain di dunia. Tidak pernah mereka yang telah menghirup dan mengecapi Islam, kemudian enggan dan menolaknya, kerana Islam mempunyai keunggulannya yang tersendiri dalam konsep pemikiran, ‘manhaj’ haraki dan ‘uslub’ perubahan. Antara ciri-cirinya:

A) Perubahan Menyeluruh
Perubahan Islam bukan setangkai perubahan suatu sudut dari sudut-sudut kehidupan manusia, baik di segi sosial, ekonomi, politik atau aqidah, tetapi dari segi tabiatnya. Islam itu adalah merupakan manhaj yang menyeluruh (kulli dan syamil). Ini menjadikan ‘perubahan Islam’ itu unik dari segi manhaj dan uslub (method dan cara).

Oleh kerana itu perubahan Islam tidak mungkin tercapai dengan cara rekaan semata-mata, apalagi secara ‘irtijali’ yakni tanpa program, dan tidak juga dengan cara ketenteraan untuk mendapatkan kuasa secepat kilat. Sebaliknya, perubahan Islam itu mestilah dengan mempersiapkan faktor-faktor dan sendi-sendi yang membolehkan terbangunnya masyarakat di atas asas-asas itu.

B) Perubahan aqidah (ideological)
Aqidah Islamiah menentukan tabiat dan manhaj perubahan. Maka garis yang Aqidah Islamiah menentukan tabiat dan manhaj perubahan. Maka garis yang membataskan polisi perubahan itu berkisar dan berpusat kepada dua tonggak asasi:-

1) Betul tujuan/matlamat yang ingin dicapainya; betul dalam method atau manhaj perubahannya. Inilah yang menjadikannya menolak nilai/kriteria perubahan secara parti, politik dan ketenteraan.

2) Betul wasilah dan terjamin tepatnya dari segi syara’ serta bersesuaian dengan ruh Islam, sebagaimana terpeliharanya juga perubahan Islam itu dari melanggar kaedah kaedah syara’.

Islam melihat perubahan itu bukan saja dari segi tujuan tetapi juga dari segi wasilah (jalan) bagi menegakkan perintah Allah dan melaksanakan hukuman-Nya. Apabila perubahan itu tidak mencapai tujuan, ianya boleh membawa akibat buruk kepada Islam itu sendiri.

C) Perubahan Berperikemanusiaan
Artinya, ia tidak akan menuju kepada kebaikan dengan melalui jalan keburukan, dan menghirup kehinaan untuk sampai ke mercu kebahagiaan. Atau ia tidak membina bangunan di atas tengkorak dan darah. Walaupun Tacashoft, seorang pemimpin agung Komunis telah memberikan perintah untuk menghapuskan semua orang-orang Rusia yang melewati usia dua puluh lima tahun karena mereka tidak mau mewakili pemikiran Marx, namun Islam menunjukkan sifat-sifat rahmat dan berperikemanusiaan dalam banyak peristiwa dan kejadian.

Pada hari futuh Mekah, Abu Bakar As-Siddiq ra. telah menemui bapanya yang mana pada masa itu masih lagi seorang musyrik dan dibawanya kepada Rasulullah saw. Tatkala Rasulullah saw melihat, beliau lalu berkata kepada Abu Bakar, “Kenapa tidak orang tua ini sahaja yang di rumahnya dan aku sendiri datang menemuinya.” Berkata Abu Bakar: “Wahai Rasulullah, dia lebih patut menemui engkau dari engkau menemuinya.” Maka Rasulullah pun duduk di hadapannya dan menyapu ke atas dadanya lalu berkata, Islamlah anda, maka beliau pun memeluk agama Islam. Di sini jelas bahawa perubahan Islam itu ada mempunyai ciri-ciri berperikemanusiaan; tabiatnya berakhlak dan akidah Islamiah ialah wasilah serta matlamatnya.

Dakwah dan Perubahan
Sayyid Qutb memberikan penjelasan tentang ciri Islam sebagai gerakan perubahan atau pembebasan. Beliau menyatakan : “Inti Islam itu adalah gerakan pembebasan. Mulai dari hati nurani orang-perseorang dan berakhir di samudera kelompok manusia. Islam tidak pernah menghidupkan sebuah hati, kemudian hati itu dibiarkannya menyerah tunduk kepada suatu kekuasaan di atas permukaan bumi, selain daripada kekuasaan Tuhan Yang Satu dan Maha Perkasa. Islam tidak pernah membangkitkan sebuah hati, lalu dibiarkannya hati itu sabar tidak bergerak dalam menghadapi keaniayaan dalam segala macam bentuknya, baik keaniayaan ini terjadi terhadap dirinya, atau terjadi terhadap sekelompok manusia di bahagian dunia manapun saja, dan di bawah penguasa manapun juga”.

Islam memanggil pancaindra, menggugah aqal dan qolbu. Wahyu mendorong dlamir dan iradah (kemauan) yang mampu mengendalikan nafsu. Di bawah sinaran wahyu segala unsur-unsur fitrah manusia dengan fungsinya masing-masing dalam proporsi (ukuran-ukuran) yang seimbang; semuanya merupakan satu kesatuan yang harmonis.

Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu, dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya dan sesungguhnya kepada-Nya lah kamu akan dikumpulkan. (Qs. Al-Anfal , 8 : 24)

Disinilah tugas para juru dakwah atau da’i. Para juru dakwah bertugas mempertemukan fitrah manusia dengan wahyu Ilahy, berdasarkan keterangan yang nyata-nyata tanpa pemaksaan. Fitrah adalah ciptaan Ilahi, sebagaimana wahyu adalah tuntunan Ilahy guna keselamatan, dan kemajuan pertumbuhan fitrah manusia. Kekuatan dakwah seorang da’i tergantung kepada kekuatan hujjahnya, yang diterima oeh aqal yang sehat, dan daya panggilnya, yang dapat menjemput jiwa dan rasa. Dalam makna ini maka dakwah adalah Tilawah atau Tarbiyah, Tazkiyah, dan Ta’lim.

Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka Kitab dan hikmah (As Sunnah). dan Sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata, (Qs. Al-Jumu’ah, 62 : 2)

Sebuah tatanan hidup atau pola hidup masyarakat yang benar-benar dalam kesesatan yang nyata, di akal, jiwa dan tingkah laku secara revolusioner berubah menjadi sebuah generasi yang dihuni oleh kesatuan masyarakat yang memiliki pola pikir, pola sikap dan tindak Qur’ani.

Dakwah Para Wali; Fakta Empirik Sebuah Perubahan
Lebih dari 5 abad yang silam telah terjadi sejarah perubahan yang monumental dalam tatanan masyarakat di tanah air tercinta Indonesia. Perubahan yang dikomandani oleh para wali utusan Allah di tanah Jawa, para wali “sang pembebas” perbudakan manusia atas manusia untuk “dikembalikan” kepada Sang Maha Pencipta menjadi status yang legitimit dimana manusia hanya sah dan haq menjadi Hamba Allah, menjadi budaknya Allah, menjadi Rakyat Allah Al-Malikul Haqqul Mubin.

Apa yang dikatakan oleh Raden Al-Fatah yang menjadi sebab menolak untuk mentaati raja Majapahit, …. “begitu besar pantangan agama, yang tidak mengizinkan umat Islam untuk mengabdi kepada orang kafir. Serta sudah ditakdirkan bahwa di Bintara akan berdiri kerajaan yang menjadi awal orang Jawa beragama Islam”. Kiranya sebuah refresentasi dari sebuah keyakinan yang bersifat bukan hanya personal tapi institusional untuk Haram mengabdi kepada orang kafir, karena pengabdian yang sesungguhnya hanyalah kepada Al-Malikul Haqqul Mubin.

Sesungguhnya Telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan Dia; ketika mereka Berkata kepada kaum mereka: “Sesungguhnya kami berlepas diri daripada kamu dari daripada apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu dan Telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja. (Qs. Al-Mumtahanah, 60 : 4)

“Pembangkangan”, “Pengingkaran” atau “Pemberontakan” terhadap pengabdian manusia atas manusia tentu bukan tanpa resiko “Walao karihal Kafirun”, Walao karihal Musyrikun” tapi sing penting “Wakafa Billahi Syahida”. Perjuangan para da’i bukan untuk tebar pesona, mencari popularitas, atau sebatas selebritis yang dipenuhi kata puitis.

Sunan Muria sering berpesan kepada kadernya “ Owah gingsiring kahanan iku saka karsaning Pangeran Kang Murbeng Jagad” bahwa perubahan keadaan itu atas kehendak Allah Sang Penguasa Jagad Raya. Sementara Sunan Giri berpesan pada santrinya “ Kahanan kang ana iki ora suwe mesthi ngalami owah gingsir mula aja lali marang sapadha-padhaning tumitah” keadaan yang ada ini tidak lama pasti mengalami perubahan, oleh karena itu jangan melupakan sesama hidup.

Lalu perubahan-perubahan apa yang seharusnya dilakukan oleh setiap manusia. Dalam pupuh pungkur Sunan Kalijaga berpesan “ Sapantuk wahyuning Allah, gya dumilah mangulah ngelmu bangkit, bakat mikat reh mangukut, kukutaning jiwangga, kang mangkono kena ingaran wong sepuh, lirih sepuh sepi hawa, awas roroning atunggal. Orang siapa mendapat wahyu Allah, akan berkilau cemerlang dalam celah ilmu ma’rifat, menguasai masalah tapa brata, mengendapkan jiwa-raga, itulah yang dinamakan orang sepuh. Sepuh adalah sepi hawa nafsu, waspada anasir dwitunggal. Nyata bahwa perubahan yang dimaksud adalah setiap insan wajib untuk “merasuki diri” dengan wahyu Ilahi, hanya dengan wahyu Allah manusia akan sepi dari hawa nafsu. Tegasnya wahyu Allah akan menuntun manusia untuk hidup saka karsaning Pangeran Kang Murbeng Jagad, atas kehendak Allah saja.

Perubahan pada diri, hakekatnya bukan hanya untuk memberikan keselamatan pada diri saja akan tetapi wajib menyelamatkan bagi orang lain. Apa yang diajarkan oleh Sunan Drajat kiranya menjadi bahan renungan untuk memberikan keselamatan pada umat. Paring teken marang kang kalunyon lan wuta; paring pangan marana kang kaliren; paring sandang marang kang kawudan; paring payung kang kadonan. Artinya berikan tongkat kepada yang buta; berikan makan kepada yang kelaparan; berikan pakaian kepada yang telanjang; dan berikan payung kepada yang kehujanan. Tegasnya ‘allamal insan ma lam ya’lam. Sampaikan apa yang belum diketahuinya, berikan sesuai kebutuhannya.

Misi Peng-ISLAM-an Nusantara

Ini  tulisan dari seseorang yang bernama “Damar Shashangka”, yang saya dapatkan dari catatan beliau di jejaring facebook. Catatan ini terbagi pada 5 bagian yang memuat “Versi Masuknya Islam ke Nusantara”. Saya posting disini sebagai bahan belajar khususnya bagi “sang pembelajar” umumnya bagi yang kebetulan membaca postingan ini karena bagi saya ini adalah versi lain tentang peran Wali Songo di Nusantara yang patut dikaji atau setidaknya sebagai bahan perbandingan atas versi lainnya.

Misi Peng-ISLAM-an Nusantara

Majapahit adalah sebuah Kerajaan besar. Sebuah Emperor. Yang wilayahnya membentang dari ujung utara pulau Sumatera, sampai Papua. Bahkan, Malaka yang sekarang dikenal dengan nama Malaysia, termasuk wilayah kerajaan Majapahit.

Majapahit berdiri pada tahun 1293 Masehi. Didirikan oleh Raden Wijaya yang lantas setelah dikukuhkan sebagai Raja beliau bergelar Shrii Kertarajasha Jayawardhana. Eksistensi Majapahit sangat disegani diseluruh dunia. Diwilayah Asia, hanya Majapahit yang ditakuti oleh Kekaisaran Tiongkok China. Di Asia ini, pada abad XIII, hanya ada dua Kerajaan besar, Tiongkok dan Majapahit.

Lambang Negara Majapahit adalah Surya. Benderanya berwarna Merah dan Putih. Melambangkan darah putih dari ayah dan darah merah dari ibu. Lambang nasionalisme sejati. Lambang kecintaan pada bhumi pertiwi. Karma Bhumi. Dan pada jamannya, bangsa kita pernah menjadi Negara adikuasa, superpower, layaknya Amerika dan Inggris sekarang. Pusat pemerintahan ada di Trowulan, sekarang didaerah Mojokerto, Jawa Timur. Pelabuhan iInternasional-nya waktu itu adalah Gresik.

Agama resmi Negara adalah Hindhu aliran Shiva dan Buddha. Dua agama besar ini dikukuhkan sebagai agama resmi Negara. Sehingga kemudian muncul istilah agama Shiva Buddha. Nama Majapahit sendiri diambil dari nama pohon kesayangan Deva Shiva, Avatara Brahman, yaitu pohon Bilva atau Vilva. Di Jawa pohon ini terkenal dengan nama pohon Maja, dan rasanya memang pahit. Maja yang pahit ini adalah pohon suci bagi penganut agama Shiva, dan nama dari pohon suci ini dijadikan nama kebesaran dari sebuah Emperor di Jawa. Dalam bahasa sanskerta, Majapahit juga dikenal dengan nama Vilvatikta (Wilwatikta. Vilva: Pohon Maja, Tikta : Pahit ). Sehingga, selain Majapahit ( baca : Mojopahit) orang Jawa juga mengenal Kerajaan besar ini dengan nama Wilwatikta ( Wilwotikto).

Kebesaran Majapahit mencapai puncaknya pada jaman pemerintahan Ratu Tribhuwanatunggadewi Jayawishnuwardhani (1328-1350 M). Dan mencapai jaman keemasan pada masa pemerintahan Prabhu Hayam Wuruk (1350-1389 M) dengan Mahapatih Gajah Mada-nya yang kesohor dipelosok Nusantara itu. Pada masa itu kemakmuran benar-benar dirasakan seluruh rakyat Nusantara. Benar-benar jaman yang gilang gemilang!

Stabilitas Majapahit sempat koyak akibat perang saudara selama lima tahun yang terkenal dengan nama Perang Pare-greg (1401-1406 M). Peperangan ini terjadi karena Kadipaten Blambangan hendak melepaskan diri dari pusat Pemerintahan. Blambangan yang diperintah oleh Bhre Wirabhumi berhasil ditaklukkan oleh seorang ksatria berdarah Blambangan sendiri yang membelot ke Majapahit, yaitu Raden Gajah. ( Kisah ini terkenal didalam masyarakat Jawa dalam cerita rakyat pemberontakan Adipati Blambangan Kebo Marcuet. Kebo = Bangsawan, Marcuet = Kecewa. Kebo Marcuet berhasil ditaklukkan oleh Jaka Umbaran. Jaka = Perjaka, Umbaran = Pengembara. Dan Jaka Umbaran setelah berhasil menaklukkan Adipati Kebo Marcuet, dikukuhkan sebagai Adipati Blambangan dengan nama Minak Jingga. Minak = Bangsawan, Jingga = Penuh Keinginan. Adipati Kebo Marcuet inilah Bhre Wirabhumi, dan Minak Jingga tak lain adalah Raden Gajah, keponakan Bhre Wirabhumi sendiri.)

Namun, sepeninggal Prabhu Wikramawardhana, ketika tahta Majapahit dilimpahkan kepada Ratu Suhita, Malahan Raden Gajah yang kini hendak melepaskan diri dari pusat pemerintahan karena merasa diingkari janjinya. Dan tampillah Raden Paramesywara, yang berhasil memadamkan pemberontakan Raden Gajah. Pada akhirnya, Raden Paramesywara diangkat sebagai suami oleh Ratu Suhita. ( Dalam cerita rakyat, inilah kisah Damar Wulan. Ratu Suhita tak lain adalah Kencana Wungu. Kencana = Mutiara, Wungu = Pucat pasi, ketakutan. Dan Raden Paramesywara adalah Damar Wulan. Damar = Pelita, Wulan = Sang Rembulan.)

Kondisi Majapahit stabil lagi. Hingga pada tahun 1453 Masehi, tahta Majapahit dipegang oleh Raden Kertabhumi yang lantas terkenal dengan gelar Prabhu Brawijaya ( Bhre Wijaya). Pada jaman pemerintahan beliau inilah, Islamisasi mulai merambah wilayah kekuasaan Majapahit, dimulai dari Malaka. Dan kemudian, mulai masuk menuju ke pusat kerajaan, ke pulau Jawa.

Dan kisahnya adalah sebagai berikut :

Diwilayah Kamboja selatan, dulu terdapat Kerajaan kecil yang masuk dalam wilayah kekuasaan Majapahit. Kerajaan Champa namanya. ( Sekarang hanya menjadi perkampungan Champa ). Kerajaan ini berubah menjadi Kerajaan Islam semenjak Raja Champa memeluk agama baru itu. Keputusan ini diambil setelah seorang ulama Islam datang dari Samarqand, Bukhara. ( Sekarang didaerah Rusia Selatan). Ulama ini bernama Syeh Ibrahim As-Samarqand. Selain berpindah agama, Raja Champa bahkan mengambil Syeh Ibrahim As-Samarqand sebagai menantu.

Raja Champa memiliki dua orang putri. Yang sulung bernama Dewi Candrawulan dan yang bungsu bernama Dewi Anarawati. Syeh Ibrahim As-Samarqand dinikahkan dengan Dewi Candrawati. Dari hasil pernikahan ini, lahirlah dua orang putra, yang sulung bernama Sayyid ‘Ali Murtadlo, dan yang bungsu bernama Sayyid ‘Ali Rahmad. Karena berkebangsaan Champa ( Indo-china ), Sayyid ‘Ali Rahmad juga dikenal dengan nama Bong Swie Hoo. ( Nama Champa dari Sayyid ‘Ali Murtadlo, Raja Champa, Dewi Candrawulan dan Dewi Anarawati, saya belum mengetahuinya : Damar Shashangka).

Kerajaan Champa dibawah kekuasaan Kerajaan Besar Majapahit yang berpusat di Jawa. Pada waktu itu Majapahit diperintah oleh Raden Kertabhumi atau Prabhu Brawijaya semenjak tahun 1453 Masehi. Beliau didampingi oleh adiknya Raden Purwawisesha sebagai Mahapatih. Pada tahun 1466, Raden Purwawisesha mengundurkan diri dari jabatannya, dan sebagai penggantinya diangkatlah Bhre Pandhansalas. Namun dua tahun kemudian, yaitu pada tahun 1468 Masehi, Bhre Pandhansalas juga mengundurkan diri.

Praktis semenjak tahun 1468 Masehi, Prabhu Brawijaya memerintah Majapahit tanpa didampingi oleh seorang Mahapatih. Apakah gerangan dalam masa pemerintahan Prabhu Brawijaya terjadi dua kali pengunduran diri dari seorang Mahapatih? Sebabnya tak lain dan tak bukan karena Prabhu Brawijaya terlalu lunak dengan etnis China dan orang-orang muslim.

Diceritakan, begitu Prabhu Brawijaya naik tahta, Kekaisaran Tiongkok mengirimkan seorang putri China yang sangat cantik sebagai persembahan kepada Prabhu Brawijaya untuk dinikahi. Ini dimaksudkan sebagai tali penyambung kekerabatan dengan Kekaisaran Tiongkok. Putri ini bernama Tan Eng Kian. Sangat cantik. Tiada bercacat. Karena kecantikannya, setelah Prabhu Brawijaya menikahi putri ini, praktis beliau hampi-hampir melupakan istri-istrinya yang lain. ( Prabhu Brawijaya banyak memiliki istri, dari berbagai istri beliau, lahirlah tokoh-tokoh besar. Pada kesempatan lain, saya akan menceritakannya : Damar Shashangka ).

Ketika putri Tan Eng Kian tengah hamil tua, rombongan dari Kerajaan Champa datang menghadap. Raja Champa sendiri yang datang. Diiringi oleh para pembesar Kerajaan dan ikut juga dalam rombongan, Dewi Anarawati. Raja Champa banyak membawa upeti sebagai tanda takluk. Dan salah satu upeti yang sangat berharga adalah, Dewi Anarawati sendiri.

Melihat kecantikan putri berdarah indo-china ini, Prabhu Brawijaya terpikat. Dan begitu Dewi Anarawati telah beliau peristri, Tan Eng Kian, putri China yang tengah hamil tua itu, seakan-akan sudah tidak ada lagi di istana. Perhatian Prabhu Brawijaya kini beralih kepada Dewi Anarawati.

Saking tergila-gilanya, manakala Dewi Anarawati meminta agar Tan Eng Kian disingkirkan dari istana, Prabhu Brawijaya menurutinya. Tan Eng Kian diceraikan. Lantas putri China yang malang ini diserahkan kepada Adipati Palembang Arya Damar untuk diperistri. Adipati Arya Damar sesungguhnya juga peranakan China. Dia adalah putra selir Prabhu Wikramawardhana, Raja Majapahit yang sudah wafat yang memerintah pada tahun 1389-1429 Masehi, dengan seorang putri China pula.

Nama China Adipati Arya Damar adalah Swan Liong. Menerima pemberian seorang janda dari Raja adalah suatu kehormatan besar. Perlu dicatat, Swan Liong adalah China muslim. Dia masuk Islam setelah berinteraksi dengan etnis China di Palembang, keturunan pengikut Laksamana Cheng Ho yang sudah tinggal lebih dahulu di Palembang. Oleh karena itulah, Palembang waktu itu adalah sebuah Kadipaten dibawah kekuasaan Majapahit yang bercorak Islam.

Arya Damar menunggu kelahiran putra yang dikandung Tan Eng Kian sebelum ia menikahinya. Begitu putri China ini selesai melahirkan, dinikahilah dia oleh Arya Damar.

Anak yang lahir dari rahim Tan Eng Kian, hasil dari pernikahannya dengan Prabhu Brawijaya, adalah seorang anak lelaki. Diberi nama Tan Eng Hwat. Karena ayah tirinya muslim, dia juga diberi nama Hassan. Kelak di Jawa, dia terkenal dengan nama Raden Patah!

Dari hasil perkawinan Arya Damar dengan Tan Eng Kian, lahirlah juga seorang putra. Diberinama Kin Shan. Nama muslimnya adalah Hussein. Kelak di Jawa, dia terkenal dengan nama Adipati Pecattandha, atau Adipati Terung yang terkenal itu!

Kembali ke Jawa. Dewi Anarawati yang muslim itu telah berhasil merebut hati Prabhu Brawijaya. Dia lantas menggulirkan rencana selanjutnya setelah berhasil menyingkirkan pesaingnya, Tan Eng Kian. Dewi Anarawati meminta kepada Prabhu Brawijaya agar saudara-saudaranya yang muslim, yang banyak tinggal dipesisir utara Jawa, dibangunkan sebuah Ashrama, sebuah Peshantian, sebuah Padepokan, seperti halnya Padepokan para Pandhita Shiva dan para Wiku Buddha.

Mendengar permintaan istri tercintanya ini, Prabhu Brawijaya tak bisa menolak. Namun yang menjadi masalah, siapakah yang akan mengisi jabatan sebagai seorang Guru layaknya padepokan Shiva atau Mahawiku layaknya padepokan Buddha? Pucuk dicinta ulam tiba, Dewi Anarawati segera mengusulkan, agar diperkenankan memanggil kakak iparnya, Syeh Ibrahim As-Samarqand yang kini ada di Champa untuk tinggal sebagai Guru di Ashrama Islam yang hendak dibangun. Dan lagi-lagi, Prabhu Brawijaya menyetujuinya.

Para Pembesar Majapahit, Para Pandhita Shiva dan Para Wiku Buddha, sudah melihat gelagat yang tidak baik. Mereka dengan halus memperingatkan Prabhu Brawijaya, agar selalu berhati-hati dalam mengambil sebuah keputusan penting.

Tak kurang-kurang, Sabdo Palon dan Nayagenggong, punakawan terdekat Prabhu Brawijaya juga sudah memperingatkan agar momongan mereka ini berhati-hati, tidak gegabah. Namun, Prabhu Brawijaya, bagaikan orang mabuk, tak satupun nasehat orang-orang terdekatnya beliau dengarkan.

Perekonomian Majapahit sudah hamper didominasi oleh etnis China semenjak putri Tan Eng Kian di peristri oleh Prabhu Brawijaya, dan memang itulah misi dari Kekaisaran Tiongkok. Kini, dengan masuknya Dewi Anarawati, orang-orang muslim-pun mendepat kesempatan besar. Apalagi, pada waktu itu, banyak juga orang China yang muslim. Semua masukan bagi Prabhu Brawijaya tersebut, tidak satupun yang diperhatikan secara sungguh-sungguh. Para Pejabat daerah mengirimkan surat khusus kepada Sang Prabhu yang isinya mengeluhkan tingkah laku para pendatang baru ini. Namun, tetap saja, ditanggapi acuh tak acuh.

Hingga pada suatu ketika, manakala ada acara rutin tahunan dimana para pejabat daerah harus menghadap ke ibukota Majapahit sebagai tanda kesetiaan, Ki Ageng Kutu, Adipati Wengker ( Ponorogo sekarang), mempersembahkan tarian khusus buat Sang Prabhu. Tarian ini masih baru. Belum pernah ditampilkan dimanapun. Tarian ini dimainkan dengan menggunakan piranti tari bernama Dhadhak Merak. Yaitu sebuah piranti tari yang berupa duplikat kepala harimau dengan banyak hiasan bulu-bulu burung merak diatasnya. Dhadhak Merak ini dimainkan oleh satu orang pemain, dengan diiringi oleh para prajurid yang bertingkah polah seperti banci. ( Sekarang dimainkan oleh wanita tulen). Ditambah satu tokoh yang bernama Pujangganom dan satu orang Jathilan. Sang Pujangganom tampak menari-nari acuh tak acuh, sedangkan Jathilan, melompat-lompat seperti orang gila.

Sang Prabhu takjub melihat tarian baru ini. Manakala beliau menanyakan makna dari suguhan tarian tersebut, Ki Ageng Kutu, Adipati dari Wengker yang terkenal berani itu, tanpa sungkan-sungkan lagi menjelaskan, bahwa Dhadhak Merak adalah symbol dari Kerajaan Majapahit sendiri. Kepala Harimau adalah symbol dari Sang Prabhu. Bulu-bulu merak yang indah adalah symbol permaisuri sang Prabhu yang terkenal sangat cantik, yaitu Dewi Anarawati. Pasukan banci adalah pasukan Majapahit. Pujangganom adalah symbol dari Pejabat teras, dan Jathilan adalah symbol dari Pejabat daerah.

Arti sesungguhnya adalah, Kerajaan Majapahit, kini diperintah oleh seekor harimau yang dikangkangi oleh burung Merak yang indah. Harimau itu tidak berdaya dibawah selangkangan sang burung Merak. Para Prajurid Majapahit sekarang berubah menjadi penakut, melempem dan banci, sangat memalukan! Para pejabat teras acuh tak acuh dan pejabat daerah dibuat kebingungan menghadapi invasi halus, imperialisasi halus yang kini tengah terjadi. Dan terang-terangan Ki Ageng Kutu memperingatkan agar Prabhu Brawijaya berhati-hati dengan orang-orang Islam!

Kesenian sindiran ini kemudian hari dikenal dengan nama REOG PONOROGO!

Mendengar kelancangan Ki Ageng Kutu, Prabhu Brawijaya murka! Dan Ki Ageng Kutu, bersama para pengikutnya segera meninggalkan Majapahit. Sesampainya di Wengker, beliau mamaklumatkan perang dengan Majapahit!

Prabhu Brawijaya mengutus putra selirnya, Raden Bathara Katong untuk memimpin pasukan Majapahit, menggempur Kadipaten Wengker! ( Akan saya ceritakan pada bagian kedua : Damar Shashangka.)

Prabhu Brawijaya, menjanjikan daerah ‘perdikan’. Daerah perdikan adalah daerah otonom. Beliau menjanjikannya kepada Dewi Anarawati. Dan Dewi Anarawati meminta daerah Ampeldhenta ( didaerah Surabaya sekarang ) agar dijadikan daerah otonom bagi orang-orang Islam. Dan disana, rencananya akan dibangun sebuah Ashrama besar, pusat pendidikan bagi kaum muslim.

Begitu Prabhu Brawijaya menyetujui hal ini, maka Dewi Anarawati, atas nama Negara, mengirim utusan ke Champa. Meminta kesediaan Syeh Ibrahim As-Samarqand untuk tinggal di Majapahit dan menjadi Guru dari Padepokan yang hendak dibangun.

Dan permintaan ini adalah sebuah kabar keberhasilan luar biasa bagi Raja Champa. Misi peng-Islam-an Majapahit sudah diambang mata. Maka berangkatlah Syeh Ibrahim As-Samarqand ke Jawa. Diiringi oleh kedua putranya, Sayyid ‘Ali Murtadlo dan Sayyid ‘Ali Rahmad.

Sesampainya di Gresik, pelabuhan Internasional pada waktu itu, mereka disambut oleh masyarakat muslim pesisir yang sudah ada disana sejak jaman Prabhu Hayam Wuruk berkuasa. Masyarakat muslim ini mulai mendiami pesisir utara Jawa semenjak kedatangan Syeh Maulana Malik Ibrahim, yang pada waktu itu memohon menghadap kehadapan Prabhu Hayam Wuruk hanya untuk sekedar meminta beliau agar ‘pasrah’ memeluk Islam. Tentu saja, permintaan ini ditolak oleh Sang Prabhu Hayam Wuruk pada waktu itu karena dianggap lancang. Namun, beliau sama sekali tidak menjatuhkan hukuman. Beliau dengan hormat mempersilakan rombongan Syeh Maulana Malik Ibrahim agar kembali pulang. Namun sayang, di Gresik, banyak para pengikut Syeh Maulana Malik Ibrahim terkena wabah penyakit yang datang tiba-tiba. Banyak yang meninggal. Salah satunya adalah santriwati Syeh Maulana Malik Ibrahim bernama Fatimah binti Maimun. ( Sampai sekarang makamnya masih ada,). Dan Syeh Maulana Malik Ibrahim akhirnya wafat juga di Gresik, dan lantas dikenal oleh orang-orang Jawa muslim dengan nama Sunan Gresik.

Syeh Maulana Malik Ibrahim atau Sunan Gresik telah datang jauh-jauh hari sebelum ada yang dinamakan Dewan Wali Sangha ( Sangha = Perkumpulan orang-orang suci. Sangha diambil dari bahasa Sansekerta. Bandingkan dengan doktrin Buddhis mengenai Buddha, Dharma dan Sangha. Kata-kata Wali Sangha lama-lama berubah menjadi Wali Songo yang artinya Wali Sembilan.: Damar Shashangka)

Rombongan dari Champa ini sementara waktu beristirahat di Gresik sebelum meneruskan perjalanan menuju ibukota Negara Majapahit. Sayang, setibanya di Gresik, Syeh Ibrahim As-Samarqand jatuh sakit dan meninggal dunia. Orang Jawa muslim mengenalnya dengan nama Syeh Ibrahim Smorokondi. Makamnya masih ada di Gresik sekarang.

Kabar meninggalnya Syeh Ibrahim As-Samarqand sampai juga di istana. Dewi Anarawati bersedih. Lantas, kedua putra Syeh Ibrahim As-Samarqand dipanggil menghadap. Atas usul Dewi Anarawati, Sayyid ‘Ali Rahmad diangkat sebagai pengganti ayahnya sebagai Guru dari sebuah Padepokan Islam yang hendak didirikan.

Bahkan, Sayyid ‘Ali Rahmad dan Sayyid ‘Ali Murtadlo mendapat gelar kebangsawanan Majapahit, yaitu Rahadyan atau Raden. Jadilah mereka dikenal dengan nama Raden Rahmad dan Raden Murtolo ( Orang Jawa tidak bisa mengucapkan huruf ‘dlo’. Huruf ‘dlo’ berubah menjadi ‘lo’. Seperti Ridlo, jadi Rilo, Ramadlan jadi Ramelan, Riyadloh jadi Riyalat, dll). Namun lama kelamaan, Raden Murtolo dikenal dengan nama Raden Santri, makamnya juga ada di Gresik sekarang.

Raden Rahmad, disokong pendanaan dari Majapahit, membangun pusat pendidikan Islam pertama di Jawa. Para muslim pesisir datang membantu. Tak berapa lama, berdirilah Padepokan Ampeldhenta. Istilah Padepokan lama-lama berubah menjadi Pesantren untuk membedakannya dengan Ashrama pendidikan Agama Shiva dan Agama Buddha. Lantas dikemudian hari, Raden Rahmad dikenal dengan nama Sunan Ampel.

Raden Santri, mengembara ke Bima, menyebarkan Islam disana, hingga ketika sudah tua, ia kembali ke Jawa dan meniggal di Gresik.

Para pembesar Majapahit, Para Pandhita Shiva dan Para Wiku Buddha, sudah memperingatkan Prabhu Brawijaya. Sebab sudah terdengar kabar dimana-mana, kaum baru ini adalah kaum missioner. Kaum yang punya misi tertentu. Malaka sudah berubah menjadi Kadipaten Islam, Pasai juga, Palembang juga, dan kini gerakan itu sudah semakin dekat dengan pusat kerajaan.

Semua telah memperingatkan Sang Prabhu. Tak ketinggalan pula Sabdo Palon dan Naya Genggong. Namun, bagaikan berlalunya angin, Prabhu Brawijaya tetap tidak mendengarkannya.Raja Majapahit yang ditakuti ini, kini bagaikan harimau yang takluk dibawah kangkangan burung Merak, Dewi Anarawati.

Benarlah apa yang dikatakan oleh Ki Ageng Kutu dari Wengker dulu.

Berdirinya Giri Kedhaton

Blambangan ( Banyuwangi sekarang ), sekitar tahun 1450 Masehi terkena wabah penyakit. Hal ini dikarenakan ketidaksadaran masyarakatnya yang kurang mampu menjaga kebersihan lingkungan. Blambangan diperintah oleh Adipati Menak Sembuyu, didampingi Patih Bajul Sengara.

Wabah penyakit itu masuk juga ke istana Kadipaten. Putri Sang Adipati, Dewi Sekardhadhu, jatuh sakit. Ditengah wabah yang melanda, datanglah seorang ulama dari Samudera Pasai ( Aceh sekarang ), yang masih berkerabat dekat dengan Syeh Ibrahim As-Samarqand, bernama Syeh Maulana Ishaq. Dia ahli pengobatan. Mendengar Sang Adipati mengadakan sayembara, dia serta merta mengikutinya. Dan berkat keahlian pengobatan yang dia dapat dari Champa, sang putri berangsur-angsur sembuh.

Adipati Menak Sembuyu menepati janji. Sesuai isi sayembara, barangsiapa yang mampu menyembuhkan sang putri, jika lelaki akan dinikahkan jika perempuan akan diangkat sebagai saudara, maka, Syeh Maulana Ishaq dinikahkan dengan Dewi Sekardhadhu.

Namun pada perjalanan waktu selanjutnya, ketegangan mulai timbul. Ini disebabkan, Syeh Maulana Ishaq, mengajak Adipati beserta seluruh keluarga untuk memeluk agama Islam.

Ketegangan ini lama-lama berbuntut pengusiran Syeh Maulana Ishaq dari Blambangan. Perceraian terjadi. Dan waktu itu, Dewi Sekardhadhu tengah hamil tua. Keputusan untuk menceraikan Dewi Sekardhadhu dengan Syeh Maulana Ishaq ini diambil oleh Sang Adipati karena melihat stabilitas Kadipaten Blambangan yang semula tenang, lama-lama terpecah menjadi dua kubu. Kubu yang mengidolakan Syeh Maulana Ishaq dan kubu yang tetap menolak infiltrasi asing ke wilayah mereka. Kubu pertama tertarik pada ajaran Islam, sedangkan kubu kedua tetap tidak menyetujui masuknya Islam karena terlalu diskriminatif menurut mereka. Antar kerabat jadi terpecah belah, saling curiga dan tegang. Ini yang tidak mereka sukai.

Sepeninggal Syeh Maulana Ishaq, ternyata masalah belum usai. Kubu yang pro ulama Pasai ini, kini menantikan kelahiran putra sang Syeh yang tengah dikandung Dewi Sekardhadhu. Sosok Syeh Maulana Ishaq, kini menjadi laten bagi stabilitas Blambangan. Mendapati situasi ketegangan belum juga bisa diredakan, maka mau tak mau, Adipati Blambangan, dengan sangat terpaksa, memberikan anak Syeh Maulana Ishaq, cucunya sendiri kepada saudagar muslim dari Gresik. Anak itu terlahir laki-laki.

Dalam cerita rakyat dari sumber Islam, konon dikisahkan anak itu dilarung ketengah laut (meniru cerita Nabi Musa) dengan menggunakan peti. Konon ada saudagar muslim Gresik yang tengah berlayar. Kapal dagangnya tiba-tiba tidak bisa bergerak karena menabrak peti itu. Dan peti itu akhirnya dibawa naik ke geladak oleh anak buah sang saudagar. Isinya ternyata seorang bayi.

Sesungguhnya itu hanya cerita kiasan. Yang terjadi, saudagar muslim Gresik yang tengah berlayar di Blambangan diperintahkan untuk menghadap ke Kadipaten menjelang mereka hendak balik ke Gresik. Inilah maksudnya kapal tidak bisa bergerak. Para saudagar bertanya-tanya, ada kesalahan apa yang mereka buat sehingga mereka disuruh menghadap ke Kadipaten? Ternyata, di Kadipaten, Adipati Menak Sembuyu, dengan diam-diam telah mengatur pertemuan itu. Sang Adipati memberikan seorang anak bayi, cucunya sendiri, yang lahir dari ayah seorang muslim. Anak itu dititipkan kepada para saudagar anak buah saudagar kaya di Gresik yang bernama Nyi Ageng Pinatih, yang seorang muslim. Adipati Menak Sembuyu tahu telah menitipkan cucunya kepada siapa. Beliau yakin, cucunya akan aman bersama Nyi Ageng Pinatih. Hanya dengan jalan inilah, Blambangan dapat kembali tenang.

Putra Syeh Maulana Ishaq ini, lahir pada tahun 1452 Masehi.

Sekembalinya dari Blambangan, para saudagar ini menghadap kepada majikan mereka, Nyi Ageng Pinatih sembari memberikan oleh-oleh yang sangat berharga. Seorang anak bayi keturunan bangsawan Blambangan. Bahkan dia adalah putra Syeh Maulana Ishaq, sosok yang disegani oleh orang-orang muslim. Nyi Ageng Pinatih tidak berani menolak sebuah anugerah itu. Diambillah bayi itu, dianggap anak sendiri. Karena bayi itu hadir seiring kapal selesai berlayar dari samudera, maka bayi itu dinamakan Jaka Samudera oleh Nyi Ageng Pinatih.

Jaka Samudera dibawa menghadap ke Ampeldhenta menjelang usia tujuh tahun. Dia tinggal disana. Belajar agama dari Sunan Ampel.

Sunan Ampel yang tahu siapa Jaka Samudera yang sebenarnya dari Nyi Ageng Pinatih, maka sosok anak ini sangat dia perhatikan dan diistimewakan. Sunan Ampel menganggapnya anak sendiri.

Sunan Ampel, dari hasil perkawinannya dengan kakak kandung Adipati Tuban Arya Teja, memiliki delapan putra dan putri. Yang penting untuk diketahui adalah Makdum Ibrahim ( Nama Champa-nya : Bong- Ang : kelak terkenal dengan sebutan Sunan Benang. Lama-lama pengucapannya berubah menjadi Sunan Bonang ). Yang kedua Abdul Qasim, terkenal kemudian dengan nama Sunan Derajat. Yang ketiga Maulana Ahmad, yang terkenal dengan nama Sunan Lamongan, yang keempat bernama Siti Murtasi’ah, kelak dijodohkan dengan Jaka Samudera, yang kemudian terkenal dengan nama Sunan Giri Kedhaton (Sunan Giri), yang kelima putri bernama Siti Asyiqah, kelak dijodohkan dengan Raden Patah ( Tan Eng Hwat ), putra Tan Eng Kian, janda Prabhu Brawijaya yang ada di Palembang itu.

Kekuatan Islam dibangun melalui tali pernikahan. Jaka Samudera, diberi nama lain oleh Sunan Ampel, yaitu Raden Paku. Kelak dia dikenal dengan nama Sunan Giri Kedhaton. Dia adalah santri senior. Sunan Ampel bahkan telah mencalonkan, mengkaderkan dia sebagai penggantinya kelak bila sudah meninggal.

Sunan Giri sangat radikal dalam pemahaman keagamannya. Setamat berguru dari Ampeldhenta, dia pulang ke Gresik. Di Gresik, dia menyatukan komunitas muslim disana. Dia mendirikan Pesantren. Terkenal dengan nama Pesantren Giri.

Namun dalam perkembangannya, Pesantren Giri memaklumatkan lepas dari kekuasaan Majapahit yang dia pandang Negara kafir. Pesantren Giri berubah menjadi pusat pemerintahan. Maka dikenal dengan nama Giri Kedhaton ( Kerajaan Giri ). Sunan Giri, mengangkat dirinya sebagi khalifah Islam dengan gelar Prabhu Satmata ( Penguasa Bermata Enam. Gelar sindiran kepada Deva Shiva yang cuma bermata tiga ).

Mendengar Gresik melepaskan diri dari pusat kekuasan, Prabhu Brawijaya, sebagai Raja Diraja Nusantara yang sah, segera mengirimkan pasukan tempur untuk menjebol Giri Kedhaton. Darah tertumpah. Darah mengalir. Dan akhirnya, Giri Kedhaton bisa ditaklukkan. Kekhalifahan Islam bertama itu tidak berumur lama. Namun kelak, setelah Majapahit hancur oleh serangan Demak Bintara, Giri Kedhaton eksis lagi mulai tahun 1487 Masehi. ( Sembilan tahun setelah Majapahit hancur pada tahun 1478 Masehi ).

Dari sumber Islam, banyak cerita yang memojokkan pasukan Majapahit. Konon Sunan Giri berhasil mengusir pasukan Majapahit hanya dengan melemparkan sebuah kalam atau penanya. Kalam miliknya ini katanya berubah menjadi lebah-lebah yang menyengat. Sehingga membuat puyeng atau munyeng para prajurid Majapahit. Maka dikatakan, ‘kalam’ yang bisa membuat ‘munyeng’ inilah senjata andalan Sunan Giri. Maka dikenal dengan nama ‘Kalamunyeng’. Sesungguhnya, ini hanya kiasan belaka. Sunan Giri, melalui tulisan-tulisannya yang mengobarkan semangat ke-Islam-an, mampu mengadakan pemberontakan yang sempat ‘memusingkan’ Majapahit.

Namun, karena Sunan Ampel meminta pengampunan kepada Prabhu Brawijaya, Sunan Giri tidak mendapat hukuman. Tapi gerak-geriknya, selalu diawasi oleh Pasukan Telik Sandhibaya ( Intelejen ) Majapahit. Inilah kelemahan Prabhu Brawijaya. Terlalu meremehkan bara api kecil yang sebenarnya bisa membahayakan.

Sabdo Palon dan Naya Genggong sudah mengingatkan agar seorang yang bersalah harus mendapatkan sangsi hukuman. Karena itulah kewajiban yang merupakan sebuah janji seorang Raja. Salah satu kewajiban menjalankan janji suci sebagai AGNI atau API, yang harus mengadili siapa saja yang bersalah. Janji ini adalah satu bagian integral dari tujuh janji yang lain, yaitu ANGKASHA (Ruang), Raja harus memberikan ruang untuk mendengarkan suara rakyatnya, VAYU (Angin), Raja harus mampu mewujudkan pemerataan kesejahteraan kepada rakyatnya bagai angin, AGNI (Api), Raja harus memberikan hukuman yang seadil-adilnya kepada yang bersalah tanpa pandang bulu bagai api yang membakar, TIRTA (Air), Raja harus mampu menumbuhkan kesejahteraan perekonomian bagi rakyatnya bagaikan air yang mampu menumbuhkan biji-bijian, PRTIVI (Tanah), Raja harus mampu memberikan tempat yang aman bagi rakyatnya, menampung semuanya, tanpa ada diskriminasi, bagaikan tanah yang mau menampung semua manusia, SURYA (Matahari), Raja harus mampu memberikan jaminan keamanan kepada seluruh rakyat tanpa pandang bulu seperti Matahari yang memberikan kehidupan kepada mayapada, CHANDRA (Bulan ), Raja harus mampu mengangkat rakyatnya dari keterbelakangan, dari kebodohan, dari kegelapan, bagaikan sang rembulan yang menyinari kegelapan dimalam hari, dan yang terakhir adalah KARTIKA (Bintang), Raja harus mampu memberikan aturan-aturan hukum yang jelas, kepastian hukum bagi rakyat demi kesejahteraan, kemanusiaan, keadilan, bagaikan bintang gemintang yang mampu menunjukkan arah mata angin dengan pasti dikala malam menjalang. Inilah DELAPAN JANJI RAJA yang disebut ASTHAVRATA (Astobroto ; Jawa ). Dan menurut Sabdo Palon dan Naya Genggong, Prabhu Brawijaya telah lalai menjalankan janji sucinya sebagai AGNI.

Mendapati kondisi memanas seperti itu, Sunan Ampel mengeluarkan sebuah fatwa, Haram hukumnya menyerang Majapahit, karena bagaimanapun juga Prabhu Brawijaya adalah Imam yang wajib dipatuhi. Setelah keluar fatwa dari pemimpin Islam se-Jawa, konflik mulai mereda.

Namun bagaimanapun juga, dikalangan orang-orang Islam diam-diam terbagi menjadi dua kubu. Yaitu kubu yang mencita-citakan berdirinya Kekhalifahan Islam Jawa, dan kubu yang tidak menginginkan berdirinya Kekhalifahan itu. Kubu kedua ini berpendapat, dalam naungan Kerajaan Majapahit, yang notabene Shiva Buddha, ummat Islam diberikan kebebasan untuk melaksanakan ibadah agamanya. Bahkan, syari’at Islam pun boleh dijalankan didaerah-daerah tertentu.

Kubu pertama dipelopori oleh Sunan Giri, sedangkan kubu kedua dipelopori oleh Sunan Kalijaga, putra Adipati Tuban Arya Teja, keponakan Sunan Ampel. Kubu Sunan Giri mengklaim, bahwa golongan mereka memeluk Islam secara kaffah, secara bulat-bulat, maka pantas disebut PUTIHAN (Kaum Putih). Dan mereka menyebut kubu yang dipimpin Sunan Kalijaga sebagai ABANGAN (Kaum Merah).

Bibit perpecahan didalam orang-orang Islam sendiri mulai muncul. Hal ini hanya bagaikan api dalam sekam ketika Sunan Ampel masih hidup. Kelak, ketika Majapahit berhasil dijebol oleh para militant Islam dan ketika Sunan Ampel sudah wafat, kedua kubu ini terlibat pertikaian frontal yang berdarah-darah ( Yang paling parah dan memakan banyak korban, sampai-sampai para investor dari Portugis melarikan diri ke Malaka dan menceritakan di Jawa tengah terjadi situasi chaos dan anarkhis yang mengerikan, adalah pertikaian antara Arya Penangsang, santri Sunan Kudus, penguasa Jipang Panolan dari kubu Putihan dengan Jaka Tingkir atau Mas Karebet, santri dari Sunan Kalijaga, penguasa Pajang dari kubu Abangan. Nanti akan saya ceritakan : Damar Shashangka ).

Berdirinya Ponorogo.

Ki Ageng Kutu, Adipati Wengker, sebenarnya masih keturunan bangsawan Majapahit. Beliau masih keturunan Raden Kudha Merta, ksatria dari Pajajaran yang melarikan diri bersama Raden Cakradhara. Raden Kudha Merta berhasil menikah dengan Shri Gitarja, putri Raden Wijaya, Raja Pertama Majapahit. Sedangkan Raden Cakradhara berhasil menikahi Tribhuwanatunggadewi, kakak kandung Shri Gitarja.

Dari perkawinan antara Raden Cakradhara dengan Tribhuwanatunggadewi inilah lahir Prabhu Hayam Wuruk yang terkenal itu. Sedangkan Raden Kudha Merta, menjadi penguasa daerah Wengker, yang sekarang dikenal dengan nama Ponorogo.

Ki Ageng Kutu adalah keturunan dari Raden Kudha Merta dan Shri Gitarja.

Melihat Majapahit, dibawah pemerintahan Prabhu Brawijaya bagaikan harimau yang kehilangan taringnya, Ki Ageng Kutu, memaklumatkan perang dengan Majapahit.

Prabhu Brawijaya atau Prabhu Kertabhumi menjawab tantangan Ki Ageng Kutu dengan mengirimkan sejumlah pasukan tempur Majapahit dibawah pimpinan Raden Bathara Katong, putra selir beliau.

Peperangan terjadi. Pasukan Majapahit terpukul mundur. Hal ini disebabkan, banyak para prajurid Majapahit yang membelot dari kesatuannya dan memperkuat barisan Wengker. Pasukan yang dipimpin Raden Bathara Katong kocar-kacir.

Raden Bathara Katong yang merasa malu karena telah gagal menjalankan tugas Negara, konon tidak mau pulang ke Majapahit. Dia bertekad, bagaimanapun juga, Wengker harus ditundukkan. Inilah sikap seorang Ksatria sejati.

Ada seorang ulama Islam yang tinggal di Wengker yang mengamati gejolak politik itu. Dia bernama Ki Ageng Mirah. Situasi yang tak menentu seperti itu, dimanfaatkan olehnya. Dia mendengar Raden Bathara Katong tidak pulang ke Majapahit, dia berusaha mencari kebenaran berita itu. Dan usahanya menuai hasil. Dia berhasil menemukan tempat persembunyian Raden Bathara Katong.

Dia menawarkan diri bisa memberikan solusi untuk menundukkan Wengker karena dia sudah lama tinggal disana. Raden Bathara Katong tertarik. Namun diam-diam, Ki Ageng Mirah, menanamkan doktrin ke-Islam-an dibenak Raden Bathara Katong. Jika ini berhasil, setidaknya peng-Islam-an Wengker akan semakin mudah, karena Raden Bathara Katong mempunyai akses langsung dengan militer Majapahit. Jika-pun tidak berhasil membuat Raden Bathara Katong memeluk Islam, setidaknya, kelak dia tidak akan melupakan jasanya telah membantu memberitahukan titik kelemahan Wengker. Dan bila itu terjadi, Ki Ageng Mirah pasti akan menduduki kedudukan yang mempunyai akses luas menyebarkan Islam di Wengker.

Dan ternyata, Raden Bathara Katong tertarik dengan agama baru itu.

Selanjutnya, Ki Ageng Mirah mengatur rencana. Raden Bathara Katong harus pura-pura meminta suaka politik di Wengker. Raden Bathara Katong harus mengatakan untuk memohon perlindungan kepada Ki Ageng Kutu. Dia harus pura-pura membelot dari pihak Majapahit.

Ki Ageng Kutu pasti akan menerima pengabdian Raden Bathara Katong. Ki Ageng Kutu pasti akan senang melihat Raden Bathara Katong telah membelot dan kini berada di fihaknya. Manakala rencana itu sudah berhasil, Raden Bathara Katong harus mengutarakan niatnya untuk mempersunting Ni Ken Gendhini, putri sulung Ki Ageng Kutu sebagai istri. Mengingat status Raden Bathara Katong sebagai seorang putra Raja Majapahit, lamaran itu pasti akan disambut gembira oleh Ki Ageng Kutu..

Dan bila semua rencana berjalan mulus, Raden Bathara Katong harus mampu menebarkan pengaruhnya kepada kerabat Wengker. Dia harus jeli dan teliti mengamati titik kelemahan Wengker. Ni Ken Gendhini, putri Ki Ageng Kutu bisa dimanfaatkan untuk tujuan itu.

Bila semua sudah mulus berjalan, dan bila waktunya sudah tepat, maka Raden Bathara Katong harus sesegera mungkin mengirimkan utusan ke Majapahit untuk meminta pasukan tempur tambahan.

Bila semua berjalan lancar, Wengker pasti jatuh!

Raden Bathara Katong melaksanakan semua rencana yang disusun Ki Ageng Mirah. Dan atas kelihaian Raden Bathara Katong, semua berjalan lancar.

Ki Ageng Kutu, yang merasa masih mempunyai hubungan kekerabatan jauh dengan Raden Bathara Katong, dengan suka rela berkenan memberikan suaka politik kepadanya. Ditambah, ketika Raden Bathara Katong mengutarakan niatnya untuk mempersunting Ni Ken Gendhini, Ki Ageng Kutu serta merta menyetujuinya.

Rencana bergulir. Umpan sudah dimakan. Tinggal menunggu waktu.

Ni Ken Gendhini mempunyai dua orang adik laki-laki, Sura Menggala dan Sura Handaka. ( Sura Menggala = baca Suromenggolo, sampai sekarang menjadi tokoh kebanggaan masyarakat Ponorogo. Dikenal dengan nama Warok Suromenggolo : Damar Shashangka).

Ni Ken Gendhini dan Sura Menggala berhasil masuk pengaruh Raden Bathara Katong, sedangkan Sura Handaka tidak.

Raden Bathara Katong berhasil mengungkap segala seluk-beluk kelemahan Wengker dari Ni Ken Gendhini. Inilah yang diceritakan secara simbolik dengan dicurinya Keris Pusaka Ki Ageng Kutu, yang bernama Keris Kyai Condhong Rawe oleh Ni Ken Gendhini dan kemudian diserahkan kepada Raden Bathara Katong.

Condhong Rawe hanya metafora. Condhong berarti Melintang (Vertikal) dan Rawe berarti Tegak ( Horisontal). Arti sesungguhnya adalah, kekuatan yang tegak dan melintang dari seluruh pasukan Wengker, telah berhasil diketahui secara cermat oleh Raden Bathara Katong atas bantuan Ni Ken Gendhini. Struktur kekuatan militer ini sudah bisa dibaca dan diketahui semuanya.

Dan manakala waktu sudah dirasa tepat, dengan diam-diam, dikirimkannya utusan kepada Ki Ageng Mirah. Utusan ini menyuruh Ki Ageng Mirah, atas nama Raden Bathara Katong, memohon tambahan pasukan tempur ke Majapahit.

Mendapati kabar Raden Bathara Katong masih hidup, Prabhu Brawijaya segera memenuhi permintaan pengiriman pasukan baru.

Majapahit dan Wengker diadu! Majapahit dan Wengker tidak menyadari, ada pihak ketiga bermain disana! Ironis sekali.

Peperangan kembali pecah. Ki Ageng Kutu yang benar-benar merasa kecolongan, dengan marah mengamuk dimedan laga bagai bantheng ketaton, bagai banteng yang terluka. Demi Dharma, dia rela menumpahkan darahnya diatas bumi pertiwi. Walau harus lebur menjadi abu, Ki Ageng Kutu, beserta segenap pasukan Wengker, maju terus pantang mundur!

Namun bagaimanapun, seluruh struktur kekuatan Wengker telah diketahui oleh Raden Bathara Katong. Pasukan Wengker, yang terkenal dengan nama Pasukan Warok itu terdesak hebat! Namun, Ki Ageng Kutu beserta seluruh pasukannya telah siap untuk mati. Siap mati habis-habisan! Siap menumpahkan darahnya diatas hamparan pangkuan ibu pertiwi! Dengan gagh berani, pasukan ksatria ini terus merangsak maju, melawan pasukan Majapahit.

Banyak kepala pasukan Majapahit yang menangis melihat mereka harus bertempur dengan saudara sendiri. Banyak yang meneteskan air mata, melihat mayat-mayat prajurid Wengker bergelimpangan bermandikan darah. Dan pada akhirnya, Wengker berhasil dijebol. Wengker berhasil dihancurkan!

Darah menetes! Darah membasahi ibu pertiwi. Darah harum para ksatria sejati yang benar-benar tulus menegakkan Dharma! Alam telah mencatatnya! Alam telah merekamnya!

Kabar kemenangan itu sampai di Majapahit. Namun, Prabhu Brawijaya berkabung mendengar kegagahan pasukan Wengker. Mendengar kegagahan Ki Ageng Kutu. Seluruh Pejabat Majapahit berkabung. Sabdo Palon dan Naya Genggong berkabung. Kabar kemenangan itu membuat Majapahit bersedih, bukannya bersuka cita.

Para pejabat Majapahit menagis sedih melihat sesama saudara harus saling menumpahkan darah karena campur tangan pihak ketiga, karena disebabkan adanya pihak ketiga. Ki Ageng Kutu adalah seorang Ksatria yang gagah berani. Ki Ageng Kutu adalah salah satu sendi kekuatan militer Majapahit. Kini, Ki Ageng Kutu harus gugur ditangan pasukan Majapahit sendiri. Betapa tidak memilukan!

Kadipaten Wengker kini dikuasai oleh Raden Bathara Katong. Surat pengukuhan telah diterima dari pusat. Dan Wengker lantas dirubah namanya menjadi Kadipaten Ponorogo. Wengker yang Shiva Buddha, kini telah berhasil menjadi Kadipaten Islam.

Kubu Abangan

Seorang ulama berdarah Majapahit, yang lahir di Kadipaten Tuban, yang sangat dikenal dikalangan masyarakat Jawa yaitu Sunan Kalijaga, mati-matian membendung gerakan militansi Islam. Beliau seringkali mengingatkan, bahwasanya membangun akhlaq lebih penting daripada mendirikan sebuah Negara Islam.

Sunan Kalijaga adalah putra Adipati Tuban, Arya Teja. Adipati Arya Teja adalah keturunan Senopati Agung Majapahit masa lampau, Adipati Arya Ranggalawe yang berhasil memimpin pasukan Majapahit mengalahkan pasukan Tiongkok Mongolia yang hendak menguasai Jawa ( Adipati Arya Ranggalawe adalah salah satu tangan kanan Raden Wijaya, pendiri Kerajaan Majapahit.)

Adipati Arya Teja berhasil di Islamkan oleh Sunan Ampel. Bahkan kakak kandung beliau dinikahi Sunan Ampel. Dari pernikahan Sunan Ampel dengan kakak kandung Adipati Arya Teja, lahirlah Sunan Bonang, Sunan Derajat, Sunan Lamongan, dan lima putri yang lain ( seperti yang telah saya tulis pada bagian pertama : Damar Shashangka ).

Para pengikut Sunan Giri yang tidak sepaham dengan para pengikut Sunan Kalijaga, sering terlibat konflik-konflik terselubung. Di pihak Sunan Giri, banyak ulama yang bergabung, seperti Sunan Derajat, Sunan Lamongan, Sunan Majagung ( sekarang dikenal dengan Sunan Bejagung), Sunan Ngundung dan putranya Sunan Kudus, dll.

Dipihak Sunan Kalijaga, ada Sunan Murya (sekarang dikenal dengan nama Sunan Muria), Syeh Jangkung, Syeh Siti Jenar, dll.

Khusus mengenai Syeh Siti Jenar atau juga disebut Sunan Kajenar, beliau adalah ulama murni yang menekuni spiritualitas. Beliau sangat-sangat tidak menyetujui gerakan kaum Putih yang merencanakan berdirinya Negara Islam Jawa.

Pertikaian ini mencapai puncaknya ketika Syeh Siti Jenar, menyatakan keluar dari Dewan Wali Sangha. Syeh Siti Jenar menyatakan terpisah dari Majelis Ulama Jawa itu. Beliau tidak mengakui lagi Sunan Ampel sebagai seorang Mufti.

Didaerah Cirebon, Syeh Siti Jenar banyak memiliki pengikut.

Manakala menjelang awal tahun 1478, Sunan Ampel wafat dan kedudukan Mufti digantikan oleh Sunan Giri, keberadaan Syeh Siti Jenar dianggap sangat membahayakan Islam.

Semua dinamika ini, terus diamati oleh intelejen Majapahit. Gerakan-gerakan militansi Islam mulai merebak dipesisir utara Jawa. Mulai Gresik, Tuban, Demak, Cirebon dan Banten. Para pejabat daerah telah mengirimkan laporan kepada Prabhu Brawijaya. Tapi Prabhu Brawijaya tetap yakin, semua masih dibawah kontrol beliau.

Keturunan di Pengging

Pernikahan Dewi Anarawati dengan Prabhu Brawijaya semakin dikukuhkan dengan diangkatnya putri Champa ini sebagai permaisuri. Keputusan yang sangat luar biasa ini menuai protes. Kesuksesan besar bagi Dewi Anarawati membuat para pejabat Majapahit resah. Bisa dilihat jelas disini, bila kelak Prabhu Brawijaya wafat, maka yang akan menggantikannya sudah pasti putra dari seorang permaisuri. Dan sang permaisuri beragama Islam. Dapat dipastikan, Majapahit akan berubah menjadi Negara Islam.

Dari luar Istana, Sunan Giri menyusun strategi memperkuat barisan militansi Islam. Dari dalam Istana, Dewi Anarawati mempersiapkan rencana yang brilian. Jika Sunan Giri gagal merebut Majapahit dengan cara pemberontakan, dari dalam istana, Majapahit sudah pasti bisa dikuasai oleh Dewi Anarawati. Bila rencana pertama gagal, rencana kedua masih bisa berjalan.

Tapi ternyata, apa yang diharapkan Dewi Anarawati menuai hambatan. Dari hasil perkawinannya dengan Prabhu Brawijaya, lahirlah tiga orang anak. Yang sulung seorang putri, dinikahkan dengan Adipati Handayaningrat IV, penguasa Kadipaten Pengging ( sekitar daerah Solo, Jawa Tengah sekarang), putra kedua bernama Raden Lembu Peteng, berkuasa di Madura, dan yang ketiga Raden Gugur, masih kecil dan tinggal di Istana. (Kelak, Raden Gugur inilah yang terkenal dengan julukan Sunan Lawu, dipercaya sebagai penguasa mistik Gunung Lawu, yang terletak didaerah Magetan, hingga sekarang : Damar Shashangka.)

Hambatan yang dituai Dewi Anarawati adalah, putri sulungnya tidak tertarik memeluk Islam, begitu juga dengan Raden Gugur. Hanya Raden Lembu Peteng yang mau memeluk Islam.

Dari pernikahan putri sulung Dewi Anarawati dengan Adipati Handayaningrat IV, lahirlah dua orang putra, Kebo Kanigara dan Kebo Kenanga. Keduanya juga tidak tertarik memeluk Islam. Si sulung bahkan pergi meninggalkan kemewahan Kadipaten dan menjadi seorang pertapa di Gunung Merapi ( didaerah Jogjakarta sekarang). Sampai sekarang, petilasan bekas pertapaan beliau masih ada dan berubah menjadi sebuah makam yang seringkali diziarahi.

Otomatis, yang kelak menggantikan Adipati Handayaningrat IV sebagai Adipati Pengging, bahkan juga jika Prabhu Brawijaya mangkat, tak lain adalah adik Kebo Kanigara, yaitu Kebo Kenanga. Kelak, dia akan mendapat limpahan tahta Pengging maupun Majapahit! Inilah pewaris sah tahta Majapahit.

Keno Kenanga lantas dikenal dengan nama Ki Ageng Pengging.

Ki Ageng Pengging sangat akrab dengan Syeh Siti Jenar. Keduanya, yang satu beragama Shiva Buddha dan yang satu beragama Islam, sama-sama tertarik mendalami spiritual murni. Mereka berdua seringkali berdiskusi tentang ‘Kebenaran Sejati’. Dan hasilnya, tidak ada perbedaan diantara Shiva Buddha dan Islam.

Namun kedekatan mereka ini disalah artikan oleh ulama-ulama radikal yang masih melihat kulit, masih melihat perbedaan. Syeh Siti Jenar dituduh mendekati Ki Ageng Pengging untuk mencari dukungan kekuatan. Dan konyolnya, Ki Ageng Pengging dikatakan sebagai murid Syeh Siti Jenar yang hendak melakukan pemberontakan ke Demak Bintara. Padahal Ki Ageng Pengging tidak tertarik dengan tahta. Walaupun sesungguhnya, memang benar bahwa beliau lah yang lebih berhak menjadi Raja Majapahit kelak ketika Majapahit berhasil dihancurkan oleh Raden Patah Dan juga, Ki Ageng Pengging bukanlah seorang muslim. Beliau dengan Syeh Siti Jenar hanyalah seorang ‘sahabat spiritual’. Hubungan seperti ini, tidak akan bisa dimengerti oleh mereka yang berpandangan dangkal. Ki Ageng Pengging dan Syeh Siti Jenar adalah seorang spiritualis sejati. Kelak, setalah Majapahit berhasil dihancurkan para militant Islam, dua orang sahabat ini menjadi target utama untuk dimusnahkan. Baik Syeh Siti Jenar maupun Ki Ageng Pengging gugur karena korban kepicikan.

Dan, nama Ki Ageng Pengging dan Syeh Siti Jenar dibuat hitam. Sampai sekarang, nama keduanya masih terus dihakimi sebagai dua orang yang sesat dikalangan Islam. Namun bagaimanapun juga, keharuman nama keduanya tetap terjaga dikisi-kisi hati tersembunyi masyarakat Jawa, walaupun tidak ada yang berani menyatakan kekagumannya secara terang-terangan. Ironis.

Dari Ki Ageng Pengging inilah, lahir seorang tokoh terkenal di Jawa. Yaitu Mas Karebat atau Jaka Tngkir. Dan kelak menjadi Sultan Pajang setelah Demak hancur dengan gelar Sultan Adiwijaya.

Keturunan di Tarub

Dikisahkan secara vulgar, suatu ketika Prabhu Brawijaya terserang penyakit Rajasinga atau syphilis. Para Tabib Istana sudah bekerja keras berusaha menyembuhkan beliau, tapi penyakit beliau tetap membandel.

Atas inisiatif beliau sendiri, setiap malam beliau tidur diarel Pura Keraton. Memohon kepada Mahadewa agar diberi kesembuhan. Dan konon, setelah beberapa malam beliau memohon, suatu malam, beliau mendapat petunjuk sangat jelas.

Dalam keheningan meditasinya, lamat-lamat beliau ‘mendengar’ suara.

“Jika engkau ingin sembuh, nikahilah seorang pelayan wanita berdarah Wandhan. Dan, inilah kali terakhir engkau boleh menikah lagi.”

Mendapat ‘wisik’ yang sangat jelas seperti itu, Prabhu Brawijaya termangu-mangu. Dan beliau teringat, di Istana ada beberapa pelayan Istana yang berasal dari daerah Wandhan ( Bandha Niera, didaerah Sulawesi ).

Keesokan harinya, beliau memanggil para pelayan istana dari daerah Wandhan. Beliau memilih yang paling cantik. Ada seorang pelayan dari Wandhan, bernama Dewi Bondrit Cemara, sangat cantik. Diambillah dia sebagai istri selir. Dikemudian hari, Dewi Bondrit Cemara dikenal dengan nama Dewi Wandhan Kuning.

Begitu menikahi Dewi Wandhan Kuning, dan setelah melakukan senggama beberapa kali, penyakit Sang Prabhu berangsur-angsur sembuh.

Namun Sang Prabhu merasa perkawinannya dengan Dewi Wandhan Kuning harus dirahasiakan. Karena apabila kabar ini terdengar sampai ke daerah Wandhan, pasti para bangsawan Sulawesi merasa terhina oleh sebab Sang Prabhu bukannya mengambil salah seorang putri bangsawan Wandhan, tapi malah mengambil seorang pelayan.

Dewi Wandhan Kuning mengandung, hingga akhirnya melahirkan seorang anak laki-laki, putra ini lantas dititipkan kepada Kepala Urusan Sawah Istana, Ki Juru Tani. ( Waktu itu, Istana memiliki areal pesawahan khusus yang hasilnya untuk dikonsumsi oleh seluruh kerabat Istana.)

Anak ini diberi nama Raden Bondhan Kejawen ( Bondhan perubahan dari kata Wandhan. Kejawen berarti yang telah berdarah Jawa.)

Raden Bondhan Kejawen dibesarkan oleh Ki Juru Tani. Dan manakala sudah berangsur dewasa, atas perintah Sang Prabhu, Raden Bondhan Kejawen dikirimkan kepada Ki Ageng Tarub, seorang Pandhita Shiva yang memiliki Ashrama di daerah Tarub ( sekitar Purwodadi, Jawa Tengah sekarang.)

Jika anda pernah mendengar legenda Jaka Tarub dan Dewi Nawangwulan, maka inilah dia. Jaka Tarub yang konon mencuri selendang bidadari Dewi Nawangwulan dan lantas ditinggal oleh sang bidadari setelah sekian lama menjadi istri beliau karena ketahuan bahwa yang menyembunyikan selendang itu adalah Jaka Tarub sendiri. ( Saya tidak akan membedah simbolisasi legenda ini disini, karena tidak sesuai dengan topic yang saya bahas : Damar Shashangka).

Jaka Tarub inilah yang lantas dikenal dengan nama Ki Ageng Tarub. Menginjak dewasa, Raden Bondhan Kejawen dinikahkan dengan Dewi Nawangsih, putri tunggal Ki Ageng Tarub. Dan kelak Raden Bondhan Kejawen bergelar Ki Ageng Tarub II.

Dari hasil perkawinan Raden Bondhan Kejawen dengan Dewi Nawangsih, lahirlah Raden Getas Pandhawa. Dari Raden Getas Pandhawa, lahirlah Ki Ageng Sela yang hidup sejaman dengan Sultan Trenggana, Sultan Demak ketiga. Ki Ageng Sela inilah tokoh yang konon bisa memegang petir sehingga menggegerkan seluruh Kesultanan Demak ( simbolisasi lagi, kapan-kapan saya ulas : Damar Shashangka).

Sampai sekarang nama Ki Ageng Sela terkenal di tengah masyarakat Jawa. Ki Ageng Sela inilah keturunan Tarub yang mulai beralih memeluk Islam. Beliau berguru kepada Sunan Kalijaga. Perpindahan agama ini berjalan dengan damai. Nama Islam beliau adalah Ki Ageng Abdul Rahman.

Dari Ki Ageng Sela, lahirlah Ki Ageng Mangenis Sela. Dari Ki Ageng Mangenis Sela, lahirlah Ki Ageng Pamanahan. Dan dari Ki Ageng Pamanahan lahirlah Panembahan Senopati Ing Ngalaga, tokoh terkenal pendiri dinasti Mataram Islam dikemudian hari. ( Panembahan Senopati Ing Ngalaga Mataram inilah leluhur Para Sultan Kasultanan Jogjakarta, Para Sunan Kasunanan Surakarta (Solo), Pakualaman dan Mangkunegaran sekarang.)

Peng-Islam-an keturunan Raden Bondhan Kejawen, berlangsung dengan damai.

Raden Patah

Ingat putri China Tan Eng Kian yang dinikahi Adipati Arya Damar di Palembang?

Dari hasil pernikahan dengan Prabhu Brawijaya, Tan Eng Kian memiliki seorang putra bernama Tan Eng Hwat. Dikenal juga dengan nama muslim Raden Hassan. Dari perkawinan Tan Eng Kian dengan Arya Damar sendiri, lahirlah seorang putra bernama Kin Shan, dikenal dengan nama muslim Raden Hussein.

Sejak kecil, Raden Hassan dan Raden Hussein dididik secara Islam oleh ayahnya Arya Damar. Menjelang dewasa, Raden Hassan memohon ijin kepada ibunya untuk pergi ke Jawa. Dia berkeinginan untuk bertemu dengan ayah kandungnya, Prabhu Brawijaya.

Tan Eng Kian tidak bisa menghalangi keinginan putranya. Dari Palembang, Raden Hassan bertolak ke Jawa. Sampailah ia di pelabuhan Gresik yang ramai. Melihat keadaan Gresik yang hiruk-pikuk, Raden Hassan kagum. Dia bisa membayangkan bagaimana besarnya kekuasaan Majapahit. Menilik di Gresik banyak orang muslim, Raden Hassan tertarik.

Dan dengar-dengar, ada Pesantren besar disana. Pesantren Giri. Raden Hassan memutuskan untuk bertandang ke Giri. Bertemulah dia dengan Sunan Giri. Sunan Giri senang melihat kedatangan Raden Hassan setelah mengetahui dia adalah putra Prabhu Brawijaya yang lahir di Palembang. Sunan Giri seketika melihat sebuah peluang besar.

Di Giri, Raden Hassan memperdalam ke-Islaman-nya. Disana, Raden Hassan mulai tertarik dengan ide-ide ke-Khalifah-an Islam. Dan militansi Raden Hassan mulai terbentuk.Ada kesepakatan pemahaman antara Raden Hassan dengan Sunan Giri.

Dari Sunan Giri, Raden Hassan memperoleh ide untuk meminta daerah otonomi khusus kepada ayahnya, Prabhu Brawijaya. Bila disetujui, hendaknya Raden Patah memilih daerah di pesisir Jawa bagian tengah. Jika itu terwujud, keberadaan daerah otonomi didaerah pesisir utara Jawa bagian tengah, akan menjadi penghubung pergerakan militant Islam dari Jawa Timur dan Jawa Barat di Cirebon.

Cirebon, kini tumbuh pesat sebagai pusat kegiatan Islam dibawah pimpinan Pangeran Cakrabhuwana, putra kandung Prabhu Siliwangi, Raja Pajajaran. (Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah belum datang dari Mesir ke Cirebon. Dia datang pada tahun 1475 Masehi. Pada bagian selanjutnya akan saya ceritakan : Damar Shashangka.)

Setelah dirasa cukup, Raden Hassan melanjutkan perjalanan ke Pesantren Ampel dengan diiringi beberapa santri Sunan Giri. Disana dia disambut suka cita oleh Sunan Ampel. Disana, dia diberi nama baru oleh Sunan Ampel, yaitu Raden Abdul Fattah yang lantas dikenal masyarakat Jawa dengan nama Raden Patah.

Selesai bertandang di Ampel, Raden Hassan yang kini dikenal dengan nama Raden Patah melanjutkan perjalanan ke ibu kota Negara Majapahit. Dia yang semula hanya berniat untuk bertemu dengan ayahnya, sekarang dia telah membawa misi tertentu.

Betapa suka cita Prabhu Brawijaya mendapati putra kandungnya telah tumbuh dewasa. Dan manakala, Raden Patah memohon anugerah untuk diberikan daerah otonom, Prabhu Brawijaya mengabulkannya. Raden Patah meminta daerah pesisir utara Jawa bagian tengah. Dia memilih daerah yang dikenal dengan nama Glagah Wangi.

Prabhu Brawijaya menyetujui permintaan Raden Patah. Dia mendanai segala keperluan untuk membangun daerah baru. Raden Patah, dengan disokong tenaga dan dana dari Majapahit, berangkat ke Jawa Tengah. Di daerah pesisir utara, didaerah yang dipenuhi tumbuhan pohon Glagah, dia membentuk pusat pemerintahan Kadipaten baru. Begitu pusat Kadipaten dibentuk, dinamailah tempat itu Demak Bintara. Dan Raden Patah, dikukuhkan oleh Sang Prabhu Brawijaya sebagai penguasa wilayah otonom Islam baru disana.

Demak Bintara berkembang pesat. Selain menjadi pusat kegiatan politik, Demak Bintara juga menjadi pusat kegiatan keagamaan. Demak Bintara menjadi jembatan penghubung antara barat dan timur pesisir utara Jawa.

Dipesisir utara Jawa, gerakan-gerakan militant Islam mulai menguat. Sayang, fenomena itu tetap dipandang sepele oleh Prabhu Brawijaya. Beliau tetap yakin, dominasi Majapahit masih mampu mengontrol semuanya. Padahal para pejabat daerah yang dekat dengan pesisir utara sudah melaporkan adanya kegiatan-kegiatan yang mencurigakan. Pasukan Telik Sandhibaya telah memberikan laporan serius tentang adanya kegiatan yang patut dicurigai akan mengancam kedaulatan Majapahit.

Tak lama berselang, Raden Hussein, putra Tan Eng Kian dengan Arya Damar, menyusul ke Majapahit. Dia mengabdikan diri sebagai tentara di Majapahit. Raden Hussein tidak terpengaruh ide-ide pendirian ke-Khalifah-an Islam. Dia diangkat sebagai Adipati didaerah Terung ( Sidoarjo, sekarang ) dengan gelar, Adipati Pecattandha.

Kebaikan Prabhu Brawijaya sangat besar sebenarnya. Tapi kebaikan yang tidak disertai kebijaksanaan bukanlah kebaikan. Dan hal ini pasti akan menuai masalah dikemudian hari. Bibit-bibit itu mulai muncul, tinggal menunggu waktu untuk pecah kepermukaan.

Dan Prabhu Brawijaya tidak akan pernah menyangkanya.

Mendekati detik-detik pemberontakan

Demak Bintara berkembang pesat. Tempat ini dirasa strategis untuk pengembangan militansi Islam karena letaknya agak jauh dari pusat kekuasaan. Di Demak Bintara, para ulama-ulama Putihan sering mengadakan pertemuan. Jadilah Demak Bintara dikenal sebagai Kota Seribu Wali.

Ditambah pada tahun 1475 Masehi, seorang ulama berdarah Mesir-Sunda datang dari Mesir. Dia adalah Syarif Hidayatullah. Dia datang bersama ibunya Syarifah Muda’im. Syarifah Muda’im adalah putri Pajajaran. Putri dari Prabhu Silihwangi penguasa Kerajaan Pejajaran. ( Hanya Kerajaan ini yang tidak masuk wilayah Majapahit. Walau kecil, Pajajaran terkenal kuat. Anda bisa membayangkan adanya Timor Leste sekarang. Seperti itulah keadaan Majapahit dan Pajajaran. : Damar Shashangka).

Nama asli Syarifah Muda’im adalah Dewi Rara Santang. Dia bersama kakaknya Pangeran Walangsungsang, tertarik mempelajari Islam. Ketika berada di Makkah, Dewi Rara Santang dipinang oleh bangsawan Mesir, Syarif Abdullah. Menikahlah Dewi Rara Santang dengan bangsawan ini. Dan namanya berganti Syarifah Muda’im. Dari pernikahan ini, lahirlah Syarif Hidayatullah.

Pangeran Walang Sungsang, mendirikan daerah hunian baru di pesisir utara Jawa barat. Dikenal kemudian dengan nama Tegal Alang-Alang. Lantas berubah menjadi Caruban. Berubah lagi menjadi Caruban Larang. Pada akhirnya, dikenal dengan nama Cirebon sampai sekarang.

Pangeran Walang Sungsang, dikenal kemudian dengan nama Pangeran Cakrabhuwana. Oleh ayahandanya, Prabhu Silihwangi diberikan gelar kehormatan Shri Manggana.

Syarif Hidayatullah, keponakan Pangeran Cakrabhuwana lantas dikenal dengan nama Sunan Gunung Jati.

Awal tahun 1478, Sunan Ampel wafat. Sunan Giri terpilih sebagai penggantinya. Pusat Majelis Ulama Jawa kini berpindah ke Giri Kedhaton. Dan, pada waktu inilah tragedi Syeh Siti Jenar terjadi. Syeh Siti Jenar dipanggil ke Giri Kedhaton dan disidang oleh Dewan Wali Sangha dibawah pimpinan Sunan Giri. Walau tidak mengakui keberadaan Majelis Ulama Jawa, beliau tetap hadir. Beliau dituduh telah menyebarkan aliran sesat. Adapula yang menuduh sebagai antek-antek Syi’ah. Ada juga yang mengatakan beliau ahli sihir, dan lain sebagainya. ( Akan saya buat catatan tersendiri tentang beliau : Damar Shashangka).

Pada sidang pertama para ulama yang tergabung dalam Dewan Wali Sangha tidak bisa menemukan kesalahan Syeh Siti Jenar. Sehingga, beliau lantas dibebaskan dari segala tuduhan. Namun bagaimanapun juga, Syeh Siti Jenar adalah duri didalam daging bagi mereka. Maka sejak saat itu, kesalahan-kesalahan beliau senantiasa dicari-cari.

Konsentrasi Dewan Wali Sangha terpecah pada rencana perebutan kekuasaan. Melalui serangkaian musyawarah yang pelik, maka disimpulkan, kekuatan militansi Islam sudah cukup siap untuk mengadakan perebutan kekuasaan. Raden Patah, Adipati Demak Bintara, terpilih secara mutlak sebagai pemimpin gerakan.

Kubu Abangan, tidak menghadiri musyawarah ini. Apalagi semenjak Dewan Wali Sangha atau Majelis Ulama Jawa dipegang Sunan Giri, hubungan kubu Putihan dan kubu Abangan kian meruncing.

Sunan Kalijaga dan para pengikutnya hanya mau membantu Dewan Wali Sangha merampungkan pembangunan Masjid Demak. Selebihnya, mereka tidak ikut campur.

Persiapan sudah matang. Tinggal memilih hari yang ditentukan. Pasukan Telik Sandhibaya ( Intelejen ) Majapahit mengendus rencana ini. Prabhu Brawijaya mendapat laporan para pasukan Intelejen yang ada disekitar Demak Bintara. Sayangnya, beliau tidak begitu mempercayainya. Beliau berkeyakinan, tidak mungkin Raden Patah, putra kandungnya sendiri akan nekad berbuat seperti itu. Prabhu Brawijaya tidak memahami betapa militant-nya orang yang sudah terdoktrin!

Dan manakala pergerakan pasukan besar-besaran terdengar, yaitu pasukan orang-orang Islam Putihan, gabungan dari seluruh lasykar yang ada di wilayah pesisir utara Jawa timur sampai Jawa barat mulai bergerak. Keadaan menjadi gempar! Para Pejabat daerah kalang kabut. Mereka tidak menyangka orang-orang Islam sedemikian banyaknya.

Setiap daerah yang dilalui pasukan ini, tidak ada yang bisa membendung. Kekuatan mereka cukup besar. Persiapan mereka cukup tertata. Sedangkan daerah-daerah yang dilalui, tidak mempunyai persiapan sama sekali. Daerah perdaerah yang dilewati, harus melawan sendiri-sendiri. Tidak ada penyatuan pasukan dari daerah satu dengan daerah lain. Semua serba mendadak. Dan tak ada pilihan lain kecuali melawan atau mundur teratur.

Gerakan pasukan ini cukup kuat. Para Adipati yang berhasil mundur segera melarikan diri ke ibu kota Negara. Mereka melaporkan agresi mendadak pasukan pesisir yang terdiri dari orang-orang Islam itu.

Dan dari mereka, Prabhu Brawijaya mendapat laporan yang mencengangkan, yaitu telah terjadi pergerakan pasukan dari Demak Bintara. Pasukan berpakaian putih-putih. Berbendera tulisan asing! Berteriak-teriak dengan bahasa yang tidak dimengerti! Pasukan ini dapat dipastikan adalah pasukan orang-orang Islam. Dan kini, tengah bergerak menuju ibu kota Negara Majapahit.

Percaya tidak percaya Prabhu Brawijaya mendengarnya. Laporan pasukan Telik Sandhibaya selama ini telah menjadi kenyataan.. Namun, Prabhu Brawijaya tetap tidak bisa mengerti, mana mungkin Raden Patah berbuat seperti itu. Mana mungkin orang-orang Islam berani dan tega mengadalan pemberontakan. Selama ini, Majapahit telah memberikan bantuan material yang tidak sedikit bagi mereka. Sesak! Dada Prabhu Brawijaya seketika serasa sesak bagai dihantam palu! Bergemuruh mendidih! Beliau menyebut Nama Mahadeva berkali-kali.

Seluruh pembesar Majapahit tegang. Mereka menantikan komando Sang Prabhu. Waktu berjalan cepat. Sang Prabhu masih belum mengeluarkan titah apapun. Pergerakan pasukan sudah memasuki Madiun, sebentar lagi mencapai wilayah Kadhiri, sudah teramat dekat dengan ibu kota Negara. Pertempuran-pertempuran penghadangan telah terjadi secara otomatis. Dan semua telah masuk menjadi laporan bagi Sang Prabhu.

Bahkan ada laporan yang menyatakan, beberapa daerah yang terpengaruh Islam, malah ikut bergabung dengan pasukan ini.

Adipati Kertosono ( wilayah Kediri sekarang ) mengirinkan utusan khusus kepada Sang Prabhu untuk segera mengeluarkan perintah perang!

Sang Prabhu masih termangu-mangu. Dan manakala terdengar Adipati Kertosono melakukan perlawanan mati-matian tanpa menunggu komando beliau, barulah Sang Prabhu tersadar! Segera beliau memerintahkan seluruh pasukan Majapahit untuk mempersiapkan sebuah perang besar!

Para Panglima yang telah menanti-nantikan perintah ini menyambut dengan suka cita! Inilah yang mereka nanti-nantikan! Tanpa menunggu waktu lama, seluruh kekuatan Majapahit segera dipersiapkan.

Pasukan Majapahit telah siap sedia menyambut kedatangan pasukan Demak Bintara. Dan sekali lagi, mereka tinggal menunggu perintah untuk MENYERANG!

Dan komando terakhir inipun tidak segera keluar. Pasukan Majapahit resah. Para Panglima cemas. Para kepala pasukan tempur digaris depan terus mendesak kepada Para Panglima masing-masing agar segera mengeluarkan perintah penyerangan!

Para Panglima juga mendesak Sang Senopati Agung, meminta kepada Prabhu Brawijaya untuk segera memberikan komando terakhir. Perlu dicatat, salah satu panglima yang memperkuat barisan Majapahit adalah Adipati Terung, adik tiri Raden Patah.

Dalam hatinya bertanya-tanya, ada apakah dengan kakak tirinya sehingga mengadakan gerakan makar sedemikian rupa? Selama ini, dia tidak melihat ada yang salah dengan pemerintahan Prabhu Brawijaya. Tidak ada diskriminasi dalam hal keagamaan. Dirinya yang muslim-pun, bisa bebas menjalankan ibadah agamanya. Bahkan, bisa dipercaya menjabat sebagai seorang Adipati, yang notabene bukan jabatan main-main.

Adipati Terung tidak bisa memahami pola pikir kakak tirinya.

Dan perintah penyerangan tidak juga segera turun. Seluruh pasukan yang sudah bersiap sedia dibarak masing-masing, dilanda ketegangan yang luar biasa!

Di Istana, Para Mantri resah. Melihat situasi ini, Sabdo Palon dan Naya Genggong meminta Sang Prabhu untuk segera mengeluarkan perintah. Namun apa jawaban Sang Prabhu? Beliau masih tidak yakin pasukan Demak akan tega menyerang ibu kota Negara Majapahit. Sabdo Palon dan Naga Genggong menandaskan, cara berfikir Raden Patah dan para pasukan ini sudah lain. Sang Prabhu tidak akan bisa memahaminya. Jalan satu-satunya sekarang adalah, menghadapi mereka secara frontal. Pada saat ini, tidak ada cara lain.

Dan manakala kabar terdengar pasukan Demak telah merangsak maju dan memasuki pinggiran ibu kota Majapahit, dan disana mereka mengadakan perusakan hebat. Dengan sangat terpaksa, Sang Prabhu mengeluarkan perintah penyerangan! Tapi, perintah itu sebenarnya telah terlambat!

Begitu keluar perintah penyerangan, ada hal yang tidak terduga, pasukan Ponorogo dan beberapa daerah yang lain membelot! Diketahui kemudian ternyata mereka adalah pasukan dari daerah-daerah yang sudah muslim.

Dan, peperangan pecah sudah!

Peperangan yang besar. Darah tertumpah lagi! Senopati Demak dipimpin oleh Sunan Ngundung. Dan dipihak Majapahit, Senopati dipegang oleh Arya Lembu Pangarsa. Prajurid Majapahit mengamuk dimedan laga. Para prajurid yang sudah berpengalaman tempur ini dan disegani diseluruh Nusantara, sekarang tidak main-main lagi! Adipati Sengguruh, Raden Bondhan Kejawen yang masih belia, Adipati Terung, Adipati Singosari dan yang lain ikut mengamuk dimedan laga!

Sayang, banyak kesatuan-kesatuan Majapahit yang berasal dari daerah muslim, membelot. Namun, pada hari pertama, pasukan Demak Bintara terpukul mundur!

Pada hari kedua, pasukan Demak terpukul lebih telak. Senopati Demak, Sunan Ngundung tewas! ( Makamnya masih ada di Trowulan, Mojokerto sampai sekarang.) Pasukan Demak mengundurkan diri. Pasukan cadangan masuk dipimpin oleh putra Sunan Ngundung, Sunan Kudus. Pertempuran kembali pecah!

Namun bagaimanapun juga, pasukan Demak harus mengakui kekuatan pasukan Majapahit. Mereka terpukul mundur keluar dari ibu kota Negara. Kehebatan pasukan Majapahit yang terkenal itu, ternyata terbukti!

Pasukan Demak bertahan. Beberapa minggu kemudian, datang pasukan dari Palembang bergabung dengan pasukan Majapahit. Pasukan Majapahit seolah mendapat suntikan darah segar. Namun ternyata, bergabungnya pasukan Palembang ini hanyalah bagian dari siasat dari orang-orang Demak.

Pasukan Palembang, diam-diam memusnahkan seluruh persediaan bahan makanan tentara Majapahit. Lumbung-lumbung besar dibakar! Semua persediaan bahan pangan ludes! ( Inilah simbolisasi dari didatangkannya peti ajaib milik Adipati Arya Damar dari Palembang yang apabila dibuka, mampu mengeluarkan beribu-ribu tikus dan memakan seluruh beras dan bahan pangan tentara Majapahit. : Damar Shashangka).

Majapahit kebobolan luar dalam. Majapahit benar-benar tidak pernah menyangka akan hal itu. Begitu persediaan bahan pangan menipis, dari hari kehari, pelan namun pasti, pasukan Majapahit terpukul mundur!

Mendengar pasukan Majapahit terdesak, Kepala Pasukan Bhayangkara, yaitu Pasukan Khusus Pengawal Raja, segera mengamankan Prabhu Brawijaya. Keadaan sudah sedemikian genting dan Sang Prabhu, mau tidak mau, harus segera meloloskan diri. Ini harus dilakukan secepatnya, karena untuk menyatukan kembali kekuatan tentara Majapahit kelak, sosok Prabhu Brawijaya, masih dibutuhkan!

Dengan dikawal Pasukan Bhayangkara, Prabhu Brawijaya segera keluar dari Istana. Pasukan Bhayangkara memutuskan agar Sang Prabhu menyelamatkan diri ke Pulau Bali. Pulau yang kondusif untuk saat ini.

Ditengah kekacauan itu, Dewi Anarawati, diam-diam dibawa oleh pasukan Islam ke Gresik. Putra bungsu Dewi Anarawati, Raden Gugur yang masih kecil, diselamatkan oleh pasukan Ponorogo dan dibawa ke Kadipaten Ponorogo.

Dan pada akhirnya, Majapahit bisa dijebol. Seluruh Istana dirusak dan dibakar!. Perusakan terjadi dimana-mana. ( Maka jangan heran, sampai sekarang bekas Istana Majapahit yang terkenal di Nusantara itu, musnah tak berbekas. : Damar Shashangka )

Dan pada akhirnya, terjadilah tragedi kemanusiaan yang sampai sekarang ‘ditutupi’. Perang yang semula melibatkan dua kekuatan militer Majapahit dan Demak, kini merembet menjadi perang sipil. Mereka yang merasa diatas angin, kini menjadi sosok malaikat maut. Pertumpahan darah terjadi. Masyarakat Majapahit yang masih memegang keyakinan lama, berhadapan secara frontal dengan mereka yang telah berpindah keyakinan.

Dimana-mana, situasi anarkhis terjadi. Dimana-mana dua kubu ini bentrok. Dimana-mana kekacauan merajalela. Jawa dalam situasi chaos! Ibu pertiwi menangis. Ibu pertiwi terluka. Putra-putranya kini tengah saling menumpahkan darah hanya karena disalah satu pihak tengah dilanda ‘ketidak sadaran’.

Akibat tragedi yang mencerabut segala sendi-sendi masyarakat Majapahit ini, bangunan-bangunan indah dari Kerajaan Agung Majapahit, musnah tak berbekas! Majapahit yang terkenal sebagai Macan Asia, ludes dibabat habis. Di Jawa Timur, Majapahit seolah-olah hanya sebuah mitos belaka, karena banyak peninggalan dari jaman keemasan Nusantara ini, hancur karena kepicikan.

Hanya sedikit yang tersisa. Dan yang sedikit itulah yang masih bisa kita saksikan hingga sekarang.

Eksodus besar-besaran terjadi. Para Agamawan, Para Bangsawan dan rakyat yang tetap memegang teguh keyakinannya, menyingkir ketempat-tempat yang dirasa aman. Kebanyakan menyeberang ke Bali, Kalimantan dan Lombok.

Ada seorang putri selir Prabhu Brawijaya yang melarikan diri bersama sisa-sisa prajurid Majapahit dan beberapa penduduk. Dia bernama Dewi Rara Anteng. Bersama suaminya Raden Jaka Seger, dia menyingkir ke pegunungan Bromo. Sampai sekarang keturunan mereka masih ada disana, dikenal dengan nama suku Tengger. Diambil dari nama Dewi Rara An-TENG dan Raden Jaka Se-GER. Diwilayah pegunungan Bromo, pasukan Demak memang tidak bisa menjangkau. Medannya cukup sulit dan terisolir. ( Suku Tengger baru membuka diri pada jaman pemerintahan Presiden Soekarno. Ketika disensus dan ditanyakan apa agama mereka, mereka menyatakan beragama Budo. Padahal ritual yang mereka jalankan lebih dekat ke agama Hindhu dari pada agama Buddha. Para petugas sensus tidak tahu, istilah Hindhu memang tidak dikenal pada jaman Majapahit. Yang terkenal adalah agomo Siwo Budo atau hanya disebut wong Budo saja. : Damar Shashangka).

Dengan dikawal oleh Pasukan Bhayangkara dan beberapa kesatuan pasukan yang tersisa, Prabhu Brawijaya menyingkir ke arah timur. Dan untuk sementara, beliau tinggal di Blambangan. Adipati Blambangan, memperkuat barisan pasukan ini. Dan tak hanya itu, para penduduk Blambangan-pun dengan suka rela ikut menggabungkan diri. Mereka benar-benar melindungi Prabhu Brawijaya ekstra ketat. Mereka siap tempur di Blambangan. Keadaan darurat diberlakukan.

Selama ada di Blambangan, Prabhu Brawijaya terus terusik batinnya. Raden Patah, yang biasa beliau banggil dengan nama Patah itu, ternyata telah tega melakukan ini semua. Kebaikan beliau selama ini dibalas dengan racun. Sabdo Palon dan Naya Genggong menabahkan hati Sang Prabhu. Nasi sudah menjadi bubur. Tidak patut disesali lagi.

Kini, saatnya untuk menata kembali yang tersisa. Dan untuk tujuan itu, Prabhu Brawijaya harus menyeberang ke Pulau Bali.

Sirna Ilang Kerthaning Bhumi

Atas perintah Raden Patah, Senopati Demak Bintara Sunan Kudus menemui Adipati Terung, adik kandung Raden Patah dengan membawa pasukan Demak Bintara. Adipati Terung di ultimatum agar menyerah, atau dihancurkan. Adipati Terung dalam dilema. Pada akhirnya, dia menyatakan ‘menyerah’ kepada Demak Bintara.

Beberapa minggu kemudian, Raden Patah datang dari Demak untuk melihat langsung kemenangan pasukannya. Raden Patah meminta semua laporan dari kepala pasukan Demak. Diketahui kemudian, Prabhu Brawijaya berhasil meloloskan diri. Pasukan Bhayangkara Majapahit atau Pasukan Khusus Pengawal Raja, memang terkenal lihai melindungi junjungan mereka. Tak ada satupun kepala pasukan Demak yang mengetahui bagaimana Pasukan Bhayangkara bisa menerobos kepungan rapat Pasukan Islam dan kearah mana mereka membawa Sang Prabhu pergi.

Raden Patah segera menyebar pasukan mata-mata untuk melacak keberadaan Sang Prabhu. Dan Raden Patah sendiri segera melanjutkan perjalanan untuk bertandang ke Pesantren Ampel di Surabaya. Dia hendak mengabarkan kemenangan besar ini kepada janda Sunan Ampel.

Di Surabaya situasi anarkhis-pun merajalela. Nyi Ageng Ampel, begitu mendengar laporan Raden Patah, marah! Dengan tegas beliau menyatakan, apa yang dilakukan Raden Patah adalah sebuah kesalahan besar. Dia telah berani melanggar wasiat gurunya sendiri, Sunan Ampel, yang mewasiatkan sebelum beliau wafat, melarang orang-orang Islam merebut tahta Majapahit. Dan juga, Raden Patah telah berani melawan seorang Imam yang sah, seorang Umaro’ tidak seharusnya dilawan tanpa ada alasan yang jelas. Dan yang ketiga, Raden Patah telah berani durhaka kepada ayah kandungnya sendiri yang telah melimpahkan segala kebaikan bagi dirinya serta orang-orang Islam.

Nyi Ageng Ampel menangis. Raden Patah terketuk hati nuraninya, dia ikut mencucurkan air mata. Didepan Nyi Ageng Ampel, Raden Patah mencium kaki beliau, menangis, menyesali perbuatannya.

Dengan berurai air mata, Raden Patah meminta solusi kepada Nyi Ageng Ampel. Dan Nyi Ageng Ampel memerintahkan kepadanya untuk segera mencari keberadaan Prabhu Brawijaya. Dan apabila sudah diketemukan, seyogyanya, Prabhu Brawijaya dikukuhkan kembali sebagai seorang Raja.

Mendengar perintah itu, secara emosional Raden Patah berniat mencari ayahandanya sendiri bersama beberapa orang prajurid Demak. Tapi Nyi Ageng Ampel mencegahnya. Dalam situasi anarkhis seperti ini, tidak memungkinkan bagi dia untuk mencari beliau sendiri. Dikhawatirkan, akan terjadi kesalah pahaman. Dan sekarang, dimata Prabhu Brawijaya, dirinya dan seluruh umat Islam yang menyokong pergerakan pasukan Demak, tidak mungkin dipercaya lagi.

Jalan keluar yang terbaik adalah, meminta bantuan Sunan Kalijaga atau Syeh Siti Jenar untuk mewakili dirinya, mencari Prabhu Brawijaya dan apabila sudah bisa ditemukan, memohon kepada Prabhu Brawijaya agar kembali ke Majapahit. Sudah bukan rahasia lagi dikalangan Istana, dua ulama besar ini tidak terlibat dalam penyerangan Majapahit.

Karena Syeh Siti Jenar, baru saja disidang oleh Dewan Wali Sangha yang mengakibatkan hubungan beliau dengan Para Wali sekaligus dengan Raden Patah dalam situasi yang tidak mengenakkan, maka Raden Patah memutuskan untuk mengirim pasukan khusus menemui Sunan Kalijaga.

Sunan Kalijaga, dimohon menghadap ke Pesantren Ampel atas permintaan Nyi Ageng Ampel dan Raden Patah.

Beberapa hari kemudian, Sunan Kalijaga datang ke Surabaya. Beliau waktu itu berada di Demak Bintara, memfokuskan diri memimpin pembangunan Masjid Demak.

Sunan Kalijaga, Nyi Ageng Ampel dan Raden Patah, terlibat perundingan yang serius. Dan pada akhirnya, Sunan Kalijaga menyetujui untuk mengemban tugas mulia itu.

Beberapa hari kemudian, laporan dari pasukan mata-mata Demak Bintara diterima Raden Patah. Diketahui, ada konsentrasi besar pasukan Majapahit diwilayah Blambangan. Diketahui pula, Prabhu Brawijaya ada disana. Ada kabar terpetik, Prabhu Brawijaya hendak menyeberang ke pulau Bali.

Mendapati informasi yang dapat dipercaya seperti itu, Sunan Kalijaga, diiringi beberapa santrinya, segera berangkat ke Blambangan. Dia siap mengambil segala resiko yang bakal terjadi. Dengan memakai pakaian rakyat sipil yang tidak mencolok mata, demi untuk menghindari kesalah pahaman, dia berangkat. Disetiap daerah yang dilalui, Sunan Kalijaga beserta rombongan melihat pemandangan yang memilukan. Kekacauaan ada dimana-mana. Penduduk yang masih memegang keyakinan lama, bentrok dengan penduduk yang sudah mengganti keyakinannya.Korban berjatuhan. Nyawa melayang karena kepicikan.

Rombongan ini harus pandai-pandai memilih jalan. Kadangkala memutar kalau dirasa perlu. Mereka sengaja menghindari tempat keramaian. Mereka lebih memilih menerobos hutan belantara demi menjaga keamanan.

Dan, manakala mereka sudah tiba di Blambangan, Sunan Kalijaga, menunjukkan statusnya. Dengan mengibarkan bendera putih tanda gencatan senjata, dia memasuki kota Blambangan yang mencekam.

Para prajurid Majapahit terkejut melihat ada serombongan kecil orang-orang muslim memasuki kota Blambangan. Mereka mengibarkan bendera putih. Mereka bukan tentara. Mereka tidak bersenjata. Serta merta, kedatangan mereka dihadang oleh pasukan Majapahit. Dan mereka tidak diperkenankan memasuki kota. Prajurid Majapahit, siap tempur.

Namun, Sunan Kalijaga menunjukkan siapa dirinya. Dia meminta kepada kepala prajurid agar menyampaikan pesan kepada Prabhu Brawijaya, bahwasanya dia, Raden Sahid atau Sunan Kalijaga, datang sebagai duta dan memohon menghadap.

Ketegangan terjadi. Rombongan kecil ini diujung tanduk. Nyawa mereka terancam. Namun mereka yakin, prajurid Majapahit bisa membedakan, mana musuh dalam medan laga dan mana musuh dalam status duta. Mereka tidak akan berani mencelakai seorang duta.

Ketegangan sedikit mencair manakala ada pesan dari Sang Prabhu yang mengabulkan permohonan Sunan Kalijaga untuk menghadap kepada beliau. Prabhu Brawijaya tahu bagaimana menghormati seorang duta. Prabhu Brawijaya-pun tahu dari laporan para pasukan Sandhi (Intelejen) bahwa Sunan Kalijaga bersama para pengikutnya, tidak ikut melakukan penyerangan ke Majapahit.

Sunan Kalijaga beserta rombongan bisa bernafas lega. Mereka segera menghadap Prabhu Brawijaya dengan pengawalan yang sangat ketat sekali. Sembari memegang persenjataan lengkap dan siap digunakan, para prajurid Bhayangkara menyambut kedatangan Sunan Kalijaga. Mereka mengapitnya. Sunan Kalijaga diperkenankan masuk. Beberapa santrinya disuruh menunggu diluar.

Prabhu Brawijaya, didampingi para penasehat beliau yang terdiri dari para Pandhita Shiva dan Wiku Buddha, juga Sabdo Palon dan Naya Genggong, nampak telah menunggu kedatangan Sunan Kalijaga. Begitu ada dihadapan Sang Prabhu, Sunan Kalijaga menghaturkan hormat.

Prabhu Brawijaya menanyakan maksud kedatangan Sunan Kalijaga. Sunan Kalijaga mengatakan bahwa dia adalah duta Raden Patah sekaligus Nyi Ageng Ampel. Sunan Kalijaga menceritakan segalanya dari awal hingga akhir. Bahkan dia menceritakan pula kondisi Majapahit. Prabhu Brawijaya meneteskan air mata mendengar banyak penduduk yang harus meregang nyawa karena kepicikan, mendengar Keraton megah kebanggaan Nusantara dibumi hanguskan, mendengar tempat-tempat suci hancur rata dengan tanah.

Seluruh yang hadir merasa sedih, marah, geram, semua bercampur aduk menjadi satu.

Dan manakala Sunan Kalijaga mengahturkan tujuan sebenarnya dia menjadi duta, yaitu agar Prabhu Brawijaya berkenan kembali memegang tampuk pemerintahan di Majapahit, seketika ssemua yang hadir memincingkan mata.Seolah mendengarkan kalimat yang tidak bisa dicerna.

Prabhu Brawijaya tercenung. Beliau meminta nasehat. Beberapa penasehat mengusulkan agar hal itu tidak dilakukan, karena sama saja menerima suatu penghinaan. Dinasti Majapahit, bisa kembali berkuasa hanya karena kebaikan hati orang-orang Islam. Tidak hanya itu saja, wibawa Sang Prabhu akan jatuh dimata para pendukungnya. Tidak ada artinya tahta yang diperoleh dari belas kasihan musuh. Masyarakat Majapahit akan memandang rendah pemimpin mereka yang mau menerima tahta seperti itu. Selama ini, Raja-Raja Majapahit, tidak pernah melakukan itu. Bila wibawa Sang Prabhu telah jatuh, dengan sendirinya, para pengikut Sang Prabhu akan berani juga bermain-main dengan Sang Prabhu kelak. Hukum tidak akan dipatuhi. Para pembangkang akan muncul dimana-mana bak jamur tumbuh dimusim penghujan. Dan lagi, apakah Sang Prabhu tidak malu menerima tahta dari anaknya sendiri?

Sebaiknya Sang Prabhu tidak menerima tawaran itu.

Sang Prabhu menghela nafas.

Sunan Kalijaga mohon bicara. Apabila memang Sang Prabhu tidak mau menerima tahta Majapahit dari tangan Raden Patah, maka seyogyanya Sang Prabhu mempertimbangkan kembali jika hendak mendapatkannya dengan jalan merebut. Sebab, bila hal itu sampai terjadi, tidak bisa dibayangkan, tanah Jawa akan banjir darah. Dukungan kekuatan militer bagi Sang Prabhu akan datang dari segenap pelosok Nusantara, tidak bakalan tanggung-tanggung lagi. Jawa akan semakin membara bila seluruh Nusantara akan bangkit. Pembunuhan yang lebih besar dan mengerikan akan terjadi.

Sang Prabhu Brawijaya bagaikan disodori buah simalakama, dimakan mati tidak dimakan pun mati.

Sejenak, Sang Prabhu berunding dengan para penasehat beliau yang terdiri dari para ahli hukum dan agamawan. Sejurus kemudian, beliau menyatakan kepada Sunan Kalijaga hendak merundingkan hal ini dengan para penasehat lebih dalam lagi. Dan Sunan Kalijaga diperbolehkan menghadap esok hari lagi. Sunan Kalijaga dan seluruh rombongannya diberikan tempat bermalam, dengan pengawalan ketat.

Keesokan harinya, Sunan Kalijaga dipanggil menghadap. Prabhu Brawijaya memutuskan, untuk menghindari pertumpahan darah yang lebih besar lagi, beliau tidak akan mengadakan gerakan perebutan tahta kembali. Lega Sunan Kalijaga mendengarnya.

Namun apa yang akan dilakukan Sang Prabhu agar seluruh putra-putra beliau mau merelakan tahta diduduki Raden Patah? Begitu Sunan Kalijaga meminta kejelasan langkah selanjutnya. Sang Prabhu mengatakan, beliau akan mengeluarkan maklumat kepada seluruh putra-putra beliau untuk bersikap sama seperti dirinya. Untuk berjiwa besar memberikan kesempatan bagi Raden Patah memegang tampuk kekuasaan. Terutama kepada keturunan beliau di Pengging, maklumat ini benar-benar harus dipatuhi. Semua sudah paham, yang berhak mewarisi tahta Majapahit sebenarnya adalah keturunan di Pengging.

Kini, Sang Prabhu yang mempertanyakan jaminan kebebasan beragama kepada Sunan Kalijaga, apakah Demak Bintara bisa memberikan wilayah-wilayah otonomi khusus bagi para penguasa daerah yang mayoritas masyarakatnya tidak beragama Islam? Bisakah Demak Bintara sebijak Majapahit dulu? Bukankah keyakinan yang dianut Raden Patah menganggap semua yang diluar keyakinan mereka adalah musuh?

Sunan Kalijaga terdiam. Dan setelah berfikir barang sejenak, Sunan Kalijaga betjanji akan ikut andil menentukan arah kebijakan pemerintahan Demak Bintara. Dan itu berarti, mulai saat ini, dia harus ikut terjun kedunia politik. Dunia yang dihindarinya selama ini ( Tahta Kadipaten Tuban yang diserahkan kepadanya, dia berikan kepada Raden Jaka Supa, suami adiknya Dewi Rasa Wulan : Damar Shashangka).

Prabhu Brawijaya bernafas lega. Dia percaya pada sosok Raden Sahid atau Sunan Kalijaga ini.

Sunan Kalijaga menambahkan, Sang Prabhu seyogyanya kembali ke Trowulan. Tidak usah meneruskan menyeberang ke pulau Bali. Sebab dengan adanya Sang Prabhu di Trowulan, para putra dan masyarakat tahu kondisi beliau. Tahu bahwasanya beliau baik-baik saja. Sehingga seluruh pendukung beliau akan merasa tenang.

Kembali Sang Prabhu berunding dengan para penasehat sejenak Kemudian beliau memeberikan jawaban.

Ada beliau di Trowulan ataupun tidak, stabilitas negara sepeninggal beliau tergulingkan dari tahta, mau tidak mau, tetap akan terganggu. Karena para pendukung beliau pasti juga banyak yang belum bisa menerima pemberontakan Raden Patah ini. Namun, jika tidak ada komando khusus dari beliau, hal itu tidak akan menjadi sebuah kekacauan yang besar. Pembangkangan daerah per daerah pasti terjadi. Tapi, Sang Prabhu menjamin, tanpa komando beliau, penyatuan kekuatan Majapahit dari daerah per daerah tidak bakalan terjadi. Dan, beliau tidak perlu pulang ke Trowulan.

Sunan Kalijaga resah. Bila Sang Prabhu ke Bali, Sunan Kalijaga takut beliau akan berubah pikiran begitu melihat betapa militan-nya para pendukung beliau disana. Mau tidak mau, Prabhu Brawijaya harus bisa diusahakan pulang ke Trowulan. Sunan Kalijaga memutar otak.

Sunan Kalijaga tahu, hati Prabhu Brawijaya sangat lembut. Dan kini, Sunan Kalijaga akan berusaha mengetuk kelembutan hati beliau. Sunan Kalijaga memberikan gambaran betapa mengerikannya jika para pendukung beliau benar-benar siap melakukan gerakan besar. Tidak ada jaminan bagi Sang Prabhu sendiri bahwa beliau tidak akan berubah pikiran bila tetap meneruskan perjalanan ke Bali. Sunan Kalijaga memohon, Prabhu Brawijaya harus mengambil jarak dengan para pendukung beliau. Nasib rakyat kecil dalam hal ini dipertaruhkan. Mereka harus lebih diutamakan.

Sunan Kalijaga memberikan kemungkinan-kemungkinan yang bakal terjadi jika Sang Prabhu tetap hendak ke Bali

Diam-diam, Prabhu Brawijaya berfikir. Diam-diam hati beliau terketuk. Kata-kata Sunan Kalijaga memang ada benarnya. Prabhu Brawijaya tercenung. Beliau memutuskan pertemuan untuk sementara disudahi. Sunan Kalijaga diminta kembali ketempatnya untuk sementara waktu.

Dan, Prabhu Brawijaya ingin menyendiri. Ingin merenung tanpa mau diganggu oleh siapapun. Ketika malam menjelang, Sang Prabhu memanggil Sabdo Palon dan Naya Genggong. Bertiga bersama-sama membahas langkah selanjutnya.

Dan, ketika malam menjelang puncak, Sabdo Palon dan Naya Genggong berterus terang, Mereka berdua menunjukkan siapa sebenarnya jati dirinya. Diiringi semburat cahaya lembut, Sabdo Palon dan Naya Genggong ‘menampakkan wujudnya yang asli’ kepada Prabhu Brawijaya.

Prabhu Brawijaya terperanjat. Serta merta beliau menghaturkan hormat, bersembah. Kini, malam ini, untuk pertama kalinya, Sang Prabhu Brawijaya bersimpuh. ( Siapa mereka? Masih rahasia : Damar Shashangka).

Sabdo Palon dan Naya Genggong memberikan gambaran apa yang bakal terjadi kelak di Nusantara. Semenjak hari kehancuran Majapahit, ‘kesadaran’ masyarakat Nusantara akan jatuh ketitik yang paling rendah. ‘Kulit’ lebih diagung-agungkan dari pada ‘Isi’. ‘Kebenaran Yang Mutlak’ dianggap sebagai milik golongan tertentu. Dharma diputar balikkan. Sampah-sampah seperti ini akan terus tertumpuk sampai lima ratus tahun kedepan. Dan bila sudah saatnya, Alam akan memuntahkannya. Alam akan membersihkannya.

Nusantara akan terguncang. Gempa Bumi, banjir bandang, angin puting beliung, ombak samudera naik ke daratan, gunung berapi memuntahkan laharnya berganti-gantian, musibah silih berganti, datang dan pergi. Bila waktu itu tiba, Alam telah melakukan penyeleksian. Alam akan memilih mereka-mereka yang ‘berkesadaran tinggi’. Yang ‘kesadarannya masih rendah’, untuk sementara waktu disisihkan dahulu atau akan dilahirkan ditempat lain diluar Nusantara. Bila saat itu sudah terjadi, Sabdo Palon dan Naya Genggong akan muncul lagi, kembali ke Nusantara. Sabdo Palon dan Naya Genggong akan ‘merawat tumbuhan kesadaran’ dari mereka-mereka yang terpilih. Sabdo Palon dan Naya Genggong akan menjaga ‘tumbuhan Buddhi’ yang mulai bersemi itu. Itulah saatnya, agama Buddhi, agama Kesadaran akan berkembang biak di Nusantara. Dan Nusantara, pelan tapi pasti, akan dapat meraih kejayaannya kembali.

Memang sudah menjadi garis karma, kehendak Hyang Widdhi Wasa, mereka-mereka saat ini berkuasa di Nusantara. Prabhu Brawijaya tidak ada gunanya mempertahankan Shiva Buddha. Prabhu Brawijaya lebih baik menuruti kehendak mereka-mereka yang tengah berkuasa. Kelak, Prabhu Brawijaya juga akan lahir lagi, lima ratus tahun kemudian, untuk ikut menyaksikan berseminya agama Buddhi.

Menangislah Prabhu Brawijaya. Semalaman beliau menangis. Semua rahasia masa depan Nusantara, dijabarkan oleh Sabdo Palon dan Naya Genggong.

Keesokan harinya, beliau memanggil Sunan Kalijaga. Dihadapan seluruh yang hadir, beliau menyatakan hendak kembali ke Trowulan. Dan yang lebih mengagetkan, beliau menyatakan masuk Islam demi menjaga stabilitas negara.

Sunan Kalijaga dan seluruh yang hadir terperangah mendengar keputusan Sang Prabhu. Beberapa penasehat, pejabat dan kepala pasukan Bhayangkara, bersujud sambil menangis haru. Mereka memohon agar Sang Prabhu mencabut kembali sabda yang telah beliau keluarkan. Situasi tegang, sedih, bingung…

Sabdo Palon dan Naya Genggong angkat bicara. Dihadapan Prabhu Brawijaya, Sunan Kalijaga dan seluruh yang hadir, mereka mengucapkan sebuah sumpah, bahwasanya lima ratus tahun kemudian, mereka berdua akan kembali. ( Inilah yang lantas dikenal dengan JANGKA SABDO PALON NAYA GENGGONG oleh masyarakat Jawa sampai sekarang. Baca catatan saya tentang SERAT SABDO PALON. : Damar Shashangka).

Selesai mengucapkan sumpah mereka, Sabdo Palon dan Naya Genggong mencium tangan Sang Prabhu Brawijaya. Sabdo Palon berbisik :

“Lima ratus tahun lagi, ananda akan bertemu dengan kami kembali. Sekarang sudah saatnya kita berpisah. Selamat tinggal ananda.”

Sabdo Palon dan Naya Genggong menyembah hormat, lalu bergegas keluar dari ruang pertemuan. Semua yang hadir masih bingung melihat peristiwa ini. Diantara mereka, ada beberapa yang ikut menyembah, melepas lencana mereka dan memohon maaf kepada Sang Prabhu untuk undur diri.

Bagaikan tugu dari batu, Sang Prabhu Brawijaya diam tak bergerak. Tinggal beberapa orang yang ada didepan beliau. Beberapa pasukan Bhayangkara yang memutuskan untuk setia mengiringi Sang Prabhu. Juga ada Sunan Kalijaga, yang masih pula ada di sana.

Setelah kediaman beliau yang lama, Sunan Kalijaga memberanikan diri menanyakan keputusan Sang Prabhu tersebut. Sang Prabhu menjawab, semua memang harus terjadi. Mendengar sabda Sang Prabhu, Sunan Kalijaga segera mendekat kepada beliau.

Sunan Kalijaga memohon dengan segala hormat, apabila Sang Prabhu benar-benar ikhlas menyerahkan tahta kepada Raden Patah, maka beliau harus rela melepaskan mahkota beserta pakaian kebesaran beliau sebagai Raja Diraja. Sejenak Sang Prabhu masih ragu, namun ketika sekali lagi Sunan Kalijaga memohon keikhlasan beliau, maka Sang Prabhu menyetujuinya. ( Inilah simbolisasi rambut beliau dipotong oleh Sunan Kalijaga. Pada kali pertama, rambut beliau tidak bisa putus. Dan pada kali kedua, barulah bisa putus : Damar Shashangka.)

Tidak menunggu waktu lama, berangkatlah rombongan Prabhu Brawijaya yang terdiri dari sedikit pasukan Bhayangkara dan Sunan Kalijaga beserta para santri menuju Trowulan. Sesampainya di Trowulan, masyarakat Majapahit menyambut dengan penuh suka cita. Keadaan mulai berangsur membaik ketika Sang Prabhu Brawijaya mengeluarkan maklumat agar semua pertikaian dihentikan. Disusul kemudian, keluar maklumat serupa dari Demak Bintara yang memfatwakan, peperangan sudah berhenti, diharamkan membunuh mereka yang telah kalah perang. Kondisi anarkhisme, berangsur-angsur menjadi kondusif. Stabilitas untuk sementara waktu kembali normal. Stabilitas yang dibawa dari Blambangan ini, membuat Sunan Kalijaga, sebagai suatu kenangan keberhasilan mendamaikan kedua belah pihak, memberikan nama baru kepada Blambangan, yaitu Banyuwangi. ( Disimbolkan, Sunan Kalijaga membawa sepotong bambu kemudian dia mengisinya dengan air kotor waktu masih di Blambangan. Begitu sesampainya di Trowulan, air dalam bambu itu berubah menjadi jernih dan wangi. Bambu adalah lambang dari sebuah negara, air kotor yang diambil Sunan Kalijaga adalah masalah yang dibuat oleh orang-orang yang sekeyakinan dengan Sunan Kalijaga sendiri. Air yang berubah jernih setibanya di Trowulan melambangkan kembalinya stabilitas negara.: Damar Shashangka).

Bergiliran, para putra Prabhu Brawijaya datang ke Trowulan. Adipati Handayaningrat dari Pengging beserta Ki Ageng Pengging putranya. Raden Bondhan Kejawen dari Tarub. Raden Bathara Katong dari Ponorogo. Raden Lembu Peteng dari Madura, dan masih banyak lagi. Tak ketinggalan Raden Patah sendiri.

Dihadapan seluruh putra-putra beliau, Sunan Kalijaga menyampaikan amanat Sang Prabhu agar pertikaian dihentikan. Dan agar Raden Patah, diikhlaskan menduduki tahta Demak Bintara. Seluruh putra-putra beliau, wajib menerima dan mentaati keputusan ini.

Kepada Sunan Kalijaga, Sang Prabhu Brawijaya memberikan amanat untuk mendampingi keturunan beliau yang ada di Tarub yaitu Raden Bondhan Kejawen dan keturunan beliau yang ada di Pengging. Terutama kepada Raden Bondhan Kejawen, Prabhu Brawijaya telah mengetahuinya dari Sabdo Palon dan Naya Genggong, bahwa kelak, dari keturunannya, akan lahir Raja-Raja besar di Jawa. Dinasti Raden Patah dan dinasti dari Pengging, tidak akan bertahan lama.

Prabhu Brawijaya bahkan membisikkan kepada Sunan Kalijaga, bahwa Demak hanya akan dipimpin oleh tiga orang Raja. Setelah itu akan digantikan oleh keturunan dari Pengging, cuma satu orang Raja. Lantas digantikan oleh keturunan dari Tarub. Banyak Raja akan terlahir dari keturunan dari Tarub. (Ramalan ini terbukti, Demak hanya diperintah oleh tiga orang Sultan. Yaitu Raden Patah, Sultan Yunus lalu Sultan Trenggana. Setelah itu terjadi pertumpahan darah antara Kubu Abangan dengan Kubu Putihan. Dan Jaka Tingkir tampil kemuka. Jaka Tingkir adalah keturunan dari Pengging. Tapi tidak lama, keturunan dari Tarub, yaitu Danang Sutawijaya, yang kelak dikenal dengan gelar Panembahan Senopati Ing Ngalaga Mentaram, akan tampil kemuka menggantikan keturunan Pengging. Panembahan Senopati inilah pendiri Kesultanan Mataram Islam, yang sekarang terpecah menjadi Jogjakarta, Surakarta, Mangkunegaran dan Paku Alaman amar Shashangka.)

Tidak berapa lama kemudian, Prabhu Brawijaya jatuh sakit. Dalam kondisi akhir hidupnya, Sunan Kalijaga dengan setia mendampingi beliau. Kepada Sunan Kalijaga, Prabhu Brawijaya berwasiat agar dipusara makam beliau kelak apabila beliau wafat, jangan dituliskan nama beliau atau gelar beliau sebagai Raja terakhir Majapahit. Melainkan beliau meminta agar dituliskan nama Putri Champa saja. Ini sebagai penanda kisah akhir hidup beliau, juga kisah akhir Kerajaan Majapahit yang terkenal dipelosok Nusantara. Bahwasanya, beliau telah ditikam dari belakang oleh permaisurinya sendiri Dewi Anarawati atau Putri Champa dan beliau diperlakukan dan tidak dihargai lagi sebagai seorang laki-laki oleh Raden Patah, putranya sendiri.

Sunan Kalijaga sedih mendapat wasiat seperti itu. Namun begitu beliau wafat, wasiat itu-pun dijalankan.

Seluruh masyarakat berkabung. Seluruh putra dan putri beliau berkabung.

Dan kehancuran Majapahit. Kehancuran Kerajaan Besar ini dikenang oleh masyarakat Jawa dengan kalimat sandhi yang menyiratkan angka-angka tahun sebuah kejadian (Surya Sengkala), yaitu SIRNA ILANG KERTANING BHUMI. SIRNA berarti angka ’0′. ILANG berarti angka ’0′. KERTA berarti angka ’4′ dan BHUMI berarti angka ’1′. Dan apabila dibalik, akan terbaca 1400 Saka atau 1478 Masehi. Kalimat KERTAning BHUMI diambil dari nama asli Prabhu Brawijaya, yaitu Raden Kertabhumi. Inilah kebiasaan masyarakat Jawa yang sangat indah dalam mengenang sebuah kejadian penting.

Dan Raden Patah, memindahkan pusat pemerintahan ke Demak Bintara. Dia dikukuhkan oleh Dewan Wali Sangha sebagai Sultan dengan gelar Sultan Syah ‘Alam Akbar Jim-Bun-ningrat.

Keinginan orang-orang Islam terwujud. Demak Bintara menjadi ke-Khalifah-an Islam pertama di Jawa. Tapi, pemberontakan dari berbagai daerah, tidak bisa diatasi oleh Pemerintahan Demak. Wilayah Majapahit yang dulu luas, kini terkikis habis. Praktis, wilayah Demak Bintara hanya sebatas Jawa Tengah saja. Kemakmuran, kesejahteraan, kedamaian seolah menjauh dari Demak Bintara. Darah terus tertumpah tiada habisnya. Perebutan kekuasaan silih berganti. Nusantara semakin terpuruk. Semakin tenggelam dipeta perpolitikan dunia.

Disusul kemudian, pada tahun 1596 Masehi, Belanda datang ke Jawa. Nusantara semakin menjadi bangsa tempe! Semenjak Majapahit hancur, hingga sekarang, kemakmuran hanya menjadi mimpi belaka.

Kapan Majapahit bangkit lagi? Kapan Nusantara akan disegani sebagai Macan lagi?
Menangislah membaca sejarah bangsa kita. Menangislah kalian karena kalian sendiri yang telah lalai terlalu bangga membawa masuk ideologi bangsa lain yang tidak sesuai dengan tanah Nusantara.

TAMAT


[1] Bernard H.M. Vlekke, Nusantara Sejarah Indonesia, KPG, 2008, hal 92-3.

 

[2] Prof. Tjan seperti yang di kutip oleh Widji Saksono dalam buku Mengislamkan Tanah Jawa terbitan Mizan 1997 hal 21-22, menyatakan bahwa istilah walisanga adalah para wali yang datang dari delapan penjuru dan ditambah satu yang menjadi titik pusatnya. Bila dilihat dari langkah dakwah Sunan Ampel maka delapan penjuru yang dimaksud adalah wilayah inti kekuasaan Majapahit dengan Ibukota Trowulan sebagai pusat yang dikoordinir langsung oleh Sunan Ampel.

 

Tinggalkan komentar